tirto.id - “Setelah saya berkomunikasi dengan Bapak Basuki Tjahaja Purnama, maka kami akan mengikuti proses hukum yang telah ditetapkan Kabareskrim Mabes Polri yang menetapkan beliau sebagai tersangka kasus penistaan agama," ujar Koordinator Tim Hukum dan Avokasi BTP, Sirra Prayuna melalui siaran pers.
Ahok begitu Basuki Tjahaja Purnama disapa menegaskan tak akan mengambil langkah hukum praperadilan terkait penetapannya sebagai tersangka. Menurut Sirra, Ahok lebih baik memilih menemui warga ketimbang membuang waktu mengajukan praperadilan.
Sikap mencoba legowo Ahok memang sudah tampak ketika dia mendatangi Rumah Lembang sejak pagi. Rutinitasnya menjalani hari-hari kampanye tetap dia lakukan meski kasus hukum sedang berjalan di Mabes Polri. Padahal pada hari itu, Mabes Polri akan mengumumkan apakah ia menjadi tersangka atau tidak, namun Ahok lebih memilih mendengarkan keluhan para pendukungnya di Rumah Lembang.
“Kami mengimbau kepada seluruh pendukung untuk menerima status tersangka saya dengan ikhlas karena kita yakin polisi kita pasti profesional menetapkan sebagai tersangka,” katanya. Dengan nada setengah bercanda, ia membandingkan kasusnya dengan sidang kopi sianida. “Ini, kan, ada proses peradilan yang terbuka, jadi harap teman-teman TV kayak kopi sianida-nya Jessica, bisa ditonton semua.”
Pernyataan Sirra memang diiyakan oleh Ahok sendiri. Dia ikhlas menerima penetapan tersangka.
“Saya terima kasih kepada kepolisian yang sudah memproses tersangka ini bagi saya, saya akan terima. Kita akan ikuti semua proses hukum dengan baik dan saya kira ini satu contoh yang baik untuk demokrasi,” kata Ahok didampingi calon wakilnya, Djarot Sjaiful Hidayat.
Lebaran Kuda dan Praperadilan
Sejak Budi Gunawan memenangkan praperadilan untuk mempersoalkan status tersangka yang ditetapkan KPK pada Februari 2015 silam, praperadilan sudah jamak dipakai para pejabat, petinggi sampai orang biasa untuk membebaskan diri dari status tersangka.
Selain Budi Gunawan, tercatat nama-nama seperti Dahlan Iskan, La Nyalla Matalitti, Soetan Batoeghana, Irman Gusman, Suryadharma Ali sampai Siti Fadilah Supari. Praperadilan berhasil membebaskan beberapa nama di atas dari penetapan status tersangka.
Bisa dibilang, Ahok mungkin menjadi profil pertama dari kalangan pejabat level atas yang tidak menggunakan praperadilan ketika menjadi tersangka. Sebuah keputusan yang sebenarnya terasa tidak disiapkan jauh-jauh hari.
Menjelang tengah hari pascaditetapkan sebagai tersangka, Ahok sendiri sempat mengatakan ingin memperjuangkan nasibnya melalui jalur pengadilan secara total. “Kalau saya pribadi sih, (ingin) praperadilan. Supaya langsung bisa live (disiarkan secara langsung oleh media massa),” kata Ahok di Rumah Lembang.
Namun, semuanya berubah menjelang sore hari. Ahok memutuskan untuk tidak mengambil langkah hukum praperadilan. Ada dua alasan mengapa praperadilan akhirnya tidak diambil Ahok: (1) proses praperadilan akan membuang-buang waktu yang akan berdampak (2) waktu kampanye akan tersita.
"Akan lebih baik Pak Ahok berjumpa dengan warga Jakarta yang menyampaikan permasalahan yang dihadapinya,” ujar Sirra.
Dia menegaskan, langkah hukum baru dilakukan setelah masa cuti kampanye selesai. “Setelah cuti berakhir pada Februari tahun depan baru dicarikan solusinya. Kami pikir itu akan lebih produktif bagi warga, biarkan proses hukum terus berjalan sesuai konstitusi," ujarnya.
Ahok mencoba memperlihatkan sikap yang moderat terhadap penetapan tersangka itu. Ia terkesan ingin menunjukkan bahwa ia memang siap menghadapi semuanya.
Beberapa kali setelah penetapan tersangka itu, Ahok mengeluarkan guyonan soal penistaan agama. "Yang pasti bukan ‘lebaran kuda', ya," kata Ahok.
Dia pun kemudian melempar pertanyaan kepada para pendukungnya. “Itu lebaran Islam, apa itu tidak menghina agama? Masa lebaran, disebut ‘lebaran kuda’. Kalau Ahok yang ngomong, langsung demo lagi," ujar Ahok diikuti gelak tawa puluhan pendukungnya.
"Aku tidak pernah ngomong ‘lebaran kuda', ya. Yang ngomong Pak Prihatin. Bukan saya ngomong ya, ini saya dapat dari yang suka ngomong, 'saya prihatin'," jawab Ahok disambut tawa.
Penetapan Tersangka Karena Tekanan?
Sejak kasus dugaan penistaan agama bergulir, isu mengenai penunggangan oleh kepentingan politik memang cukup kencang. Bahkan sesaat setelah aksi 4 November berujung ricuh, Presiden Joko Widodo memberikan pernyataan jika demonstrasi itu ditunggangi aktor politik.
“Kami menyesalkan kejadian ba'da Isya, yang seharusnya sudah bubar, tetapi jadi rusuh. Ini kita lihat ditunggangi aktor-aktor politik yang memanfaatkan situasi,” kata Jokowi setelah menggelar rapat dadakan di Istana Negara.
Demonstrasi bertajuk Aksi Bela Islam II itu sejatinya memang menuntut proses hukum Ahok atas ucapannya mengutip surat Al-Maidah 51. Lambannya proses hukum dilakukan menjadi alasan para pendemo untuk turun ke jalan. Mereka menuduh adanya intervensi presiden yang membuat Ahok tidak segera diperkarakan.
Aksi 4 November pun bergulir menjadi bola liar. Apa lagi santer beredar soal rencana menggelar aksi susulan pada 25 November nanti.
Kepolisian buru-buru mengambil langkah buat meredam tekanan itu dengan memeriksa Ahok. Senin, 7 November, Ahok diperiksa di Bareskrim Mabes Polri untuk dimintai keterangan. Ada 14 laporan menyeret nama Ahok terkait dugaan penistaan agama mengutip surat Al-Maidah 51.
Gelar perkara bahkan sempat akan dilakukan terbuka. Sepanjang sejarah, baru kali ini kepolisian merencanakan melakukan gelar perkara secara terbuka. Padahal sejatinya, proses penyelidikan tidak bisa menjadi konsumsi publik. Proses hukum bisa dilakukan di depan publik hanyalah ketika sudah memasuki fase persidangan.
Pilihan membuat gelar perkara secara terbuka ini memicu perdebatan yang lain. Pilihan itu dianggap bakal menambah persoalan baru lantaran menyalahi hukum acara pidana. Jika polisi ngotot menggelarnya secara terbuka, maka kepolisian bisa dianggap melakukan kesalahan prosedur.
Komisioner Ombudsman Adrianus Meliala punya pendapat mengenai ini. Menurut dia, gelar perkara dugaan kasus penistaan agama dilakukan Ahok secara terbuka disebut sebagai produk hukum dadakan yang dikeluarkan Kepolisian. Kata Adrianus, belum ada regulasi yang pas untuk mengakomodir proses penyelidikan ini menjadi terbuka. Apalagi, kata dia, Peraturan Kapolri mengenai manajemen penyelidikan juga tak mengatur secara luas mengenai proses penyelidikan ini bisa dilakukan secara terbuka.
“Perluas makna gelar perkara khusus sebagaimana terdapat dalam Perkap Manajemen Penyidikan. Salah satunya, bahwa gelar seperti ini tidak bisa dilakukan pada kasus kejahatan narkotika di mana saksi atau tersangka dilindungi dan jebakan-jebakan dilakukan oleh kepolisian. Kalau sampai semuanya diungkapkan, kan celaka,” ujar Adrianus.
Memang aturan soal gelar perkara dilakukan secara terbuka diatur dalam Pasal 70 ayat (1) huruf a juncto ayat (2) Peraturan Kapolri No.14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Namun seharusnya gelar perkara itu dilakukan secara terbuka terbatas yang hanya melibatkan para pelapor dan terlapor berikut masing-masing penasehat hukumnya saja.
Salah satu kecurigaan terkait rencana gelar perkara secara terbuka adalah memberikan celah hukum pada Ahok untuk menggugat kepolisian melalui praperadilan. Jika gelar perkara secara terbuka berakhir dengan penetapan tersangka, maka Ahok mendapatkan amunisi untuk mempersoalkan penetapan itu dengan alasan gelar perkara secara terbuka telah menyalahi hukum acara pidana.
Meski gelar perkara ini akhirnya dilakukan terbuka terbatas, namun isyarat tekanan publik dalam kasus ini begitu kentara. Tudingan soal adanya tekanan coba dibantah Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Berkas Polri Komisaris Jenderal Ari Dono Sukmanto. Menurut dia, penetapan tersangka ini murni profesionalisme penyelidikan. Penyidik, kata dia, memiliki bukti-bukti kuat buat menetapkan Ahok sebagai tersangka dugaan kasus penistaan agama.
"Video, dokumen-dokumen, dan keterangan-keterangan saksi dan ahli," kata Ari Dono Sukmanto.
Video dimaksud adalah rekaman pidato kontroversial Ahok di Kepulauan Seribu. Sementara untuk saksi yang diperiksa berjumlah lebih dari 40 orang. Alat-alat bukti itu dinilai cukup buat menjadi dasar menetapkan Ahok sebagai tersangka dalam dugaan kasus penistaan agama.
Mengurangi Tensi Ketegangan
Setelah Ahok menjadi tersangka, apalagi setelah keluar keputusan untuk tidak menempuh praperadilan, tensi ketegangan memang sedikit menurun. Begitu Ahok ditetapkan sebagai tersangka, secara beruntun muncul pernyataan yang mencoba meredam atau menurunkan tensi.
Ketua MPR sekaligus Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan, mengatakan aksi 25 November sudah tidak diperlukan karena proses hukum sudah berjalan baik menyusul penetapan Ahok sebagai tersangka. Ketua MUI K.H. Ma’ruf Amin juga mengatakan hal yang kurang lebih serupa agar umat Islam tidak perlu turun ke jalan pada 25 November. Bahkan Front Pembela Islam yang selama ini berada di garis depan belum berencana untuk bergabung dalam aksi 25 November mendatang.
Jika Ahok bersikukuh mengajukan praperadilan, boleh jadi rencana aksi 25 November akan lebih bergaung lagi. Praperadilan akan dianggap sebagai bukti bahwa Ahok ingin menantang opini publik, terutama umat Islam yang datang pada aksi 4 November.
Inilah yang membuat pernyataan Sirra di awal bahwa praperadilan akan mengganggu jadwal kampanye Ahok menjadi lebih masuk akal lagi. Jika tensi ketegangan terus ajeg, maka kampanye Ahok terancam akan terus diganggu atau terganggu. Para penentang Ahok mendapatkan momentum untuk terus berusaha menjegal setiap langkah kampanye, termasuk dengan menolak kedatangan Ahok atau Djarot di lokasi-lokasi kampanye yang sudah ditentukan.
Situasi itu juga tidak menguntungkan bagi Presiden Jokowi. Tekanan akan tetap datang secara bergelombang. Akan sangat tidak elok jika Jokowi mesti terus menerus bersafari, datang ke mana-mana, hanya untuk meredakan tensi ketegangan.
Apalagi praperadilan ini sendiri menjadi buah simalakama. Jika praperadilan dimenangkan oleh Ahok, dan pengadilan memutuskan bahwa penetapan tersangka itu tidak sah, maka Ahok dengan sendirinya tidak lagi berstatus tersangka. Sudah barang tentu ini tidak akan memuaskan para penentang Ahok. Bukan tidak mungkin gelombang demonstrasi seperti pada 4 November akan terulang lagi.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Zen RS