tirto.id - Putusan majelis hakim dalam perkara kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang melebihi tuntutan Jaksa dinilai hal yang biasa.
Hal itu disampaikan dosen hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Mahrus Ali kepada Tirto melalui telepon, Selasa (9/5/2017). Istilah putusan ultra petita dalam kasus Ahok ini, menurut Mahrus, kurang tepat.
Pasalnya, istilah ultra petita itu berarti hakim memutuskan perkara di luar dari apa yang diminta di dalam surat gugatan.
“Dalam perkara pidana, hakim boleh memutus melebihi tuntutan jaksa. Yang tidak boleh yakni memutus melebihi ancaman pidana dalam pasal yang didakwakan,” ujar Mahrus.
Mahrus menjelaskan pasal yang dikenakan oleh Hakim dalam putusannya adalah pasal 156a KUHP, karena pasal ini masih ada dalam dakwaan, maka tidak ada masalah.
"Yang jadi masalah itu jika pasal yang dikenakan itu di luar dari pasal yang didakwakan," ujarnya.
Pada sidang dakwaan, Ahok didakwa Pasal 156a KUHP dengan ancaman maksimal 5 tahun penjara. Sedangkan, dakwaan alternatif mencatut Pasal 156 KUHP dengan ancaman maksimal 4 tahun penjara.
Menurut Mahrus, dalam beberapa kasus hukum, ultra petita lazim ditemukan dalam perkara perdata atau perkara-perkara yang berkaitan dengan konstitusi.
Dalam kasus Ahok, dikatakan Mahrus, vonis hakim yang lebih berat dari tuntutan jaksa ini patut dicermati dari pertimbangan hakim saat memutus perkara.
“Kalau pertimbangannya terdakwa tidak merasa bersalah, artinya hakim menilai bahwa dalam perkara ini pengakuan bersalah itu penting dan bukti bahwa terdakwa sudah insaf di muka persidangan,” jelas Mahrus.
Selain itu, pertimbangan yang memberatkan majelis hakim, dikatakan Mahrus, bahwa majelis hakim memperhatikan fakta bahwa kasus Ahok ini bagaimana pun menimbulkan kegaduhan.
“Hakim melihat kondisi masyarakat dengan adanya kasus Ahok ini jadi gaduh, hakim melihat itu sebagai common sense dan dijadikan bahan pertimbangan untuk memutus perkara ini,” kata Mahrus.
Mahrus menilai vonis Hakim terhadap Ahok untuk kasus penodaan agama sudah sewajarnya dan tidak memberikan preseden buruk ke depan. Ia menilai dalam kasus penodaan agama yang lain misalnya kasus Lia Eden, dan kasus yang menyeret nama Ahmad Musadeq alias Abdussalam, pendiri organisasi terlarang Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Keduanya divonis bersalah oleh Majelis Hakim.
“Semua kasus penodaan agama yang lain, seperti Lia Eden dan Ahmad Musadeq juga diputus bersalah, jadi sebenarnya tidak ada efeknya,” ujarnya.
Jaksa Tak Permasalahkan Pasal yang Dikenakan Hakim
Terkait dengan pasal yang dikenakan dalam putusan Hakim, Ketua Tim Jaksa Penuntut Umum Ali Mukartono menyatakan hakim boleh saja menggunakan Pasal 156a KUHP untuk menjatuhkan vonis terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Mukartono menyatakan, dalam surat dakwaan, Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni pasal 156a KUHP dengan ancaman lima tahun penjara dan pasal 156 KUHP dengan ancaman empat tahun penjara.
"Boleh, karena itu di dalam surat dakwaan, hakim kan bisa punya sikap berbeda," kata Mukartono, seusai sidang pembacaan putusan terhadap Purnama, di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (9/5/2017).
Lebih lanjut, dia menyatakan, memang dimungkinkan terdapat perbedaan soal tuntutan dan vonis yang dijatuhkan kepada Ahok.
"Bukan positif atau negatif tetapi memang dimungkinkan ada perbedaan pendapat masing-masing otoritas," ucap dia.
Sementara itu, Ahok langsung ditahan di Rumah Tahanan Cipinang pasca penetapan oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara seperti yang disebutkan dalam putusan.
"Langsung dilaksanakan, tidak ada protokol karena penetapan itu segara," ucap Mukartono.
Sementara itu, Ahok juga telah mengajukan banding atas vonis pidana penjara selama dua tahun yang diputuskan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri