Menuju konten utama

Bagaimana Jawa Barat Menjadi Daerah Sasaran Muslim Cyber Army?

Isu agama ataupun SARA sengaja dikelola oleh partai politik untuk kepentingan tertentu.

Bagaimana Jawa Barat Menjadi Daerah Sasaran Muslim Cyber Army?
Ilustrasi Hoaks. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma

tirto.id - Kasus penganiayaan ulama menjadi ramai diperbincangkan publik setelah meninggalnya ustaz Prawoto yang dibacok oleh orang gangguan kepribadian di daerah Bandung Kulon, Kota Bandung. Kematian ustaz Prawoto diikuti dengan kabar penganiayaan ulama yang lebih banyak dan kebangkitan Partai Komunis Indonesia di Jawa Barat.

Berdasarkan penyelidikan polisi, setidaknya ada 11 kasus penganiayaan ulama yang diviralkan menyusul penyerang ustaz Prawoto. Sembilan diantaranya merupakan peristiwa yang tidak terjadi alias hoaks.

Kabareskrim Polri, Komjen Ari Dono Sukmanto mengaku, ada peristiwa pidana kekerasan dengan korban warga biasa, tetapi dikatakan sebagai ulama sebanyak 4 peristiwa. Kemudian, 5 peristiwa terjadi dengan membuat hoaks adanya penyerangan terhadap ulama yang dilakukan orang gila.

“Hasil penyelidikan menemukan fakta bahwa itu semua hoaks. Tujuan hoaks itu justru untuk menggiring opini bahwa negara ini sedang berada dalam situasi dan kondisi yang seolah-olah bahaya,” jelas Ari Rabu (21/2/2018).

Menyusul pernyataan Ari Dono, Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim merilis penangkapan sebanyak 5 orang karena penyebaran hoaks di daerah Garut, Jawa Barat. Diritipidsiber juga menangkap 10 orang lainnya dengan inti isu penculikan lama, penghinaan ulama, dan penguasa. Mereka ditangkap antara lain di daerah Cilegon, Garut, Bandung, dan lainnya.

“Soal penculikan ulama itu memang marak di Banten, Jawa Barat, dan kemudian di Jawa Timur,” tegas Kasubdit I Diritipidesiber Bareskrim Polri, Kombes Irwan Anwar.

Dari rilis Dirtipidsiber, mereka mengaku ada kelompok yang sengaja menyebarkan kabar bohong tentang penangkapan dan penculikan ulama di daerah Garut dan beberapa daerah lainnya. Kelompok itu memakai nama Muslim Cyber Army, nama yang sempat marak pada medio 2017 saat Pilkada Jakarta. Mereka hendak mencegah Basuki Tjahaja Purnama untuk naik menjadi gubernur periode 2017-2022.

Irwan mengaku belum mengetahui keseluruhan alasan penyebaran hoaks yang dilakukan. Beberapa pelaku yang ditangkap mengaku tidak tahu bahwa kabar yang disebar adalah hoaks. Sisanya mengaku menyebarkan kabar hoaks tersebut sebagai alarm agar masyarakat berhati-hati pada orang gila dan penganiayaan ulama.

Di Jawa Barat, isu penganiayaan ulama begitu kuat. Orang Dengan Gangguan Jiwa ataupun tunawisma yang berjalan sendirian di sekeliling masjid, tempat ibadah, atau pondok pesantren menjadi korban penganiayaan. Warga menuduh orang itu pura-pura gila.

Salah satu contohnya adalah kejadian di Desa Dayeuh, Cileungsi, Jawa Barat. Seorang tuna wisma yang diidinkasi memiliki gangguan jiwa ditangkap warga sekitar dan dipaksa mengaku berpura-pura gila. Ia lantas dipukuli dan diancam dengan senjata tajam.

Hoaks Untuk Pilkada Jawa Barat

Dalam grupnya, anggota MCA menyebarkan kabar banyaknya orang gila atau berpura-pura gila yang ditangkap dan menganiaya ulama atau tokoh agama. Kejadian itu, entah benar atau tidak, diklaim dilakukan di Jawa Barat. Daerah itu antara lain Banjaran, Ciamis, Cibabat, Bogor, Tasikmalaya, Cililin, dan Cigudeg

Direktur eksekutif dari Indonesia Political Review, Ujang Komarudin menganggap isu agama ataupun SARA sengaja dikelola oleh partai politik untuk kepentingan tertentu. Hal ini disampaikan Ujang ketika dihubungi Tirto pada hari Jumat (1/3/2018).

Ujang mengaku, temuan yang mengatakan isu SARA dan hoaks kebanyakan dilakukan oleh simpatisan partai politik harus dijabarkan lebih matang. Meski belum tentu mempublikasikan isu SARA dan hoaks, partai politik mempunyai pasukan siber yang bergerak untuk menggiring opini publik.

“Kebanyakan memang, diakui atau tidak, yang menggiring opini media sosial itu ya pasti orang-orang politik. Orang-orang politik, bahkan calon-calon kepala daerah itu mempunyai pasukan-pasukan siber,” tegas Ujang.

Dalam dunia politik, Ujang menilai ada 2 poin yang hendak dibentuk oleh pasukan siber masing-masing partai politik atau kader politik. Yang pertama, pasukan siber bertugas membangun pencitraan, dan yang kedua adalah menjatuhkan pihak lawan.

“Karena isu yang paling sensitif adalah agama maka dimunculkan isu agama itu,” jelas Ujang lagi.

Pasukan siber partai politik bisa memilih isu yang akan digunakan untuk mendongkrak popularitas partai, ataupun menjatuhkan lawan politiknya. Ujang beranggapan isu agama atau SARA memang sengaja dikelola karena tetap ada hingga sekarang dalam politik.

“Jadi dia akan besar ketika dibesarkan, dia akan mengecil ketika dikecilkan. Isu agama ini isu yang dikelola dan akan selalu ada karena masyarakat sangat sensitif dan akan sangat terpengaruh dengan isu agama,” tegasnya lagi.

Bukan hanya isu SARA, hoaks juga sering diproduksi oleh tim siber partai politik. Hoaks yang dipublikasikan sering lolos dari jerat hukum karena tidak ditemukan unsur pidana atau pelaporan dari masyarakat.

Menanggapi hal ini, Dirtipidsiber Bareskrim Polri, Brigjen Fadil Imran, mengaku ada kemungkinan motifnya adalah politik. Mengingat tahapan Pilkada 2018 sedang bergulir, ia menegaskan bahwa penyidik akan menelusuri secara lebih intens.

"Sangat terbuka motifnya politik, motif Pilkada [2018], dan sebagainya,” tegas Fadil pada Tirto hari Rabu (28/2/2018).

Baca juga artikel terkait KASUS UJARAN KEBENCIAN atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Yantina Debora