Menuju konten utama

Dari Bot ke Cyber Army: Mengorganisasi Hoaks di Media Sosial

Hoaks menjalar seperti jamur di musim penghujan. Sekali ia disebar, lajunya bakal sulit ditahan.

Dari Bot ke Cyber Army: Mengorganisasi Hoaks di Media Sosial
Arus informasi yang tersebar di era internet dan media sosial, dan semakin populernya aplikasi chat, menggenapkan teori laju eksponensial: berlipat ganda, sulit dibendung. Tirto/Sabit

tirto.id - Bermaksud menghindarkan masyarakat dari hoaks, Presiden Jokowi membentuk Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) pada Desember 2017. Salah satu tugasnya: membasmi hoaks di media sosial.

Empat bulan sebelumnya, Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim (Dittipidsiber Bareskrim) Mabes Polri menangkap tiga orang anggota grup Facebook "Saracen" pada Agustus 2017.

AKBP Susatyo Purnomo, Kepala Sub Bagian Operasi Satgas Patroli Siber Bareskrim Polri, mengatakan bahwa kelompok Saracen menyebarkan ujaran kebencian melalui media sosial, seperti Facebook, Twitter, dan situs saracennews.com.

Yang masih hangat: Divisi Pidana Siber Polri menangkap 14 orang yang tergabung dalam grup WhatsApp 'The Family MCA' pada 27 Februari lalu. Anggota 'The Family MCA' diduga menyebarkan siar kebencian di media sosial. Rilis dari Mabes Polri menyebut portal-islami.id adalah salah satu situs yang dikelola Muslim Cyber Army.

Sekalipun terkesan galak, Presiden Jokowi sebetulnya berutang budi pada media sosial. Dalam makalah berjudul "Indonesian's Presidential Social Media Campaigns" (2014), Leon Andretti Abdillah menulis seluruh kandidat presiden dan wakil presiden mengorganisasi akun Facebook dan Twitter masing-masing dengan baik.

Sementara Marcus Mietzner, dalam "How Jokowi Won and Democracy Survived" (2014), menulis bahwa Jokowi amat bergantung jaringan relawan terkoordinasi dalam pemilihan presiden 2014 sebagai pengganti kerja mesin partai. Salah satu kelompok relawan itu adalah Jokowi Advanced Social Media Volunteers atau dikenal Jasmev. Mereka mengorganisasi kampanye Jokowi-JK secara khusus di media sosial.

Tanpa Penyaring di Media Sosial

Hokky Situngkir, peneliti yang berkantor di Bandung Fe Institute, mengatakan manusia memang memiliki sifat dasar menyebarkan informasi. Manusia juga cenderung ingin menjadi yang pertama dalam menyebarkannya.

Media sosial menjadi wahana penyalur sifat-dasar tersebut. Ia melengkapi wahana komunikasi yang terbangun sebelumnya, misalnya komunikasi langsung tatap muka, telegram, atau telepon.

"Media sosial menjadi menarik untuk peneliti sekarang karena membuat penyebaran informasi menjadi lintas geo-spasial. Sebelumnya, penyebaran dilakukan dari mulut ke mulut. Media sosial membuat penyebaran informasi menjadi lebih cepat," ujar Hokky kepada Tirto, Kamis kemarin.

Namun, Hokky menilai pengguna media sosial kerap tidak teliti mengenai kebenaran konten yang mereka sebarkan. Kabar hoaks yang menyebut dosen Universitas Pelita Harapan Yohanes Surya meninggal pada 2 Mei 2011 adalah salah satu contoh fenomena tersebut.

Cuitan pertama mengenai kabar ini dilontarkan seorang yang baru saja lewat depan kampus UPH. Ia melihat karangan bunga yang ditafsirkan ucapan belasungkawa atas wafatnya Yohanes Surya.

"Ada nama Yohanes, tetapi itu bukan nama Yohanes Surya melainkan nama Yohanes Untoro. Kemudian, dia bertanya (melalui Twitter), 'Itu Profesor Yohanes Surya meninggal?'," ujar Hokky.

Kemudian, pesan itu menjadi lain saat sebuah akun me-retweet dengan menghilangkan tanda tanya di akhir kalimat. Pesan salah ini pun tersebar lebih masif setelah dicuit ulang para 'seleb Twitter'.

Telaah Hokky dalam "Spread of Hoax in Social Media" (2011) menyebutkan berita hoaks mengenai wafatnya Yohanes Surya dilihat 50.000 orang setelah dicuit 59 pengguna Twitter di pelbagai kota di Indonesia. Kabar ini viral di Twitter selama hampir dua jam sebelum pesan itu dibantah oleh Yohanes Surya melalui konferensi pers.

"Setelah di-retweet keempat atau kelima, pesan itu menjadi dibaca puluhan ribu orang dan menjadi ramai," ujar Hokky.

Bagaimana Informasi Menyebar?

Secara umum, informasi dapat disebarkan dengan dua pola sederhana: pola linear dan pola eksponensial.

Ilustrasi perbedaan hasil penyebaran melalui dua teknik ini dapat digambarkan secara sederhana dalam dua skenario berikut.

Skenario pertama menggambarkan penyebaran informasi secara linear. Misalnya, pada 1 Maret 2018 seorang bernama Mawar memberitahu tanggal pernikahannya kepada Melati. Sehari kemudian, Melati memberitahu informasi tersebut kepada Seroja. Lalu, Seroja melakukan hal serupa. Artinya, setiap satu orang yang mengetahui tanggal pernikahan Mawar akan memberi tahu informasi tersebut kepada satu orang lain pada hari berikutnya.

Sedangkan skenario kedua mengilustrasikan penyebaran informasi secara eksponensial. Misalnya, pada 1 Maret 2018 Mawar memberitahu tanggal pernikahannya kepada Melati dan Seroja. Sehari kemudian, Melati dan Seroja mengabarkan informasi tersebut, masing-masing kepada dua orang lain. Lalu, dua orang ini menyebarkan lagi masing-masing kepada dua orang lain. Artinya, setiap satu orang yang mengetahui tanggal pernikahan Mawar akan memberi tahu informasi tersebut kepada dua orang lain pada hari berikutnya.

Meski jumlah target berbeda satu orang, hasil dua skenario amat berbeda.

Dalam skenario pertama, ada satu orang lain (Melati) yang tahu tanggal pernikahan Mawar pada hari ke-1. Sedangkan pada hari ke-2, jumlah yang tahu informasi tersebut menjadi 2 orang (Melati dan Seroja). Jika pola tersebut berulang, pada hari ke-30, akan ada 30 orang yang tahu informasi tersebut.

Sedangkan dalam skenario kedua, ada dua orang lain (Melati dan Seroja) yang tahu tanggal pernikahan Mawar pada hari ke-1. Lalu, pada hari ke-2 jumlah yang tahu informasi tersebut menjadi 6 orang (Melati, Seroja, dan 4 orang lain yang mereka beri tahu). Kemudian, pada hari ke-3, jumlah orang yang memiliki informasi tersebut menjadi 14 orang. Jika pola tersebut berulang, pada hari ke-30, akan ada 1.073.741.823 orang tahu tanggal pernikahan Mawar.

Dari Bot ke Laskar Siber

Para pemasar di media sosial kerap menempuh cara instan agar suatu kabar mencapai laju eksponensial dan menjadi viral. Strateginya: menggunakan bot dan cyber army.

Bot secara harfiah adalah robot tapi tidak memiliki bentuk fisik. Di Twitter, bot mengatur akun untuk mencuit, mencuit ulang (retweet), membalas (reply), atau mengikuti (follow) akun lain secara otomatis. Misalnya, bot @trumphop mencuit ulang cuitan Trump pada tanggal yang sama tahun lalu.

"Bayangkan perbedaan antara ATM dan teller bank. Keduanya bisa melakukan hal yang sama, tetapi ATM bisa melakukan hal spesifik lebih cepat dan universal," sebut Philip Bump, seperti dilansir Washington Post.

Dalam ranah politik, bot Twitter digunakan untuk mengamplifikasi penyebaran suatu kabar sehingga ia bercokol di daftar trending topic yang kerap dijadikan acuan keviralan suatu kabar di tingkat nasional atau internasional.

Menurut Hokky Situngkir, pengelola media sosial melihat penggunaan bot adalah sesuatu yang buruk. Akhirnya, mereka merancang prosedur untuk memberantas bot. Jika suatu akun dicirikan sebagai bot, pengelola media sosial bakal menonaktifkannya.

"Penelitian kami di Bandung Fe Institute menunjukkan penggunaan bot sudah sangat berkurang. Tetapi, atas dasar kebutuhan menggalang opini di media sosial, orang-orang sekarang menggunakan laskar siber. Jadi, ada orang beneran (yang menyebarkan informasi) bukan bot," ujar Hokky.

Modus laskar siber sama seperti bot. Ia menyebarkan, menyukai (like), atau membalas (reply) unggahan pengguna. Karena dijalankan manusia, bahasa yang digunakan laskar siber lebih dinamis sehingga dapat mengelabui prosedur pemberantasan bot pengelola media sosial.

Menurut Hokky, peralihan dari bot ke cyber army terjadi pada 2014 di Indonesia. Meski banyak digunakan politisi, riset yang sedang dikerjakan Bandung Fe Institute menunjukkan korporasi adalah pengguna terbanyak laskar siber.

"Dalam media sosial yang berbahasa Indonesia, perubahan dari bot ke laskar siber mulai digunakan sejak 2014, sejak pemilu. Cuma waktu itu belum rapi. Makin ke sini kita amati makin rapi," ujarnya.

"Kalau kami melihat data di Indonesia, pengguna laskar siber itu bukan politisi. Dari segi kuantitas dan volume uang mengalir justru lebih banyak digunakan korporasi,” tambah Hokky.

Infografik HL Indepth MCA

Kenapa Hanya yang 'Anti-Ahok'?

Tindakan pemerintah menangkap anggota kelompok Muslim Cyber Army dan Saracen sulit dinyatakan vakum dari dinamika politik Indonesia.

Pemerintahan Jokowi membentuk Badan Siber dan Sandi Negara pada Desember 2017 menjelang Pilkada 2018. Penangkapan terhadap penyebar berita hoaks semakin gencar.

Situs yang dikelola MCA dan Saracen, portal-islam.id dan saracennews.com, merupakan situs berkategori anti-Ahok pada saat Pilgub DKI Jakarta 2017.

Sebagai kandidat gubernur DKI Jakarta, Ahok didukung PDIP, jantung koalisi partai pendukung pemerintahan Jokowi. Secara personal, Ahok cukup dekat dengan presiden ke-7 Indonesia tersebut. Saat Jokowi menjabat gubernur DKI Jakarta, Ahok adalah wakil gubernurnya.

Namun, penyebar hoaks selama Pilgub DKI Jakarta 2017 bukan dua situs berkategori anti-Ahok itu saja. Situs berkategori pro-Ahok pun turut melakukannya.

"Masing-masing kelompok pro dan anti-Ahok menciptakan dan mengelola situs yang menghasilkan informasi tidak berimbang. Banyak situs ini dibuat beberapa bulan sebelum Pilgub berlangsung dan popularitasnya menyaingi situs media arus utama," sebut Merlyna Lim dalam "Freedom to Hate: Social Media, Elgorithmic Enclaves, and The Rise of Tribal Nationalism in Indonesia" (2017).

Lim mencatat sebanyak 16 situs tergolong pro-Ahok dan 16 situs lain tergolong anti-Ahok. Secara umum, situs pro-Ahok memiliki jumlah pengunjung lebih tinggi dari situs anti-Ahok sepanjang Oktober 2016 hingga Maret 2017. Pada masa itu, jumlah pengunjung salah satu situs pro-Ahok, seword.com, bahkan menyaingi dua situs berita daring, tempo.co dan republika.co.id.

Beberapa situs ini dengan sengaja menerbitkan konten palsu dan keliru. Misalnya, beberapa nama situs pro-Ahok sebenarnya adalah pelintiran situs anti-Ahok. Itu mencakup arrahmahnews.com (pelintiran arrahmah.com), voa-islamnews.com (pelintiran voa-islam.com), dan pkspuyengan.com (pelintiran dari pkspiyungan.com).

Jika penangkapan dimaksudkan untuk memberantas berita hoaks sepenuhnya, mengapa hanya pengorganisasi situs anti-Ahok yang ditangkap? Apakah PDIP dan Jokowi bisa menjamin apabila di Pemilu 2019 mereka kalah, laskar siber yang mereka punya tidak diberantas pemerintah saat itu?

Baca juga artikel terkait KASUS UJARAN KEBENCIAN atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Fahri Salam