tirto.id - Bagi Hamzah Zhafiri dan Khalimatu Nisa, kehadiran jasa jual beli follower pasif menjadi jawaban kebutuhan mereka. Hamzah mengaku membeli akun follower pasif untuk media sosial yang pernah dikelolanya. Sebanyak 2.000 follower dibeli dia untuk akun Instagram dan fanpage Facebook.
“Setelah tukar pikiran dengan teman-teman, kami menyimpulkan: orang mengikuti akun itu [karena] ada aspek psikologis. Mereka akan lihat berapa follower akun tersebut dan, kalau banyak, akan terkesan dipercaya,” katanya.
Hal senada diutarakan Nisa. Ia menilai ia butuh cukup banyak follower ketika merintis usaha online shop. “Supaya akunnya lebih meyakinkan dan menarik akun lain untuk follow,” jelas dia.
Setelah membeli follower, Hamzah dan Nisa merasakan keuntungannya. Tambahan follower ini membuat akun dagangannya lebih meyakinkan dan mengundang follower betulan. Hamzah mendapatkan lebih banyak jumlah like dari sebelumnya.
Jumlah pengikut yang tampak wah ini tak cuma diperlukan oleh para pelaku bisnis online. Peserta pertandingan elektoral pemilu dan pilkada pun membutuhkannya. Seorang pengelola akun media sosial sekaligus supervisor pemenangan calon kepala daerah di salah satu lembaga konsultan politik mengatakan ia membeli follower pasif jika kerja buzzer meleset dari target.
“Semua kandidat mesti pernah beli. [Saya] enggak yakin kalau tidak beli. Minimal buat menaikkan popularitas dulu,” ujarnya.
Sebanyak 20 ribu follower pasif untuk akun Instagram dan Facebook pernah ia beli untuk tiga calon kepala daerah. “Biasanya 12 bulan maintenance itu biayanya bisa mencapai Rp50-100 juta. Mungkin 5 persen - 15 persen [dari biaya pengelolaan media sosial], Rp2,5 juta - Rp15 juta bisa untuk membeli akun [follower] kalau butuh. Jika survei aman, kami berani mainin akun bot,” tambahnya.
Natalie Maréchal lewat penelitian "When Bots Tweet: Toward Normative Framework for Bots on Social Networking Sites" (2016) menjelaskan soal akun bot dalam jagat media sosial.
Menurutnya, bot bisa dimengerti sebagai penggabungan kode yang meniru pengguna dan memproduksi konten. Bot juga diartikan sebagai agen perangkat lunak yang terotomatisasi. Akun pasif atau bot, dengan demikian, tak dijalankan oleh manusia selayaknya akun aktif.
Soal bisnis bot ini, Tirto mewawancarai Saptaji, salah seorang penyedia jasa kebutuhan sosial media yang menjual akun pasif atau bot. Dengan layanannya yang bernama UBSosmed, Saptaji menjelaskan bahwa ia menawarkan jasa kebutuhan follower, like, dan komen di media sosial seperti Twitter, Instagram, Facebook, dan YouTube, selain jasa pengunjung situsweb.
Jasa lain yang bisa menjadi pilihan klien adalah auto-follower dan like per bulan untuk para selebgram. Khusus jasa follower, ada tiga tipe kebutuhan: aktif, pasif, dan campuran. Saptaji berkata ia melayani klien dari beragam kalangan, mulai dari orang biasa, selebgram, selebritas, agensi pesohor, perusahaan, brand busana, hingga tokoh politik.
Proses pembelian jasa pun tergolong mudah. Pembeli hanya perlu memberikan username tanpa kode sandi dan dapat diproses selama 30 menit hingga 24 jam. Rentang harganya: Rp10 ribu untuk 100 akun follower pasif, Rp25 ribu untuk 500 akun, dan Rp50 ribu untuk 1.000 akun. Tawaran follower pasif, menurutnya, untuk melayani klien yang "menginginkan variasi apabila klien meminta follower asing."
"Dan juga harganya cukup terjangkau,” katanya.
Namun, saat ia ditanya dari mana akun pasif itu didapat, Saptiaji enggan menjelaskan. Ia hanya mengatakan ia menggunakan beberapa penyedia jasa dari Rusia dan Vietnam.
Pebisnis bot lain adalah Ivan Cahyo yang menjual jasa jual beli follower di akun Instagram. Selain follower pasif dan aktif, ia menawarkan pengikut permanen.
“Follower permanen tidak bisa posting dan like, sementara follower aktif dan pasif bisa,” katanya.
Karakteristik masing-masing follower ini memengaruhi harga: masing-masing Rp5 ribu untuk 100 akun follower permanen dan 100 follower pasif, serta Rp10 ribu per 100 akun follower aktif. Semua jenis akun ini bisa digunakan untuk media sosial Facebook, Instagram, Twitter, YouTube, Pinterest, Spotify, dan sebagainya.
Ivan berkata bahwa ia mendapatkan follower-follower ini dari laman yang namanya enggan ia sebutkan. Dari mana sumber akun itu? Ia mengaku tidak mengetahuinya.
“Di laman itu sudah tersedia. Saya hanya kasih jumlah follower yang bakal dikirim dan harganya sudah tertera di situ,” jelasnya.
Pencurian Identitas
Bagaimana bisa ada banyak akun palsu di media sosial?The New York Times Januari lalu merilis laporan interaktif mengenai pabrik follower. Laporan ini menyebut ada peredaran akun palsu yang mencuri identitas pengguna asli.
Whitney Wolfe, asisten eksekutif yang tinggal di Florida, AS, menjadi salah satu korban. Pada 2014, saat akun Twitter dia mulai jarang dipakai, ada akun palsu yang menyalin informasi pribadinya. Akun itu kemudian beraktivitas: me-retweet aktris-aktris film dewasa dan beberapa influencer.
Jessica Rychly adalah korban yang lain. Akun gadis asal Minnesota ini disalin, foto profilnya diambil dan diedit, lalu nama akunnya dimodifikasi: @iwanttobejes menjadi @lwanttobejes. Jumlah akun yang mengikuti akun palsu ini tak wajar: 5.000 follower.
"Menurut beberapa perhitungan, sebanyak 48 juta pengguna aktif Twitter—hampir 15 persen—adalah akun-akun robot yang didesain meniru akun betulan, meski perusahaan [Twitter] mendaku jumlahnya jauh lebih kecil," demikian laporan bertajuk "The Follower Factory" tersebut, mengutip hasil penelitian dari University of Southern California dan Indiana University (Maret 2017).
Devumi, sebuah perusahaan Amerika, menjadi sorotan atas beredarnya akun-akun palsu yang dijalankan secara otomatis. Berjuta dolar pun masuk ke kantong perusahaan dari marketplace global. Devumi menjual follower Twitter dan retweet kepada pesohor, pebisnis, dan siapa pun yang ingin punya pengaruh di jagat media sosial.
Perusahaan ini memiliki stok 3,5 juta akun otomatis yang dijual berkali-kali. Persediaan akun yang mereka tawarkan kepada konsumen mencapai 200 juta followers.
Namun, pengguna yang diduga membeli akun-akun bot di Twitter minim sanksi oleh Twitter. Kristen Binns, juru bicara Twitter, mengatakan perusahaan tak memberi hukuman dengan alasan mereka susah mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas transaksi pembelian akun tersebut.
Jika sudah begini, ada baiknya memeriksa: Apakah akun anda tiba-tiba diduplikasi?
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Maulida Sri Handayani