Menuju konten utama

Sejarah Survei Politik di Indonesia: Semula Akademis Jadi Bisnis

Lembaga survei kini menjadi bagian penting politik elektoral di Indonesia. Bagaimana asal-usulnya?

Sejarah Survei Politik di Indonesia: Semula Akademis Jadi Bisnis
Ilustrasi: Pilkada Jakarta 2017 menjadi arena elektoral paling sengit dalam pemilihan langsung pasca-Soeharto. Tirto/Sabit

tirto.id - Pada 6 Februari 2016, Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra meramalkan situasi yang bakal melingkupi Pilkada Jakarta. "Kalau ada pertarungan satu lawan satu, saya kira akan sangat menarik. Paling tidak, persis pilpres," ujarnya. Duel yang diandaikan Yusril saat itu adalah duel antara dirinya, jika ia mendapat pinjaman modal politik yang memadai dari partai-partai, dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, petahana.

21 September 2016, dua hari sebelum Agus Harimurti Yudhoyono mendaftar sebagai calon gubernur Jakarta, ayahnya, mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menggelar acara kumpul-kumpul pejabat Partai Demokrat di kediaman mereka di Cikeas, Bogor. Dalam pertemuan itu, kepada Juru Bicara Partai Demokrat Imelda Sari, Yudhoyono melontarkan satu dari banyak pernyataannya yang populer akhir-akhir ini: "Mel, ini pilkada rasa pilpres, ya."

Yudhoyono tertawa setelah bicara demikian. Namun, secara obyektif, muatan terbesar "rasa pilpres" (jika ia, seperti Yusril, mengacu kepada pilpres 2014), bukanlah guyon, melainkan horor. Simaklah, misalnya, tulisan Yenni Kwok di majalah Time pada Juli 2014:

"Banyak orang membandingkan pemilihan presiden Indonesia ... dengan perang-perang besar yang termahsyur. Warga internet kerap menyamakannya dengan Bharatayudha, perang penghabisan dalam epos Hindu Mahabharata—yang populer di Indonesia. Seorang politikus menyebutnya Star Wars Indonesia. Bahkan Amien Rais, mantan ketua ormas Islam Muhammadiyah yang berkekuatan 30 juta orang, menyerupakan pemilihan itu dengan Perang Badar yang dialami Nabi Muhammad."

Bharatayudha, Star Wars, dan Perang Badar, dalam naratif masing-masing, sama-sama mengembuskan maut yang likat. Mereka menjanjikan genangan darah, mayat-mayat, dan kehilangan. Padahal semestinya, seperti yang dikatakan Goenawan Mohamad suatu kali, pemilihan umum adalah jalan paling damai untuk memilih pemimpin, bukan bencana yang membikin hari esok tak ada.

Namun, baik serupa perang maupun pakansi yang menggembirakan, situasi politik bukanlah hasil kerja satu orang. Ia adalah segentong sop dalam acara masak bersama yang banyak orang dapat mencemplungkan bahan ke dalamnya. Pada hasilnya yang kita cecap beramai-ramai, rasa wortel yang dibawa si Fulan tentu telah larut bersama rasa keluak dari si Abdul dan lain-lain.

Salah satu “juru masak” penting situasi politik yang melingkupi praktik pemilihan umum adalah lembaga-lembaga survei politik. Lewat pelbagai survei yang mereka kerjakan sejak sebelum pemilihan (popularitas dan elektabilitas), hitung cepat suara, hingga exit poll, mereka dapat mempengaruhi pandangan publik sekaligus strategi para kontestan.

Lembaga-lembaga Survei Politik di Indonesia

Menurut Marcus Mietzner dalam artikelnya “Political Opinion Polling in Post-authoritarian Indonesia: Catalyst or Obstacle to Democratic Consolidation?” yang diterbitkan Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia edisi 165 jilid 1 (2009), lembaga-lembaga jajak pendapat dengan tujuan-tujuan politik lazimnya hanya lahir di negara-negara yang memenuhi dua syarat dasar. Pertama, warganya mesti mempunyai kebebasan sipil dan politik yang substansial.

“Di negara-negara otoriter atau pseudo-demokratis, penerbitan hasil-hasil jajak pendapat lazim dicekal atau dihambat, sebab ia dianggap mencerminkan, bahkan dapat memperburuk, ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah,” tulis Mietzner.

Kedua, survei profesional bergantung pada metodologi yang dirancang secara seksama, peneliti-peneliti yang berpengalaman, dan responden dalam jumlah besar. Tetapi di banyak negara berkembang, kata Mietzner, ongkosnya seringkali tidak tersedia.

Wajar jika Indonesia pra-reformasi tidak mengenal tradisi survei politik. Pada masa awal Republik (1950-57), demokrasi parlementer memang telah berdiri. Namun, menurut J. Eliseo Rocamora dalam bukunya Nationalism in Search of Ideology: The Indonesian Nationalist Party 1946-1965 (1975), partai-partai politik yang bekerja dalam sistem itu kekurangan keterampilan serta dana buat mengerjakan survei-survei atas para pemilih.

Lagi pula, sebagai alat buat memprediksi hasil pemilihan umum, jajak pendapat profesional baru muncul pada pertengahan 1930an di Amerika Serikat, ketika Robert Gallup memperkenalkan metode anyar buat mengambil sampel, menggantikan cara majalah Literary Digest yang naif, boros, dan persebaran respondennya tidak merata. Selain perkara biaya, ada pula kemungkinan teknik-teknik survei itu belum menyebar sampai ke Indonesia.

Kemudian, sejak 1959 hingga reformasi pada 1998, Indonesia dikendalikan oleh rezim-rezim otoriter (“Demokrasi Terpimpin” Sukarno dan otokrasi Soeharto).

Menjelang Soeharto lengser, barulah jajak-jajak pendapat politik semiprofesional terselenggara di Indonesia, dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Sosial dan Ekonomi (LP3ES) sebagai pelakunya yang terpenting.

Para peneliti LP3ES, tulis Mietzner, tidak asing dengan metode-metode pengambilan sampel berbasis hitung-hitungan. Pada “pemilihan umum” terakhir Orde Baru, 1997, misalnya, mereka telah mengadakan survei hitung cepat (quick count) untuk kawasan Jakarta. Kemudian, dalam lanskap politik yang telah membaik di bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie, LP3ES juga menyelenggarakan survei atas pemilihan legislatif 1999, sekalipun masih kekurangan sumber daya.

Pada masa itu, survei-survei politik belum digunakan oleh para politikus buat membangun pijakan-pijakan elektoral mereka atau membentuk citra diri yang dapat mendatangkan suara seperti sekarang. Partai-partai politik yakin bahwa cara kampanye tradisional masing-masing lebih unggul ketimbang studi-studi mendalam terhadap perilaku memilih (voting behaviour) rakyat.

Salah satu sebab sikap hangat-hangat kuku terhadap data itu, tulis Mietzner, adalah anggapan para politikus bahwa kesepakatan, juga keputusan-keputusan terpenting legislatif dan eksekutif, tidak tumbuh dari kotak suara, melainkan lahir dari negosiasi-negosiasi antar-elite.

Sistem elektoral yang berlaku di antara 1999 dan 2004 memang mendukung anggapan itu. Pada 1999, presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Demikian pula pada 2001, ketika Presiden Abdurrahman Wahid dimakzulkan oleh MPR; jabatannya berpindah kepada wakilnya, Megawati, tanpa melewati pemilihan umum lain. Dalam skala yang lebih kecil, para gubernur, bupati, dan walikota juga dipilih oleh badan legislatif daerah masing-masing.

Mengikuti amandemen konstitusional pada 2002, Indonesia memberlakukan sistem elektoral baru buat pemilihan umum 2004 dan seterusnya: Presiden harus dipilih langsung oleh rakyat. MPR kehilangan pelbagai keistimewaan dalam hal penetapan kebijakan, dan kepala-kepala daerah juga mesti dipilih berdasarkan suara terbanyak. Perubahan itu membuka zaman baru politik pemilihan umum di Indonesia.

Zaman Baru Politik Pemilihan Umum Indonesia

Pada awal 2004, pelbagai lembaga survei menyatakan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai kandidat terkuat presiden, tetapi partai Demokrat yang ia dirikan hanya memperoleh sedikit dukungan. Karena perbedaan popularitas yang kelewat besar di antara keduanya, menurut Mietzner, pemimpin partai-partai besar seperti Golkar dan PDI Perjuangan mencemooh hasil jajak-jajak pendapat itu sebagai “potret fenomena sementara yang cacat metodologis.” Mereka mengira popularitas Yudhoyono bakal terbenam begitu mesin partai masing-masing telah dinyalakan.

Dan Yudhoyono menang pemilihan umum presiden 2004 dengan raupan suara 33,57 persen pada putaran pertama dan 60,62 persen pada putaran kedua. Keyakinan bahwa partai sanggup menggembalakan suara goyah habis-habisan; toh kandidat populer tanpa dukungan partai kuat sanggup mengatasi pengelompokan masyarakat Indonesia berdasarkan ukuran-ukuran sosial-politik dan keagamaan, serta menarik suara dari elektorat yang beragam.

Kaum elite politik Indonesia pun belajar lewat cara yang menyakitkan untuk tidak meremehkan data. Salah satu di antara mereka ialah Amien Rais, orang yang pernah mengamuk karena mengira lembaga-lembaga survei telah dengan sengaja hanya mewawancarai responden yang membencinya.

“Bagi Amien, hasil pemilu dan ketepatan prediksi lembaga-lembaga survei bahwa ia akan jadi calon presiden dengan jumlah suara nomor dua dari bawah menandakan akhir karier politiknya,” tulis Mietzner. “Pada 2005, ia mengumumkan pengunduran diri selaku ketua Partai Amanat Nasional dan bersumpah tak bakal kembali mencalonkan diri sebagai presiden.”

Pada awal 2006, tidak ada partai politik besar di Indonesia yang tak mengandalkan survei politik untuk menentukan calon-calon gubernur dan anggota badan legislatif daerah mereka.

Infografik HL Indepth Lembaga Survei

Lembaga Survei Politik: Kekuasaan, Uang, Rivalitas

"Dengan kenaikan status lembaga survei sebagai alat elektoral penting bagi para politikus Indonesia, tak mengejutkan bila lembaga-lembaga itu sendiri semakin lama semakin kerap terseret ke dalam intrik, perebutan kekuasaan, dan godaan-godaan keuangan yang lazimnya diasosiasikan dengan politik elite," tulis Mietzner.

Masa kampanye pemilu 2004 melahirkan satu jenis “baru” survei politik, yang tenaga pendorong utamanya bukanlah kuriositas akademik sebagaimana sebelumnya. Para pelaku survei jenis itu tak hanya memberitahu partai-partai dan kontestan pemilu tentang situasi mereka, tetapi juga membimbing agar mereka dapat meningkatkan kesempatan terpilih.

Dan sejak saat itu, kata Mietzner, para pelaku survei politik Indonesia terbelah ke dalam dua kubu: Kubu “akademik”, yang meyakini bahwa jajak pendapat semestinya melayani kebutuhan masyarakat akan informasi serta transparansi politik, dan kubu komersial, yang tak keberatan ikut mengorganisir kampanye bagi partai dan kontestan pemilu.

“Saya seperti dokter. Saya memberitahukan pasien apa penyakit yang sedang ia derita,” ujar Saiful Mujani kepada Mietzner dalam wawancara mereka pada November 2006. “Tetapi saya bukan tukang obat yang meracik obat dan menjualnya.” Tokoh yang berseberangan dengan Saiful, ialah kawan lamanya, Denny Januar Ali. Keduanya murid Indonesianis terkenal William Liddle di Ohio State University, Amerika Serikat.

Pada 1999, Saiful, Liddle, dan sejumlah rekan mereka mendapat dana dari National Science Foundation untuk menelaah perilaku memilih orang-orang Amerika Serikat dalam pemilu parlementer. Sejak itu, ujar Saiful kepada Mietzner, ia berkeinginan mendirikan lembaga surveinya sendiri. Kesempatan itu muncul pada Agustus 2003; ia, bersama Denny, mendirikan Lembaga Survei Indonesia (LSI).

“Misi LSI adalah menelaah kehendak rakyat, sehingga kaum elite dapat menanggapinya secara efektif,” kata Saiful.

Indonesianis lain yang punya hubungan baik dengan Saiful, Takashi Shiraishi dari Jepang, melobi Japan International Cooperation Agency (JICA) supaya menjadi donor LSI. Permohonan itu diterima, maka LSI dapat menjalankan survei-survei awalnya tanpa sumber dana lain.

Namun, Denny segera menyadari bahwa LSI bisa berperan lebih dari menyajikan laporan kepada masyarakat dan elite politik. Menurutnya, dengan data yang mereka punyai, LSI dapat menjadi pemain politik yang serius. Mempertimbangkan hasil-hasil survei LSI yang menunjukkan popularitas Susilo Bambang Yudhoyono sejak sebelum putaran pertama pemilu 2004, Denny menawarkan layanan LSI kepada Yudhoyono.

“Bertentangan dengan keinginan Saiful dan para anggota lain 'faksi akademis' LSI, Denny menceburkan diri ke dalam kampanye elektoral Yudhoyono,” tulis Mietzner.

Kompas edisi 29 Juni 2004 bahkan melaporkan bahwa Denny mengusulkan agar Yudhoyono tampil dalam kontes menyanyi super populer di televisi, dan menjadikan acara itu panggung yang memungkinkan Yudhoyono berbicara kepada jutaan penonton.

Perbedaan pendapat itu akhirnya berujung pada pengunduran diri Denny dari LSI pada Mei 2005. Namun, itu bukan kali terakhir namanya terdengar. Tak lama setelahnya, Denny mendirikan lembaga survei dan agen konsultasi politik miliknya sendiri, dengan nama Lingkaran Survei Indonesia, yang juga disingkat LSI.

Sejak Juni 2005, Denny menggarap banyak pemilu di daerah-daerah. Ia memasang tarif senilai miliaran rupiah, mengumumkan akurasi survei dan keberhasilannya sebagai konsultan di media-media.

Hingga kini, menurut Mietzner, Denny telah bekerja untuk hampir semua partai besar di Indonesia. Saiful Mujani, kolega sekaligus "lawan" Denny di LSI, juga mendirikan lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC).

LSI, LSI, dan SMRC adalah 3 dari 24 lembaga survei yang terdaftar resmi di KPU DKI Jakarta pada 2017.

===========

Artikel ini kali pertama dipublikasikan pada 17 Februari 2017. Dirilis ulang karena relevan dengan tema laporan mendalam Tirto mengenai lembaga survei dan konsultan politik di Indonesia.

Baca juga artikel terkait PILKADA SERENTAK 2018 atau tulisan lainnya dari Dea Anugrah

tirto.id - Politik
Reporter: Dea Anugrah
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Maulida Sri Handayani