tirto.id - "Seandainya menang, saya akan bergerak. Bahkan saya akan langsung bekerja," ujar Sylviana Murni, calon wakil Gubernur DKI Jakarta, kepada wartawan Tirtopada Rabu 15 Februari 2017 di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 103 Pondok Kelapa, Jakarta Timur.
Itu semangat yang luar biasa dan sesuai dengan slogan “kerja, kerja, kerja” Pemerintah Republik, tetapi agar semangat itu tak berbalik menjadi bahan olok-olok, ada baiknya kelak Mpok Sylvi memperhatikan baik-baik judul laporan yang ia baca.
Lembaga-lembaga survei di Indonesia umumnya memperkirakan hasil pemilihan umum di pelbagai tingkat, mulai dari pemilihan bupati hingga presiden, dengan tiga cara, yaitu survei pra pemilihan, hitung cepat (quick count), dan jajak pendapat pemilih di tempat-tempat pemungutan suara (exit poll). Hasil ketiganya tentu bisa berbeda.
Kepada Prodita Sabarini dari The Conversation, Dirga Ardiansa, pakar statistik dan manajer penelitian Pusat Studi Ilmu Politik Universitas Indonesia, mengatakan bahwa survei yang hasilnya paling mendekati kenyataan adalah hitung cepat. Dirga mencontohkan pemilu presiden 2014. Jika satu lembaga survei mengambil 2.400 dari 479 ribu TPS di seluruh Indonesia, menurut dia margin of error atau kemungkinan keliru hasil survei itu adalah 2 persen.
"Hitung cepat itu sampelnya bukan individu, melainkan TPS," ujarnya. "Semakin banyak sampel yang dipakai lembaga survei, semakin akurat data mereka."
Exit poll menawarkan jenis informasi yang lain. Survei ini dilakukan dengan cara mengajukan kuesioner kepada para pemilih setelah mereka meninggalkan bilik-bilik suara. Ia adalah sumber yang baik buat menimba data demografi pemilih.
Lewat exit poll, para kontestan bisa memperoleh gambaran “orang seperti apa” berdasarkan usia, jenis kelamin, agama, suku, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, afiliasi dengan organisasi masyarakat, dan lain-lain yang memilih mereka.
Meski tak seakurat hitung cepat dalam memperkirakaan hasil pemilihan, hasil exit poll tentu lebih kokoh dibandingkan survei-survei popularitas dan elektabilitas. Sebab, menurut Dirga, ada kemungkinan besar orang berubah pikiran dalam rentang waktu antara survei-survei pra-pemilihan itu dan saat pemilihan.
Pada 9 Juli 2014, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merilis hasil penghitungan suara berdasarkan laporan saksi mereka di tempat-tempat pemungutan suara di seluruh Indonesia. Laporan itu membuat pasangan calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa mewek dilanda keharuan dan tersungkur di muka kamera stasiun-stasiun televisi. Sujud syukur kemenangan, tentu.
Namun, kita tahu kelanjutan cerita itu: Prabowo kalah dan hitungan PKS terbukti persis dengan survei pra-pemilihan yang mereka keluarkan pada 5 Juli 2014, empat hari sebelumnya, sampai rincian terkecil. Dan berkat itu, rakyat Indonesia mendapat bahan tertawaan buat bertahun-tahun.
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Maulida Sri Handayani