tirto.id - Jack Dorsey sedang nongkrong di sebuah warung kopi. Dorsey saat itu pengangguran, masih berusia 29 tahun, dan memiliki kemampuan mumpuni sebagai seorang hacker. Hidung kanannya ditindik. Sambil menatap layar laptop, ia mendengarkan musik punk rock melalui earphone.
Seseorang membuka pintu warung kopi. Dorsey mendongakkan kepala. Ia mengenali lelaki muda yang baru saja masuk sebagai Ev Williams. Pria muda yang baru berusia 33 tahun itu merupakan pendiri perusahaan rintisan Blogger. Beberapa tahun sebelumnya, Blogger dibeli raksasa Google dan membuat Williams kaya-raya.
Seperti anak ingusan lain yang tidak sengaja ketemu dengan orang yang dikaguminya, Dorsey tidak berani menyapa. Tapi dari situ Dorsey mencoba mencari tahu apa yang sedang dikerjakan Williams. Tak lama kemudian, ia memberanikan diri berikirim surat.
Williams sedang fokus mengurus perusahaan barunya, pengembangan aplikasi untuk podcast bernama Odeo. Dorsey menemukan beberapa lubang di aplikasi tersebut dan mengirimkan penemuannya berikut solusi yang ia tawarkan. Saat itu, Williams sebenarnya tidak berniat merekrut programmer baru. Namun, melihat kemampuan Dorsey, Williams akhirnya mengajaknya bergabung.
Malang tak dapat ditolak, untung tak selamanya diraih. Setahun setelah Dorsey bergabung dengan Odeo, Apple meluncurkan aplikasi sejenis di iTunes. Apple, yang sudah punya basis pengguna besar, tentu lebih mudah menjual aplikasinya. Keberadaan Odeo terancam. Seisi perusahaan kalang-kabut. Mereka yang semuanya anak muda pusing tujuh keliling, terutama Williams yang sudah menanamkan modal besar.
Di tengah kekalutannya, Williams memutuskan menghentikan sementara pengembangan Odeo. Ia mengumpulkan rekan-rekannya, menyarankan mereka untuk hackathon, mencari kemungkinan lain yang bisa dikerjakan bersama selain aplikasi podcast.
Dari sinilah Twitter bermula. Dari satu titik buntu dan frustrasi.
Dalam perkembangannya, yang banyak dinaungi Dewi Fortuna, Twitter juga menemui titik-titik buntu yang lain. Pertentangan antar pendirinya, hingga perpisahan-perpisahan mereka turut mewarnai perjalanan Twitter. Salah satu pendiri, Noah Glass, hingga saat ini masih menyimpan kemarahan terhadap teman-temannya. Noah adalah co-founder yang dilupakan.
Dalam buku Hatching Twitter: A True Story of Money, Power, Friendship, and Betrayal, Nick Hilton, jurnalis New York Times, menulis lika-liku perjalanan empat sekawan pendiri Twitter—selain tiga nama di atas, ada rekan Williams sejak dari Blogger, Biz Stone. Tak ada yang meragukan bahwa ide awal Twitter berasal dari kepala Jack Dorsey, tapi yang sangat berjasa besar bagi pengembangannya adalah Noah Glass. Glass digambarkan mencurahkan semua yang ada pada dirinya, nyaris obsesif, untuk produk baru yang sedang mereka bikin.
Tapi tak lama setelah Twitter diluncurkan, Glass segera disingkirkan oleh Williams. Dorsey juga merasa tak bisa bekerja sama dengan Glass lagi. Artinya, dia juga menginginkan Glass minggat. Glass dianggap dapat merusak lingkungan kerja karena kecenderungannya yang meledak-ledak, pribadinya sedang rentan akibat perceraian. Sampai sekarang ia masih menyimpan kekecewaan terhadap teman-temannya, di bio akun Twitter Glass masih tertulis: “Saya yang memulai semua ini.”
Setelah 10 tahun, Twitter menjadi salah satu raksasa di internet. Tapi belakangan, krisis juga melanda mereka. Beberapa petinggi mengundurkan diri, pengguna aktif tidak tumbuh signifikan, pendapatan iklan menurun, dan harga saham terus merosot. Satu titik buntu lain.
Akankah Twitter berakhir di sini?
Terlalu Banyak Kepala
Secara mengejutkan, Dick Costolo mengundurkan diri dari jabatannya sebagai CEO pada pertengahan 2015. Dorsey, yang menjabat sebagai chairman, dipercaya menjadi CEO interim, menggantikan Dick sementara waktu hingga CEO yang lebih dipercaya ditunjuk. Tetapi tidak ada CEO baru. Dorsey, yang sebelumnya pernah dipecat dari jabatan CEO-nya pada tahun 2008, kembali diplot sebagai CEO permanen pada Oktober 2015.
Dick Castolo, bagaimanapun, adalah CEO yang berhasil membawa Twitter melangkah sejauh sekarang. Ia berhasil mengatasi beberapa persoalan Twitter yang sebelumnya sulit dicarikan solusi, mengembangkan beberapa model bisnis. Ia juga membuat Twitter bisa menggaet ratusan juta pengguna. Di atas itu semua, Dick adalah titik yang menyeimbangkan dua pendiri yang hubungannya tidak selalu berjalan mulus: Williams dan Dorsey.
Pada 2008, ketika melepaskan jabatannya, Dorsey sempat kesal dengan Williams yang kemudian menduduki kursinya. "Dia selalu bilang tidak ingin menjadi CEO. Sekarang dia jadi CEO,” kata Dorsey. Williams dan Dorsey akhirnya hanya bertukar tempat. Dorsey jadi chairman menggantikan Williams.
Dorsey dianggap inkompeten dalam membereskan permasalahan dan menghadapi tantangan Twitter. Apalagi, Dorsey sering meninggalkan kantor pada pukul 6 sore dengan alasan ikut kelas yoga dan desain. "Kamu tidak bisa menjadi desainer pakaian sekaligus CEO Twitter, Jack. Kamu harus memilih,” kata Williams ketika itu.
Tapi Williams juga bukan CEO yang baik. Dalam proses transisi pada 2010, yang banyak dicurigai orang karena campur tangan Dorsey, Williams digantikan oleh Dick Costolo.
Jika Facebook hanya mengalami serangkaian keributan di masa-masa awal pembentukannya, pertengkaran tak pernah berhenti di Twitter. Setelah menjadi perusahaan publik, Mark Zuckerberg mengendalikan Facebook nyaris seorang diri. Namun, tidak demikian dengan Twitter. Kisah penciptaan Twitter saja ada macam-macam versinya, juga gesekan-gesekan di dalamnya. Pendeknya, Facebook hanya punya satu kepala, tapi Twitter punya banyak kepala—dan semuanya keras.
Kinerja Memburuk
Pada 25 Januari 2006, Dorsey mengumumkan perginya empat eksekutif senior Twitter. Mereka adalah kepala bagian produk Kevin Weil, kepala bagian media Katie Jacobs Stanton, kepala divisi teknologi Alex Roetter, dan kepala SDM Skip Schipper. Menanggapi berbagai desas-desus mengenai penyebab hengkangnya empat petinggi tersebut, Dorsey memuji kinerja keempatnya selama di Twitter dan mengungkapkan kesedihan atas kepergian mereka.
Mundurnya para eksekutif Twitter itu merupakan rangkaian dari beragam nasib buruk yang dialami Twitter. Nilai perusahaan Twitter terus anjlok hingga lebih dari 50 persen sejak Dorsey menjabat CEO untuk kali kedua. Pada 1 Juli 2015, ketika Dorsey resmi menggantikan Costolo, nilai perusahaan di pasaran masih di angka USD 23,87 miliar. Pada 5 Februari 2016, nilai Twitter tinggal USD 10,74 miliar. Artinya, nilai perusahaan tergerus hingga 55,59 persen.
Per 5 Februari 2016, saham Twitter hanya seharga USD 15,72 per lembar, atau sekitar Rp. 214.027. Ini adalah rekor harga penutupan terendah Twitter sejak masuk bursa, lebih rendah dibanding harga awal. Pada November 2013, ketika pertama kali melantai, harga IPO saham Twitter USD 26, dan pada hari yang sama, karena tingginya permintaan, ditutup hingga bernilai USD 44,90 per lembar. Pendapatan iklan pun bukannya naik, malah turun melulu.
Merosotnya nilai saham tersebut tak lepas dari pertumbuhan pengguna Twitter yang terus menurun dari tahun ke tahun. Menurut data dari eMarketer, pertumbuhan pengguna Twitter pada 2015 hanya 18,5 persen, tidak lebih baik dari tahun sebelumnya yang 24,4 persen. Selain itu, ada faktor eksternal yakni turunnya harga saham-saham sektor teknologi.
#RIPTwitter
Dorsey bukannya tanpa usaha. Untuk memperbaiki performa perusahaan, ia telah melakukan serangkaian terobosan dan perbaikan. Dimulai dari peluncuran Periscope, sebuah aplikasi video untuk menayangkan peristiwa secara live, disusul fitur Moments yang memungkinkan sebuah cerita terpilih dirangkum dalam satu kanal khusus. Lalu dalam segi layanan, Dorsey mengganti tombol Favorite berlambang bintang menjadi Likes berlambang hati. Sementara Direct Message, fitur pengiriman pesan sesama pengguna, dikembangkan hingga 1.000 karakter—sebelumnya hanya tersedia untuk 140 karakter.
Ada pula wacana untuk tidak lagi membatasi tweet, disamakan dengan DM yang mencapai 1.000 karakter. Rencana ini mendapat respons negatif dari banyak orang. Twitter dikhawatirkan akan kehilangan karakternya jika batas karakter diperluas. Tapi yang paling menuai kontroversi adalah rencana menerapkan sistem algorithmic timeline, mengganti kronologi terbalik bersifat real-time yang saat ini dipakai, yang memungkinkan pengguna melihat feed sesuai dengan ketertarikan terbesarnya atau preferensi berdasarkan perilaku like atau komentar (reply) dan share (retweet)—seperti timeline Facebook.
Sabtu, 6 Februari 2016, Buzzfeed menurunkan berita terkait rencana perubahan ini. Disebutkan, pilihan ini diambil untuk mengatasi persoalan terlalu bisingnya Twitter. Beberapa portal berita teknologi juga mengikuti. Hasilnya, banyak pengguna Twitter melayangkan protes keras dengan tagar #RIPTwitter. Mereka menganggap itu adalah rencana perubahan yang nggak Twitter banget, maka sekalian didoakan saja kematiannya.
Dorsey segera memberikan klarifikasi. Melalui akun pribadinya, ia menulis: “Halo, Twitter! Menanggapi #RIPTwitter: Saya ingin kalian semua tahu bahwa kami selalu mendengarkan. Kami tidak pernah berencana mengatur ulang timeline minggu depan. Twitter adalah siarang langsung. Twitter adalah real-time. Twitter adalah tentang siapa dan apa yang kamu follow. Dan Twitter masih di sini! Dengan terus menjadi lebih Twitter banget.” Menurut Dorsey, algorithmic timeline itu dikembangkan hanya untuk menyempurnakan fitur “while you were away,” agar tweeps tidak ketinggalan informasi.
Tapi bagaimana upaya untuk menjadi lebih “Twitter banget” itu? Definisi lawas live, real-time, microblog, about who & what you follow sepertinya tak lagi memadai sebagai sesuatu yang more twitter-y. Harus ada yang lebih dari itu. Lebih-lebih saat ini Twitter sedang dalam masa krisis yang cukup suram.
Tantangan paling besar Twitter saat ini adalah melipat-gandakan jumlah pengguna. Untuk mengambil hati para calon pengguna tentu bukan urusan mudah, butuh terobosan luar biasa agar dunia kembali berpaling ke Twitter seperti di tahun 2009-2010. Perlu inovasi yang barangkali tak terbayangkan oleh kebanyakan orang supaya para remaja bersedia mendaftarkan diri di Twitter. Dengan angka pertumbuhan pengguna yang terus menurun, Twitter kini telah disalip oleh Instagram yang notabene baru diluncurkan pada 2010. Besar kemungkinan sebentar lagi Snapchat—yang diluncurkan pada 2011—akan ikut membelakangi.
Memang belum ada pakar teknologi yang berani meramalkan senjakala Twitter. Kebanyakan masih menunggu langkah apa yang akan ditempuh para petingginya. Twitter memang terlalu besar untuk gagal. Hampir semua kepala negara menggunakan, semua media dan penerbitan memanfaatkan, dan sebagian besar selebritas masih memakainya untuk menyapa para fans. Namun, tanpa perubahan berarti, bukan tidak mungkin Twitter akan berakhir seperti MySpace yang mirip museum-museum di Indonesia yang sepi pengunjung, atau Friendster yang beralih rupa menjadi situs permainan.
Twitter tak bisa lagi bersandar pada keberuntungan-keberuntungan kecil ketika beberapa tokoh terkenal mulai aktif berkicau—dari Ashton Kutcher, Britney Spears, dan, tentu saja, the one and only Justin Bieber—atau momen-momen yang membutuhkan breaking news seperti bencana alam. Para tokoh kini juga aktif mengelola fanpage di Facebook, suka pamer foto dan berselancar di Instagram, hobi menyiarkan dan berbalas-balasan video di Snapchat. Pilihan untuk menyebarkan kabar terbaru pun tak lagi sebatas Twitter.
Pada tahun 2011, Jack Dorsey di hadapan peserta Konferensi All Things Digital menjawab pertanyaan tentang “Apa itu Twitter?”. “Kami tidak punya jawaban. Tapi ini oke—bukan masalah. Twitter adalah dunia, merefleksikan dunia, dan akan berbeda bagi orang berbeda di waktu berbeda,” jawabnya. Waktu itu Twitter sedang jaya-jayanya. Dorsey mengucapkan itu dalam maksud positif, bahwa Twitter didefinisikan oleh bagaimana para pengguna memaksimalkannya.
Tapi sekarang, Twitter yang setengah mati membutuhkan pengguna baru. Twitter yang perlu merumuskan ulang jati dirinya—bukan pengguna. Apa itu yang Twitter-y? Apa itu yang lebih Twitter banget?
Penulis: Arlian Buana
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti