tirto.id - Dalam sebuah video, dua orang pria yang terlihat saling rangkul dan cium di atas motor yang sedang berhenti di lampu merah. Tak lama kemudian, terdengar suara seorang wanita menegur perbuatan mereka berdua. Dalam sekejap, video yang diunggah SM, wanita penegur itu, ramai tersebar dan dikaitkan dengan aktivitas LGBT.
Dalam video, pria yang mengendarai motor telah berupaya menjelaskan bahwa ia dan lelaki diboncengnya bersaudara. Namun, SM tetap meminta mereka berhenti melakukan tindakan tersebut dengan dalih menghormati pengguna jalan lainnya.
Setelah video viral, tak sedikit yang mengecam SM. Dan ternyata, kedua laki-laki tersebut memang benar-benar bersaudara. SM kemudian bertemu dengan pihak korban untuk menyelesaikan persoalan dan meminta maaf atas tindakan menyebarluaskan video tersebut.
“Saya akui akibat saya viralkan video mereka, khalayak ramai jadi berasumsi tidak baik kepada mereka dan berakibat buruk bagi mereka yang berawal dari saya,” begitu tulis SM dalam akun Facebook-nya.
Kebiasaan mengunggah kejadian berupa foto atau video yang dianggap kontroversial telah menjadi fenomena umum di internet. Warganet menjadi komentator sekaligus hakim yang menentukan benar-salahnya perbuatan orang yang ada dalam foto atau video yang viral.
Bahkan, baru-baru ini muncul kampanye untuk “menciduk” orang yang dianggap melakukan asusila di muka umum. Kampanye bernama Celup digagas oleh mahasiswa semester 5 dari Surabaya bernama Fadhli Zaky.
Celup merupakan akronim dari cekrek, lapor, upload. Dalam akun Instagramnya, @cekrek.lapor.upload terdapat ilustrasi seorang laki-laki yang sedang merangkul perempuan. Di belakang pasangan kekasih itu, seorang pria diam-diam mengambil gambar keduanya.
“Pergokin yuk! biar kapok,” begitu kalimat dalam ilustrasi tersebut.
Pada bio Instagramnya, sebuah kalimat provokatif terpampang: Selamatkan ruang publik kita, pergoki mereka! Laporkan kepada kami.
Celup, menurut pengakuan Fadhli, terbentuk karena kegelisahan terhadap ruang publik yang beralih fungsi menjadi tempat pacaran. Ia menganggap banyak orang tak malu mengumbar kemesraan di tempat umum, seperti parkiran, bioskop, taman, maupun di area transportasi publik.
Media Sosial Menghancurkan Hidup Orang
Kasus SM atau gerakan Celup menjadi gambaran betapa mudahnya orang menyebarkan aib orang lain ke media sosial ketimbang menegur langsung. Orang-orang yang melakukan hal itu tak merasa perlu bertanya kepada orang yang dituduh melakukan asusila.
Tanpa butuh menunggu hitungan minggu, dalam sehari, video yang diunggah SM mampu menarik banyak mata untuk menonton. Apalagi video itu diunggah ulang oleh akun-akun gosip dan media massa kenamaan.
Psychology Todaymelansir tulisan yang menunjukkan bahwa berita negatif memiliki daya tarik lebih dibandingkan dengan berita-berita positif. Perbandingannya, jika ada satu berita positif muncul, maka sudah ada 17 berita negatif yang dikonsumsi publik.
Ternyata kondisi ini berhubungan dengan evolusi otak manusia dalam lingkungan pemburu. Otak akan memerintahkan refleks tubuh untuk menghindar ketika bertemu ancaman yang dipersepsikan sebagai hal negatif. Organ tubuh tersebut lebih sensitif terhadap hal negatif dibanding hal positif.
Pada zaman kuno, hukuman mati yang dipertontonkan di depan umum merupakan hal yang dianggap wajar. Kini, akses teknologi dan media sosial semakin mudah diraih. Efek menghukum di hadapan publik bergeser ke dunia maya.
Sebuah tulisan dari Joel Stein di Time menjabarkan bagaimana internet dan media sosial telah menjadi monster: tempat saling hina dan menghancurkan hidup orang lain. Warganet lazim bertindak sebagai pahlawan moral, mengancam, menghina, memaki orang lain yang dianggapnya lebih rendah. Menghancurkan hidup orang lain hanya untuk bersenang-senang.
Perlakuan itu, menurut tulisan John Suler (2004), terjadi karena adanya online disinhibition effect pada lingkungan digital, yakni ketidakmampuan menahan diri. Ada 6 faktor penyebabnya, yakni anonimitas, ketidaktampakan, asinkronisitas, intrayeksi solipsistik, dan minimnya otoritas.
Jurnal psikologi Personality and Individual Differences yang memuat tulisan Erin E. Buckels, dkk (2014), menyatakan bahwa pelaku troll berkorelasi positif dengan sadisme, psikopat, dan Machiavellianisme. Mereka melakukan kegiatan trolling di media sosial dengan rekaman komentar kasar, membuat lelucon hinaan atau pelecehan, hingga membeberkan data pribadi orang lain.
Seorang jurnalis sekaligus penulis buku So you've been publicly shamed, the psychopath test, and the men who stare at goat, Ronson juga menulis alasan di balik kenyamanan mempermalukan orang di media sosial. Orang-orang ini meyakini perbuatannya telah sesuai norma, karena kepercayaan sekitarnya mendukung perbuatan tersebut.
“Banyak kekerasan lahir dari kepercayaan masyarakat bahwa mereka melakukan sesuatu yang baik,” tulis Ronson.
Apalagi di media sosial, ketika perilaku seseorang hanya dilihat sebatas “cuplikan” singkat. Dalam video, hanya sebatas durasi yang terunggah. Foto pun dibatasi tangkapan layar semata, dan status atau cuitan yang dibatasi karakter huruf atau deskripsi cerita.
Dalam dunia digital kontemporer, pemakai media sosial perlu berupaya menilai pro-kontra secara keseluruhan. Salah satu caranya adalah memperhitungkan hal-hal yang berada di luar bingkai.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani