tirto.id - Warganet Indonesia kembali ramai berbincang di media sosial karena akun @nyolongfoto yang mengunggah banyak foto perempuan yang diambil tanpa izin. Bukan hanya tak melalui persetujuan, akun tersebut juga menyediakan foto-foto celana dalam perempuan dan belahan dada yang diambil diam-diam.
Banyak akun di Twitter merespons keras dengan ajakan agar akun @nyolongfoto dihentikan peredarannya. Pesohor dan pemain sinetron Hannah Al Rashid melalui akun Twitter pribadinya meminta pengguna Twitter melaporkan akun @nyolongfoto. Mega Arnidya, pemilik akun Twitter @mpokgaga, secara khusus menggalang gerakan dan meminta teman-temannya untuk melaporkan akun @nyolongfoto yang dianggapnya telah melanggar ruang privasi, khususnya privasi perempuan.
Mega tergugah dengan isu ini setelah ia dihubungi salah satu rekan kerjanya yang memberi tahu ihwal akun penyebar foto perempuan di ruang publik yang diambil tanpa persetujuan. Pengambilan foto terjadi di KRL, pinggir jalan, atau bahkan dalam ruang ganti pakaian.
“Yang diposting itu menjurus ke sexual harassment. Kebanyakan konten (foto dan video) yang di-upload ke situ diambil sembunyi-sembunyi. Bahkan cewek berhijab pun dia ambil,” katanya. “Yang bikin jijik, di setiap video, pas dia videoin cewek-cewek itu dia ketawa-tawa."
Tidak hanya menggalang dukungan untuk melaporkan akun @nyolongfoto, Mega juga membeberkan pengalamannya ketika mengalami pelecehan seksual. Menurutnya, apa yang dilakukan akun tersebut bisa dan mudah ditemui di jalan. Ia menceritakan pengalaman dilecehkan ini dialami banyak orang. Selain dirinya, ia mengenal setidaknya satu orang lain yang dilecehkan di Stasiun Sudirman.
“Pas pelaku ditegur, pelaku kabur sembari ketawa, pas mau dikejar sudah menghilang,” katanya.
Mega mengatakan akun @nyolongfoto tidak sendiri. Ada banyak akun lain yang fokus pada penyebaran foto-foto perempuan tanpa ijin. Akun seperti itu, menurutnya, membuat perempuan harus waspada karena takut ada kamera kecil di toilet umum. Di Indonesia, kamera-kamera kecil sangat mudah didapat dan tanpa ada pengawasan. Kamera-kamera semacam ini kerap digunakan oleh orang cabul untuk mengambil foto secara diam-diam.
Kemunculan akun tersebut juga bukan yang pertama kali terjadi. Dahulu ada kasus pemilik studio ditangkap karena menyebarkan rekaman video di kamar ganti tempatnya bekerja.
“Di Google trends, data pencarian di Indonesia itu paling tinggi soal bokep, soal curi-curi hal-hal kek gitu. Dan akun-akun kaya gitu banyak banget followers-nya, karena [gambar-gambar] itulah yang diinginkan orang Indonesia,” kata perempuan yang bekerja sebagai analis perilaku konsumen ini.
Dhyta Caturani, pelatih privasi dan keamanan digital, menyebut apa yang dilakukan oleh @nyolongfoto adalah invasi privasi yang tidak hanya di internet, tapi juga pelanggaran privasi di dunia nyata. Admin akun tersebut mengambil foto ataupun video perempuan yang jadi korban secara diam-diam tanpa adanya persetujuan. Lalu, "ia menyebarkan video dan foto itu di internet sekali lagi tanpa consent,” katanya.
Lebih jauh, Dhyta pun menyebut bahwa apa yang dilakukan akun tersebut adalah kekerasan terhadap perempuan. Seluruh korban yang ada di akun @nyolongfoto adalah perempuan dan tubuh mereka diobyektifikasi sebagai fantasi seksual.
“Ini adalah kejahatan berbasis gender,” katanya.
Dhyta menuntut aparat mencari pemilik akun tersebut dan menindaknya sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Menurutnya, masalah ini tidak hanya tanggung jawab pemerintah, tapi juga pemilik platform di mana akun itu beredar yaitu Twitter. "Jelas-jelas ini sudah melanggar aturan privasi policy dan aturan lainnya di platform Twitter dan mereka harus ditindak," Dhyta menegaskan.
Dalam praktiknya, kerap ada protes terkait kebebasan berekspresi jika Twitter menurunkan atau memblokir akses akun tertentu. Menurut Dhyta, @nyolongfoto tidaklah merepresentasikan kebebasan berekspresi. Akun tersebut jelas-jelas melakukan kejahatan kepada kelompok tertentu yaitu perempuan.
Akun yang seksis ini, menurutnya, bukan hanya terjadi karena ketidakpahaman akan ruang privasi. Hal ini juga terjadi karena masih ada misoginisme di kalangan masyarakat yang membuatnya merasa memperbolehkan menyebarkan foto perempuan tanpa izin.
Fallissa Putri, pengacara yang fokus pada isu hak cipta, menyebut saat ini masih belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur soal hak publisitas, penyebaran foto tanpa ijin, yang melindungi publik dari peristiwa semacam ini. “Jadi dalam UU Hak Cipta 2014, penggunaan potret tanpa izin, selama bukan untuk tujuan komersil, diperbolehkan. Untuk kasus @NyolongFoto, paling mungkin dijerat dengan Pasal 27 UU ITE atau pasal penghinaan di KUHP,” katanya.
Putri menjelaskan bahwa Pasal 12 UUHC yang ada saat ini hanya mengatur soal larangan penggunaan potret secara komersial (untuk kepentingan periklanan) tanpa persetujuan tertulis orang yang dipotret atau ahli warisnya. Selain itu, Pasal 43 huruf e juga mengatur bahwa penyebarluasan konten Hak Cipta melalui media teknologi informasi dan komunikasi yang tidak bersifat komersial tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta.
Menurutnya jika kasus ini bisa naik ke pengadilan dan menghasilkan vonis, vonis hakim tersebut bisa dijadikan pegangan hukum. “Bisa jadi yurisprudensi, kalau kasus ini naik ke pengadilan dan ada putusan hakim. Kalau tidak naik ke pengadilan akan percuma,” jelas Putri.
Pasal 27 ayat (1) UU ITE mengatur larangan mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
UU 44/2008 lebih jelas memberikan definisi mengenai Pornografi, yaitu gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Namun, penggunaan UU Pornografi sangat problematik. Putri menyebut yang dimaksud dengan "mengesankan ketelanjangan” adalah suatu kondisi seseorang yang menggunakan penutup tubuh, tetapi masih menampakkan alat kelamin secara eksplisit seperti yang ada di pasal 4 ayat 1.
Dalam kasus @nyolongfoto, para korban masih menggunakan penutup tubuh tanpa menunjukkan kelamin secara eksplisit. “Tapi mungkin bisa pakai pasal 9, di mana kita dilarang menjadikan orang sebagai objek atau model dari muatan pornografi,” katanya.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Maulida Sri Handayani