tirto.id - Dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok sosial yang beraneka ragam. Keberagaman tersebut dapat menimbulkan terjadinya konflik sosial yang dapat berdampak pada terganggunya keteraturan hidup masyarakat.
Konflik sosial bisa dipicu oleh beberapa hal, seperti adanya anggota masyarakat yang tidak paham dengan tujuan kelompok atau masyarakat.
Konflik yang berlangsung dalam masyarakat juga dapat terjadi antar individu, individu dengan kelompok, serta kelompok dengan kelompok.
Mengutip Modul Sosiologi (2016), menurut Webster istilah “conflict” di dalam bahasa Inggris berarti suatu perkelahian, peperangan atau perjuangan, yaitu berupa pertentangan fisik antara beberapa pihak.
Arti kata itu kemudian berkembang dengan masuknya “ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide, gagasan, dan lain-lain”. Sehingga istilah “konflik” juga menyentuh aspek psikologis di balik pertentangan fisik itu sendiri.
Sementara, menurut Gurr dalam Al Hakim, kriteria yang menandai suatu pertentangan sebagai konflik adalah sebagai berikut:
- Sebuah konflik harus melibatkan dua pihak atau lebih di dalamnya;
- Pihak-pihak tersebut saling tarik-menarik dalam aksi-aksi saling bermusuhan (mutually opposing actions);
- Mereka biasanya cenderung menjalankan perilaku koersif untuk menghadapi dan menghancurkan “musuh”;
- Interaksi pertentangan di antara pihak-pihak itu berada dalam keadaan yang tegas, karena itu keberadaan peristiwa pertentangan dapat dideskripsikan dengan mudah oleh para pengamat sosial yang tidak terlibat dalam pertentangan.
Pengertian Konflik Sosial Menurut Para Ahli
Mengutip Modul Pembelajaran SMA Sosiologi (2020), beberapa pendapat ahli tentang definisi konflik sosial antara lain:
a. Soerjono Soekanto: Konflik adalah suatu proses sosial individu atau kelompok manusia berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai ancaman dan/atau kekerasan.
b. Robert M.Z. Lawang: Konflik adalah perjuangan untuk memperoleh nilai, status, dan kekuasaan di mana tujuan mereka tidak hanya memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk menundukkan saingannya.
c. Berstein: Konflik adalah suatu pertentangan atau perbedaan yang tidak dapat dicegah. Konflik ini dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif saat melakukan interaksi dengan orang lain.
d. Ensiklopedia Nasional Indonesia menguraikan bahwa konflik muncul karena adanya benturan antara dua unsur dalam masyarakat yang mengharuskan salah satunya berakhir.
Teori -Teori Konflik Sosial Menurut Para Ahli
Dari beberapa teori konflik yang dikenal dalam sosiologi, terdapat dua golongan, yaitu pertama, teori konflik fungsional dan kedua, teori konflik kelas.
Kedua kelompok teori ini berakar pada pada pemikiran dua tokoh yaitu Georg Simmel dan Karl Marx. Pemikiran Simmel kemudian diikuti oleh Lewis Coser, sedangkan Marx diikuti oleh Ralf Dahrendorf.
Secara lebih lengkap, berikut ini adalah teori-teori konflik sosial menurut para ahli di bidang sosiologi:
1. Teori Konflik Menurut Lewis A. Coser
Menurut Coser, konflik yang terjadi di masyarakat dikarenakan adanya kelompok lapisan bawah yang semakin mempertanyakan legitimasi dari keberadaan distribusi sumber-sumber langka.
Coser menilai bahwa konflik tidak selalu bersifat negatif, namun konflik dapat mempererat dan menjalin kerukunan dalam suatu kelompok.
Tiga faktor yang memengaruhi lama tidaknya suatu konflik di masyarakat, yaitu sebagai berikut:
a. Luas sempitnya tujuan konflik sosial.
b. Adanya pengetahuan maupun kekalahan dalam konflik.
c. Adanya peranan pemimpin dalam memahami biaya terjadinya konflik dan persuasi pengikutnya.
Konflik dapat menjaga hubungan antarkelompok dan memperkuat Kembali identitas kelompok. Adapun manfaat konflik menurut Coser, adalah sebagai berikut:
a. Konflik dapat menjadi media untuk berkomunikasi.
b. Konflik dapat memperkuat solidaritas kelompok.
c. Konflik dengan kelompok lain dapat menghasilkan solidaritas di dalam kelompok tersebut dan solidaritas tersebut dapat mengantarkan kepada aliansi dengan kelompok lain.
d. Konflik dapat menyebabkan anggota masyarakat yang terisolasi menjadi berperan aktif.
Kemudian, Coser mengelompokkan konflik sosial menjadi dua macam, yaitu konflik realistis dan konflik non-realistis.
a. Konflik Realistis
konflik realistis adalah konflik yang berasal dari kekecewaan individu atau kelompok atas tuntutan maupun perkiraan-perkiraan keuntungan yang terjadi dalam hubungan sosial.
b. Konflik Non-Realistik
Konflik non-realistis merupakan konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan saingan yang bertentangan, melainkan dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan
2. Teori Konflik Menurut Karl Marx
Karl Marx memiliki pandangan tentang konflik sosial sebagai pertentangan kelas. Masyarakat yang berada dalam konflik dikuasai oleh kelompok dominan.
Adanya pihak yang lebih dominan muncul pihak yang berkuasa dengan pihak yang dikuasai. Kedua pihak tersebut memiliki kepentingan yang berbeda atau bertentangan sehingga dapat menimbulkan konflik.
Dalam teori Karl Marx, terdapat beberapa fakta sebagai berikut:
a. Adanya struktur kelas dalam masyarakat
b. Adanya kepentingan ekonomi yang saling bertentangan di antara orang-orang yang berada dalam kelas yang berbeda.
c. Adanya pengaruh yang besar dilihat dari kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang.
d. Adanya berbagai pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial.
3. Teori Konflik Menurut Ralf Dahrendorf
Dahrendorf melihat teori konflik sebagai teori parsial yang digunakan untuk menganalisis fenomena sosial.
Dahrendorf melihat masyarakat memiliki dua sisi yang berbeda, yaitu konflik dan kerja sama. Dahrendorf menggunakan teori perjuangan kelas Marxian untuk membangun teori kelas dan pertentangan kelas dalam masyarakat industri kontemporer.
Perjuangan kelas dalam masyarakat modern berada pada pengendalian kekuasaan.
Editor: Yantina Debora