tirto.id - Konflik yang berlangsung dalam masyarakat dapat terjadi antar individu, individu dengan kelompok, serta kelompok dengan kelompok.
Mengutip modulPembelajaran Sosiologi (2016), istilah “conflict” di dalam bahasa Inggris berarti suatu perkelahian, peperangan atau perjuangan, yaitu berupa pertentangan fisik antara beberapa pihak.
Arti kata itu kemudian berkembang dengan masuknya ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide, gagasan, dan lain-lain. Sehingga istilah “konflik” juga menyentuh aspek psikologis di balik pertentangan fisik itu sendiri.
Dari beberapa teori konflik yang dikenal dalam sosiologi, terdapat dua golongan yaitu pertama, teori konflik fungsional, dan kedua teori konflik kelas.
Kedua kelompok teori ini berakar pada pemikiran dua tokoh yaitu Georg Simmel dan Karl Marx. Pemikiran Simmel kemudian diikuti oleh Lewis Coser, sedangkan Marx diikuti oleh Ralf Dahrendorf.
Menurut penganut teori konflik, kesatuan masyarakat yang berdasarkan integrasi dan kesanggupan orang untuk menyesuaikan perilaku mereka dengan struktur-struktur yang ada dan memainkan peranan-peranan mereka sebagaimana mestinya hanyalah sebuah penampakan belaka.
Masyarakat tampaknya hanya berintegrasi dan bersepakat tentang nilai-nilai dasar. Pada hakikatnya, masyarakat terbagi dalam kubu-kubu yang saling berlawanan.
Penalaran Teori Konflik
Menurut Veeger dalam modul Pembelajaran Sosiologi (2016), penalaran teori konflik adalah sebagai berikut:
- Kedudukan orang-orang di dalam kelompok atau masyarakat tidaklah sama karena ada pihak yang berkuasa dan ada pihak yang tergantung.
- Perbedaan dalam kedudukan menimbulkan kepentingan yang berbeda pula. Satu pihak ingin meraih kedudukan, di pihak lain ingin mempertahankannya.
- Mula-mula sebagian dari kepentingan yang berbeda itu tidak disadari yang disebut dengan kepentingan tersembunyi (latent interest) yang tidak akan meletuskan suatu aksi. Akan tetapi apabila kepentingan tersembunyi itu terus-menerus tertekan bahkan tertindas, maka akan berubah menjadi manifest interest, sehingga benturan antara dua pihak, yang berkuasa dan yang dikuasai pun tak terelakkan.
- Konflik akan berhasil membawa perubahan dalam struktur-struktur relasi sosial.
Melihat dari beberapa pandangan mengenai teori konflik tersebut, teori konflik pada umumnya berdasar pada asumsi dasar bahwa masyarakat atau organisasi berfungsi sedemikian rupa di mana individu dan kelompoknya berjuang untuk memaksimalkan keuntungan.
Secara tidak langsung dan tidak mungkin dihindari adalah perubahan sosial yang besar seperti revolusi dan perubahan tatanan politik.
Sehingga, sedikitnya ada empat hal yang penting dalam memahami teori konflik sosial, antara lain:
a. Kompetisi atas kelangkaan sumber daya, seperti benda-benda ekonomi.
b. Ketidaksamaan struktural, baik dalam hal kekuasaan maupun perolehan yang ada dalam struktur sosial.
c. Individu dan kelompok yang ingin mendapatkan keuntungan dan berjuang untuk mencapai revolusi.
d. Perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari konflik antara keinginan yang saling berkompetisi.
Teori Konflik Sosial Patron-Klien James Scott
Ada tiga teori konflik yang menonjol dalam ilmu sosial. Pertama adalah teori konflik C. Gerrtz, yaitu tentang primodialisme, kedua adalah teori konflik Karl Marx tentang pertentangan kelas, dan ketiga adalah teori konflik James Scott, tentang patron-klien.
Ada beragam pola atau bentuk hubungan (relasi) yang ada dalam masyarakat. Hubungan-hubungan tersebut terjadi dan terjalin sedemikian rupa di kalangan masyarakat sehingga terus berlangsung dan tak pernah berhenti.
Salah satu relasi tersebut adalah hubungan patron-klien atau yang biasa dikenal dengan patronase (patronage).
Mengutip jurnal Analisis Hubungan Patron-Klien oleh Kausar dan Komar Zaman (2011), istilah patron berasal dari ungkapan bahasa Spanyol yang secara etimologis berarti “seseorang yang memiliki kekuasaan (power), status, wewenang dan pengaruh”. Sedangkan klien berarti “bawahan” atau orang yang diperintah dan yang disuruh.
Selanjutnya, pola hubungan patron-klien merupakan aliansi dari dua kelompok komunitas atau individu yang tidak sederajat, baik dari segi status, kekuasaan, maupun penghasilan, sehingga menempatkan klien dalam kedudukan yang lebih rendah (inferior), dan patron dalam kedudukan yang lebih tinggi (superior).
Dapat pula diartikan bahwa patron adalah orang yang berada dalam posisi untuk membantu klien-kliennya.
Menurut James Scott, interaksi patron-klien merupakan kasus khusus dari ikatan diadik (dua orang) yang bersifat dikotomis dan hierarkis, antara “yang lebih tinggi” (patron) dan “yang lebih rendah” (klien).
Scott menyatakan bahwa, interaksi patron-klien, melibatkan persahabatan instrumental di mana seorang individu dengan status sosial-ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk menyediakan perlindungan dan/atau keuntungan-keuntungan bagi seseorang dengan status lebih rendah (klien).
Editor: Yantina Debora