tirto.id - "Halo, selamat pagi. Ini dengan Ibu Intan?"
Benar.
"Ibu, saya dengan Lucky. Begini Bu ... Ibu mendapat fasilitas dari bank sebagai nasabah terpilih untuk mendapatkan fasilitas berupa kartu kredit. Kalau Ibu berkenan, kartunya bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan mendadak, misal membayar rumah sakit dan lain sebagainya. Apakah Ibu berkenan?
Kalau Ibu berkenan, Lucky bisa bantu ibu untuk prosesnya."
Intan, seorang ibu rumah tangga dan nasabah sebuah bank pemerintah, mengingat percakapan dengan seorang telemarketer yang mengaku dari sebuah bank swasta.
Intan tidak langsung menyetujui tawaran tersebut. Ia menolak secara halus dengan berkata sudah memiliki kartu sejenis dari bank lain. “Saya jawab tidak membutuhkannya,” katanya.
Sesungguhnya apa yang disebut "fasilitas" yang didapatkan Intan adalah cara telemarketer mengelabui Intan agar mau dituntun untuk mengisi form aplikasi, yang diketik oleh si telemarketer, hanya cukup mengatakan ‘Ya’—yang berarti menyetujui—dan kemudian aplikasi akan diproses menjadi sebuah kartu kredit jika lolos verifikasi.
Rayuan semacam itu oleh tenaga pemasaran bank melalui telepon, atau bisa disebut telemarketing, umum dan banyak dialami nasabah lain.
Telemarketer biasanya mengunci nasabah dengan kalimat rayuan, misalnya, "nasabah terpilih" atau seolah mendapatkan hadiah dari bank dengan menekankan kata-kata "mendapatkan fasilitas". Padahal, narasi-narasi itu bualan semata, ujungnya membawa nasabah dalam gelembung masalah atau kerepotan: bisa terbelit utang atau akan ditelepon kembali dengan tawaran membeli produk turunan dari fasilitas kartu kredit, misalnya asuransi atau sejenisnya.
Salah satu telemarketer yang mengaku bernama 'Nando', menerangkan nasabah yang menerima telepon bukanlah "nasabah terpilih" atau memang benar-benar mendapat fasilitas dari bank. Mereka hanya calon nasabah yang ditawarkan produk bank karena tercatat sebagai nasabah di bank itu dan dinilai memenuhi kriteria dari produk yang ditawarkan oleh lembaga perbankan.
Buat merayu nasabah-nasabah itu, kata Nando, narasi jualan dimodifikasi untuk menarik perhatian dan persetujuan nasabah. Narasi "nasabah terpilih" menjadi kunci untuk merayu agar calon nasabah mau mendengarkan kemudian menyetujui aplikasi pengajuan produk, yang sudah tertera di layar komputer si telemarketer.
“Datanya disediakan oleh bank,” kata Nando kepada Tirto.
Tak Jujur Menjual Produk Bank ke Nasabah
Nando bukanlah nama asli. “Itu nama udara,” katanya, menyebut istilah yang jamak dipakai telemarketing.
Hampir semua tenaga pemasaran bank yang menjajakan produk via sambungan telepon, kata Nando, tak ada yang menggunakan nama asli.
Nando berkata, meski menggunakan nama udara, ketika muncul keluhan dari nasabah atau terjadi fraud (penipuan), nama itu dirujuk untuk membuka data percakapan via telepon. “Semua data percakapan terekam di setiap komputer,” terangnya.
“Itu bisa dibuka sesuai permintaan nasabah atau polisi,” tambah Nando.
Sularsi, Kepala Bidang Pengaduan dan Hukum dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), mengatakan pola-pola merugikan konsumen yang dilakukan lembaga perbankan bukanlah hal baru, dan dikerjakan lewat pelbagai modus.
Sebagaimana laporan yang diterima YLKI, tenaga pemasaran bank secara sengaja menjebak nasabah dengan narasi-narasi yang multitafsir dan tak dipahami nasabah. Misalnya, kata Sularsi, nasabah disebut mendapatkan fasilitas tapi tidak menjelaskan secara tuntas produk yang ditawarkan.
“Padahal, nasabah, kan, mengajukan,” katanya, menambahkan bahwa pola-pola mengelabui nasabah ini terjadi pada banyak produk turunan kartu kredit.
“Paling tinggi asuransi,” kata Sularsi.
Kendati sulit melarang praktik marketing via udara, tetapi Sularsi berkata, "mestinya persetujuan [menerima tawaran produk perbankan] harus melalui pertemuan tatap muka dengan nasabah.”
Steve Martha, Manajer Umum Asosiasi Kartu Kredit Indonesia, berkata tak ada larangan yang secara gamblang mengatur narasi telemarketing. Selama tidak menyalahi aturan dan "norma-norma yang sudah ditentukan", kata Steve, Asosiasi tak bisa menegur bank.
Steve menyebut narasi merayu dalam telemarketing seperti "nasabah terpilih" adalah proses kreativitas untuk mencari nasabah.
“Tapi kalau selama itu masih dianggap kreativitas bank, kami tidak bisa mengatakan tidak boleh,” ujarnya.
Merugikan Nasabah
Sularsi mengatakan perilaku telemarketer telah merugikan konsumen. Karena itu, selain mendorong Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan peraturan untuk perbankan agar tak menjual produk via telepon, YLKI mendorong perlu ada penguatan perlindungan nasabah yang mengeluhkan kerugian.
Ia mencontohkan, dari bermacam laporan pengaduan ke YLKI setiap tahun, paling banyak datang dari konsumen lembaga keuangan.
Ia menjelaskan, tingginya keluhan itu karena masih banyak warga yang tidak memahami istilah lembaga keuangan.
“Ada konsumen yang ditawarkan tabungan investasi lewat asuransi. Padahal ini istilah yang berbeda,” kata Sularsi.
Jika merujuk surat edaran Otoritas Jasa Keuangan, tak ada aturan secara gamblang yang mengatur perlindungan konsumen dalam imbauan yang diatur untuk Pelaku Usaha Jasa Keuangan. Aturan bernomor 12/SEOJK.07/2014 ini hanya menyebut tata cara lembaga keuangan dalam memasarkan produknya, dari waktu pemasaran hingga meminta persetujuan kepada konsumen. Sifatnya pun berupa imbauan—artinya, dilakukan secara sukarela.
Sekar Putih Djarot, juru bicara OJK, mengatakan aturan tenaga telemarketing memang tidak diatur spesifik. Namun, ia menekankan dengan merujuk perlindungan konsumen yang diterbitkan OJK, setiap lembaga keuangan seharusnya patuh mengikutinya.
“PUJK [pelaku usaha jasa keuangan] diwajibkan menyediakan dan atau menyampaikan informasi mengenai produk dan atau layanan yang akurat, jujur, jelas, dan tidak menyesatkan,” kata Sekar kepada Tirto.
Ia menjelaskan bahwa lembaga perbankan yang terbukti melanggar ketentuan, sebagaimana peraturan tentang perlindungan konsumen yang diterbitkan OJK itu, akan dikenai sanksi.
“Antara lain berupa peringatan tertulis, denda, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha, hingga pencabutan izin kegiatan usaha,” ujar Sekar.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam