Menuju konten utama

Mengapa Transaksi Kartu Kredit Terendah Sejak 2016?

Nilai transaksi Kartu Kredit per Februari 2018 menyentuh angka terendah sejak Juli 2016. Apa penyebabnya?

Mengapa Transaksi Kartu Kredit Terendah Sejak 2016?
Ilustrasi kartu kredit. ANTARA/Agung Rajasa

tirto.id - Kartu kredit pertama kali diperkenalkan di Indonesia sejak 1980-an. Awalnya, bank tidak memasarkan kartu kredit secara bebas seperti sekarang, hanya orang-orang kaya saja yang dapat menggunakan kartu kredit. Kini, orang yang bergaji 3 juta per bulan sudah bisa memiliki kartu kredit.

Penerbit kartu kredit juga tidak lagi berasal dari perbankan. Lembaga keuangan nonbank pun bisa menerbitkan kartu kredit. Saat ini, Bank Indonesia mencatat ada 24 penerbit kartu kredit, terdiri dari 22 bank dan 2 lembaga keuangan nonbank.

Jumlah kartu kredit yang beredar pun terus tumbuh setiap tahunnya. Pada 2017, jumlah kartu kredit yang beredar mencapai 17,24 juta kartu, naik 41 persen dari jumlah kartu yang beredar 2009 sebanyak 12,26 juta kartu.

Nilai transaksi kartu kredit juga ikut meningkat. Pada 2017, nilai transaksi kartu kredit sudah menyentuh Rp297,76 triliun naik 125 persen dari nilai transaksi kartu kredit 2009 senilai Rp132,65 triliun. Namun, transaksi kartu kredit mulai ada tanda-tanda penurunan cukup tajam di awal tahun ini.

Nilai transaksi kartu kredit pada Februari 2018 anjlok 17 persen menjadi Rp21,66 triliun dari Januari 2018 sebesar Rp26,15 triliun. Nilai transaksi bulanan itu menjadi nilai transaksi paling rendah sejak Juli 2016. Berbanding terbalik, jumlah kartu kredit yang beredar pada Februari 2018 justru naik 0,17 persen menjadi 17,43 juta kartu dari Januari 2018 sebanyak 17,40 juta kartu.

Menurut Institute for Development of Economics and Finance (Indef), menurunnya transaksi kartu kredit lebih disebabkan faktor makro ekonomi, terutama daya beli masyarakat terhadap barang-barang tahan lama.

“Konsumsi masyarakat saat ini memang sedang rendah, terlihat dari survei penjualan eceran dari Bank Indonesia yang turun sejak awal tahun ini,” kata Bhima Yudhistira, Ekonom Indef kepada Tirto.

Survei Penjualan Eceran merupakan survei bulanan dengan tujuan untuk mengetahui sumber tekanan inflasi dari sisi permintaan dan memperoleh gambaran mengenai kecenderungan perkembangan penjualan eceran, serta konsumsi masyarakat.

Berdasarkan survei BI, pertumbuhan penjualan eceran di Januari 2018 mengalami koreksi. Hal itu terlihat dari indeks penjualan eceran riil (IPR) yang turun 7,3 persen menjadi 203,5 dari IPR Desember 2017.

Seluruh kategori barang tercatat mengalami koreksi secara bulanan. Hanya suku cadang dan aksesori saja yang tumbuh tipis sebesar 0,9 persen. Koreksi paling tinggi terjadi pada barang makanan, minuman dan tembakau sebesar 9,1 persen

Disusul peralatan informasi dan komunikasi yang turun 5,9 persen, bahan bakar kendaraan bermotor 4,9 persen, barang budaya dan rekreasi 4,3 persen, perlengkapan rumah tangga lainnya 3,1 persen.

Namun jika dilihat secara tahunan, kategori barang yang mengalami koreksi hanya dua jenis, yakni peralatan informasi dan komunikasi turun 12,7 persen dan perlengkapan rumah tangga lainnya turun 10 persen.

Sementara itu, Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) memiliki pandangan lain mengenai anjloknya nilai transaksi kartu kredit. Mereka menganggap penurunan kartu kredit di Februari 2018 sudah biasa terjadi.

“Jadi memang penggunaan kartu kredit itu ada cycle-nya. Namun, saya akui penurunan kali ini lebih besar ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Tapi saya belum bisa simpulkan secara pasti,” kata General Manager AKKI Steve Martha kepada Tirto.

Berdasarkan data BI, penurunan nilai transaksi pada Februari dari Januari memang terjadi setiap tahun. Hanya saja, nilai transaksi pada Februari 2018 terbilang anjlok cukup dalam, yakni 17 persen.

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, nilai transaksi kartu kredit pada Februari 2016 hanya turun 3 persen dari Januari 2016. Begitu juga dengan 2017, nilai transaksi hanya turun sekitar 8 persen. Belum sampai dua digit.

Hal yang sama juga disampaikan pihak perbankan. Bank Central Asia (BCA) menganggap transaksi yang turun di Februari 2018 dikarenakan jumlah hari yang lebih sedikit ketimbang Januari 2018. Dengan kata lain masih normal.

“Jadi wajar saja transaksi Februari lebih kecil dari Januari. Biasanya setelah liburan memang akan ada pengurangan spending,” kata Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) Santoso kepada Tirto.

infografik kartu kredit anjlok

Dampak Keterbukaan Informasi Perpajakan

Lembaga riset, perbankan, dan asosiasi memiliki jawaban yang berbeda-beda. Namun, mereka ternyata satu suara bahwa penurunan nilai transaksi kartu kredit juga bisa disebabkan rencana Ditjen Pajak yang mewajibkan pelaporan data nasabah kartu kredit.

Rencana pemerintah untuk menarik data nasabah kartu kredit dari penyelenggara kartu kredit sebenarnya bukan hal yang baru. Sejak akhir Mei 2016, kewajiban itu sudah berlaku, hanya saja sempat ditunda karena program amnesti pajak.

Kewajiban tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 39/2016 tentang rincian jenis data dan informasi, serta tata cara penyampaian data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan.

Seiring dengan berakhirnya program amnesti pajak pada 31 Maret 2017, kewajiban pelaporan data nasabah kartu kredit muncul kembali. Hal itu ditandai dengan terbitnya Surat Kemenkeu No. S-119/PJ. 10/2017 tentang penyampaian data kartu kredit.

Dengan data kartu kredit, DJP mengaku dapat menilai apakah pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) dari wajib pajak dilakukan secara benar, lengkap dan jelas. Dengan kata lain, data itu akan digunakan untuk menguji kepatuhan wajib pajak.

Namun, tidak semua data nasabah kartu kredit dilaporkan oleh penyelenggara kartu kredit. Hanya data nasabah kartu kredit yang memiliki total tagihan paling sedikit Rp1 miliar dalam setahun yang wajib dilaporkan.

Selain itu, penyampaian data kartu kredit untuk pertama kalinya adalah data kartu kredit untuk tagihan sepanjang 2018. Bank diberikan waktu paling lambat akhir April 2019 untuk menyampaikan data tersebut.

Rencana kewajiban pelaporan data nasabah wajib pajak menjadi pemberitaan media massa pada Februari 2018. Kondisi ini memunculkan spekulasi bahwa masyarakat menjadi enggan untuk menggunakan kartu kredit.

“Mungkin saja itu [karena keterbukaan data nasabah kartu kredit], tapi kami pikir mungkin belum besar impact-nya. Soalnya, rencana tersebut masih di-define dan dibahas DJP bersama industri,” kata Santoso.

Indef juga menilai keterbukaan data kartu kredit membuat pengguna kartu kredit, terutama orang-orang kaya untuk mengalihkan alat pembayarannya ke tempat lain, misalnya membayar secara tunai. AKKI bersikap urusan membuka data nasabah memang sangat sensitif, sehingga perlu hati-hati dalam membuat kebijakan. Sehingga penurunan transaksi kartu kredit di awal tahun bisa jadi karena reaksi sementara dari rencana kebijakan soal informasi perpajakan.

Baca juga artikel terkait PAJAK atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Bisnis
Reporter: Ringkang Gumiwang
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra