tirto.id - Syahrini pernah liburan ke Paris. Ia menginap di hotel mewah, naik pesawat kelas kelas I, dan belanja barang-barang bermerek. Kabarnya, untuk liburan sekali itu, ratusan juta keluar dari kantongnya, atau tabungannya, atau kartu kreditnya.
Sebagai warga negara, Syahrini tentu telah melaporkan penghasilannya ke Direktorat Jenderal Pajak. Namun, entah jumlah yang dilaporkannya sesuai atau tidak, tak ada yang tahu. Terlebih, Syahrini bukan karyawan perusahaan atau pegawai pemerintah yang bisa dengan mudah dilacak penghasilannya.
Syahrini tidak sendiri, masih ada ratusan atau mungkin ribuan teman seprofesinya. Belum lagi para pengusaha, para freelancer, dan para pekerja seni yang penghasilannya sulit dilacak.
Dua bulan lalu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menandatangani sebuah Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Aturan bernomor 39/PMK.03/2016 itu mewajibkan bank dan lembaga kartu kredit untuk melaporkan data pemilik kartu kredit.
Data itu nantinya akan digunakan oleh Dirjen Pajak untuk memeriksa kecocokan pengeluaran dalam tagihan kartu kredit dengan penghasilan yang dilaporkan. Kalau tagihan bulanan kartu kredit menunjukkan angka yang lebih besar dari total penghasilan yang dilaporkan, tentu ada yang tidak beres. Dirjen Pajak akan memeriksa ulang.
Bank dan lembaga penerbit kartu kredit diberi tenggat hingga 31 Mei tahun ini untuk menyampaikan laporan. Tetapi, belum lagi laporan diserahkan, terjadi begitu banyak penutupan kartu kredit di sejumlah bank. Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk Jahya Setiaatmadja mengklaim terjadi kenaikan penutupan kartu kredit tiga kali lipat dari biasanya. Penutupan itu didominasi nasabah dengan limit di atas Rp20 juta.
Selain BCA, belum ada bank lain yang secara jelas menyebutkan angka kenaikan penutupan kartu kredit. Bank lain seperti PT Bank Mega Tbk, mengakui adanya penurunan, tetapi belum berani mengklaim penurunan itu karena PMK yang baru. Bisa jadi, penutupan itu karena aturan Bank Indonesia hanya membatasi kepemilikan dua kartu kredit bagi nasabah berpenghasilan kurang dari Rp10 juta sebulan.
Memang, Jahja mengatakan sebagian besar atau sekitar 70 persen pemegang kartu kredit BCA adalah nasabah berpenghasilan di atas Rp10 juta. Menurutnya, itu mengapa BCA langsung merasakan dampaknya.
Sampai April tahun ini, telah beredar 16,89 juta kartu kredit di Indonesia. Angka ini terus tumbuh jika dibandingkan jumlah pada 2009 yang berada di angka 12,25 juta. Angka kredit macet atau Non Performing Loan (NPL) kartu kredit juga terhitung masih aman di level 2,59 persen.
Aturan baru itu jelas membuat mereka yang tak taat pajak atau yang melaporkan penghasilan lebih kecil dari apa yang didapat, ketar-ketir. Sebagai antisipasi, mereka tentu akan memilih menutup kartu kredit atau menurunkan limit.
Menghambat Gerakan Non-tunai
PMK yang dikeluarkan Menkeu Bambang Brodjonegoro ini memang tidak bertentangan dengan Undang-undang Perbankan. UU hanya melarang bank membuka data nasabah yang memiliki simpanan di bank. UU tidak melarang bank membuka data pemegang kartu kredit.
Akan tetapi, kebijakan ini sangat mungkin memiliki efek negatif. Ada aturan dan rencana pemerintah yang terancam gagal. Jika masyarakat ramai-ramai menutup kartu kredit dan memilih transaksi tunai, maka akan menjadi ancaman bagi Gerakan Nasional Nontunai yang telah digagas Bank Indonesia sejak Agustus 2014 lalu.
General Manager Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) Steve Marta juga menghawatirkan ini. “Kebijakan ini memang baik untuk meningkatkan pendapatan pajak, tetapi di sisi lain, apakah ini tidak menghambat laju gerakan nontunai?” katanya saat dihubungi Tirto.id.
Setelah hampir dua tahun sejak dicanangkan, gerakan nontunai telah menunjukkan hasil positif. Kartu kredit adalah salah satu instrumen alat pembayaran nontunai. Dalam lima tahun terakhir, jumlah pengguna kartu kredit terus mengalami pertumbuhan. Tahun 2015, pertumbuhannya 5,1 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Meski pertumbuhannya melambat dari tahun sebelumnya, setidaknya masih tetap tumbuh.
Steve belum berani mengatakan kebijakan ini akan membuat petumbuhan kartu kredit menurun sampai akhir tahun. Pasalnya, kebijakan ini masih baru. “Saya berharapnya tren menutup kartu kredit ini hanya sementara,” ungkapnya.
Sepanjang tahun 2015, total transaksi kartu kredit mencapai Rp273,14 triliun. Angka ini telah tumbuh lebih dari dua kali lipat dibandingkan nilai transaksi tujuh tahun lalu yang hanya Rp132,65 triliun.
Sampai April tahun ini, jumlah transaksi telah menyentuh angka Rp67,86 triliun. Angka ini berpotensi tumbuh melampaui transaksi tahun lalu, tetapi bukan tidak mungkin sampai akhir tahun jumlahnya jauh lebih rendah dari tahun lalu. Ini tergantung seberapa marak penutupan kartu kredit yang dilakukan nasabah-nasabah kaya.
Menelisik pajak demi mengejar target penerimaan Rp1.546,7 triliun memang penting. Tetapi mengorbankan transaksi kartu kredit yang sudah sedemikian besar tentunya bisa menjadi pedang bermata dua bagi pemerintah.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti