tirto.id - Keterbukaan informasi perbankan untuk keperluan perpajakan perlahan kian nyata. Ditjen Pajak bakal punya akses untuk membuka data transaksi kartu kredit yang ujung-ujungnya untuk memaksimalkan penerimaan pajak.
Bagi wajib pajak, tentu punya respons yang berbeda, ada yang agak risih atau bahkan biasa saja. Andri, warga Jakarta Pusat termasuk yang agak risih untuk memakai kartu kredit, setelah ia sempat mendengar data transaksi kartu kredit bakal diserahkan pihak bank kepada Ditjen Pajak.
“Saya sih masih akan tetap memakai kartu kredit karena praktis. Cuma jadi merasa risih saja, meskipun transaksinya tidak seberapa. Saya sebenarnya setuju dengan kebijakan itu, asalkan digunakan untuk orang-orang kaya,” katanya kepada Tirto.
Pria berumur 25 tahun ini memang sudah rutin menggunakan kartu kredit, kurang lebih sejak satu tahun yang lalu. Biasanya, ia menggunakan kartu kredit untuk membeli pulsa dan tiket transportasi.
Rencana pemerintah untuk menarik data nasabah kartu kredit dari penyelenggara kartu kredit sebenarnya bukan hal yang baru. Sejak akhir Mei 2016, kewajiban itu sudah berlaku, hanya saja sempat ditunda karena program amnesti pajak.
Kewajiban tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 39/2016 tentang rincian jenis data dan informasi, serta tata cara penyampaian data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan.
Kini, seiring dengan berakhirnya program amnesti pajak pada 31 Maret 2017, kewajiban pelaporan data nasabah kartu kredit muncul kembali. Hal itu ditandai dengan terbitnya Surat Kemenkeu No. S-119/PJ. 10/2017 tentang penyampaian data kartu kredit.
Namun, surat itu ternyata ditarik oleh Kemenkeu, sehingga kewajiban pelaporan data nasabah kartu kredit sebagaimana yang diatur di dalam PMK No. 39/2016 masih belum dapat dilaksanakan.
“Nah, sekarang diberlakukan lagi. Nanti, data itu untuk menguji kepatuhan pelaporan SPT [Surat Pemberitahuan] wajib pajak,” kata Direktur Pelayanan dan Penyuluhan (P2) Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama kepada Tirto.
Sistem perpajakan di Indonesia menganut prinsip self assessment. Artinya, wajib pajak diberikan kepercayaan penuh untuk menghitung, menetapkan, dan menyetorkan kewajiban pajaknya. Kendati wajib pajak diberikan kepercayaan penuh, toh tidak menutup kemungkinan pajak yang disetorkan wajib pajak itu tidak sesuai dengan fakta sebenarnya, baik secara sengaja maupun tidak sengaja.
Sehingga, Ditjen Pajak membutuhkan data/informasi untuk dapat menilai apakah nilai pajak yang disetor wajib pajak itu benar atau tidaknya. Apabila terindikasi tidak benar, maka Ditjen Pajak akan melakukan pemeriksaan.
Data nasabah kartu kredit merupakan salah satu sumber data/informasi yang dapat digunakan Ditjen Pajak untuk menilai apakah pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) dari wajib pajak itu dilakukan secara benar, lengkap dan jelas.
Sebagai contoh, Ditjen Pajak mendapatkan data bahwa Tuan A melakukan transaksi kartu kredit senilai Rp100 juta per bulan. Setelah itu, data itu akan dibandingkan dengan penghasilan Tuan A yang tercantum pada SPT yang dilaporkan oleh Tuan A.
Apabila penghasilan Tuan A yang tertera di SPT hanya sebesar Rp10 juta per bulan, maka bisa dikatakan pengeluaran kartu kredit Tuan sebesar Rp100 juta per bulan itu menjadi tidak masuk akal, sehingga patut diperiksa.
Saat ini, kewajiban pelaporan data nasabah kartu kredit tidak lagi mengacu dari PMK No. 39/2016. Pasalnya, PMK No. 39/2016 tersebut sudah direvisi oleh Kementerian Keuangan, sehingga aturan yang berlaku saat ini adalah PMK No. 228/2017 tentang rincian jenis data dan informasi, serta tata cara penyampaian data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan.
Pada PMK 228/PMK.03/2017 memang tak diatur secara rinci hal-hal ketentuan pelaporan data transaksi soal kartu kredit oleh bank. Namun, dalam lampiran PMK membuat soal daftar penyelenggara kartu kredit. Perbankan memang hanya satu dari sekian banyak pihak yang punya kewajiban memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Ditjen Pajak. Selebihnya, ada instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain.
Hestu Yoga mengatakan kewajiban penyampaian data kartu kredit oleh perbankan/penyelenggara kartu kredit kepada Ditjen Pajak akan diatur. Agar konsisten dengan penerapan UU Nomor 9 Tahun 2017 tentang akses informasi keuangan untuk tujuan perpajakan, maka beberapa poin akan ditetapkan.
Antara lain, tidak semua nasabah kartu kredit yang datanya akan dilaporkan oleh penyelenggara kartu kredit dalam hal ini perbankan. "Wajib disampaikan hanya untuk total pembelanjaan (tagihan) paling sedikit Rp1 miliar dalam setahun," kata Hestu.
Penyampaian data kartu kredit untuk pertama kalinya adalah data kartu kredit untuk tagihan sepanjang 2018. Bank diberikan waktu paling lambat akhir April 2019 untuk menyampaikan data tersebut.
Nanti, data nasabah kartu kredit tersebut disampaikan oleh bank penyelenggara kartu kredit setiap tahun sesuai dengan periode penyampaian data keuangan untuk saldo rekening per 31 Desember setiap tahunnya.
"Untuk saat ini perbankan atau penyelenggara kartu kredit tidak perlu menyampaikan data kartu kredit kepada Ditjen Pajak," katanya.
Dianggap Kurang Efektif
Adanya kewajiban menyampaikan data nasabah kartu kredit kepada Ditjen Pajak itu membuat khawatir Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI). Menurutnya, kebijakan tersebut berpotensi menurunkan volume dan nilai transaksi dari kartu kredit.
“Masyarakat bisa menjadi malas dan enggan menggunakan kartu kredit. Apalagi, pemegang kartu kredit itu juga sedikit. Jadi, saya enggak yakin apakah tujuan dari kebijakan pemerintah itu bisa didapat,” kata Steve Martha, General Manager AKKI kepada Tirto.
Dalam lima tahun terakhir, tren pertumbuhan volume dan nilai transaksi kartu kredit agak sedikit melempem. Pada 2013, volume transaksi kartu kredit tercatat 239 juta transaksi, tumbuh 8 persen dari realisasi 2012.
Namun pada 2017, pertumbuhan volume transaksi kartu kredit menyusut menjadi 7 persen, atau sebanyak 327 juta transaksi dari realisasi sepanjang 2016. Tren melempem juga terlihat dari sisi nominal transaksinya.
Pada 2013, nilai transaksi kartu kredit tumbuh 11 persen menjadi Rp223 triliun dibandingkan realisasi 2012. Sedangkan pada 2017, nilainya hanya naik 6 persen, atau senilai Rp297 triliun dari 2016.
Sementara itu, rencana pemerintah menetapkan batas transaksi minimum Rp1 miliar per tahun dinilai kurang tepat, sehingga pemanfaatan data kartu kredit untuk profiling penghasilan wajib pajak berpotensi menjadi tidak maksimal.
“Jangan mengacu dari nilai tagihan, tetapi dari limit kartu. Kalau tagihan itu bisa fluktuatif. Nilai Rp1 miliar juga terlalu tinggi,” kata Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) kepada Tirto.
CITA mengusulkan agar Ditjen Pajak menyasar nasabah yang memiliki kartu kredit dengan limit kredit Rp100 juta. Menurutnya, nasabah tersebut sebagian besar berasal dari kalangan menengah atas.
Kewajiban pelaporan data kartu kredit kepada Ditjen Pajak memang membuat resah sebagian nasabah, terutama yang ‘nakal’. Namun, kalau memang sudah merasa sudah bersih, kenapa harus risih?
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra