Menuju konten utama

Upaya Membuka Data Nasabah Kartu Kredit

Ditjen Pajak meminta perbankan membuka data nasabah kartu kredit untuk kepentingan perpajakan seiring dengan berakhirnya program amnesti pajak pada Jumat (31/3/2017).

Upaya Membuka Data Nasabah Kartu Kredit
Kartu Kredit [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan meminta perbankan mempersiapkan data kartu kredit para nasabahnya seiring berakhirnya program amnesti pajak, pada Jumat (31/3/2017). Permintaan ini tidak hanya ditujukan kepada perbankan, melainkan juga lembaga penyelenggara kartu kredit.

Dalam surat pemberitahuan tertanggal 23 Maret 2017 itu, DJP meminta dua hal: pertama, data pokok pemegang kartu. Kedua, data transaksi kartu kredit yang dimiliki perbankan. Kedua data yang diminta itu merupakan data periode Juni 2016 hingga Maret 2017 bagi semua pemegang kartu.

Kebijakan ini sebenarnya sudah diterapkan sejak tahun lalu melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2016 tentang rincian jenis data dan informasi serta tata cara penyampaian data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan. Namun, pada 1 Juli 2016, DJP menunda kewajiban penyampaian data kartu kredit karena program amnesti pajak akan dimulai.

Dalam PMK tersebut, bank maupun lembaga penerbit kartu kredit diwajibkan melaporkan data transaksi nasabah kartu kredit yang bersumber dari billing statement yang memuat data-data berupa nama bank penerbit kartu kredit, nomor rekening kartu kredit, nomor ID dan nama merchant (pedagang), nama pemilik kartu, alamat pemilik kartu, NIK/Nomor paspor pemilik kartu, NPWP pemilik kartu, bulan tagihan, tanggal transaksi, rincian transaksi, nilai transaksi dalam rupiah serta limit atau batas nilai kredit yang diberikan untuk setiap kartu.

Saat itu, Kementerian Keuangan mengatakan aturan kewajiban pelaporan data transaksi kartu kredit ini bermanfaat untuk melihat profil belanja para Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP). Data itu nantinya akan digunakan oleh DJP untuk memeriksa kecocokan pengeluaran dalam tagihan kartu kredit dengan penghasilan yang dilaporkan.

Jika tagihan bulanan kartu kredit menunjukkan angka yang lebih besar dari total penghasilan yang dilaporkan, maka tentu ada yang tidak beres. Dalam konteks ini, DJP akan memeriksa ulang.

“Makanya yang ingin kita lihat profil belanja, belanja itu salah satunya dari kartu kredit,” kata Bambang Brodjonegoro yang kala itu masih menjabat sebagai Menteri Keuangan, seperti dikutip Antara.

Ia mencontohkan, apabila ada WP OP yang melaporkan pendapatannya sebulan hanya Rp5 juta, namun belanja melalui kartu kredit mencapai Rp20 juta, maka pelaporan bukti pajak dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan-nya tidak tepat. Dengan adanya aturan membuka data nasabah kredit ini, maka DJP bisa mengetahui ketidakakuratan pelaporan pajak tersebut.

Perbankan Ragu Buka Data Nasabah

Namun demikian, perbankan terkesan masih ragu untuk membuka data nasabahnya untuk keperluan perpajakan. Direktur Utama PT. Bank Mandiri Persero Tbk, Kartika Wirjoatmodjo bahkan mengaku masih ingin bernegosiasi dengan DJP Kementerian Keuangan terkait permintaan untuk membuka data transaksi kartu kredit nasabah setelah amnesti pajak berakhir pada 31 Maret 2017.

Menurut Kartika, pihaknya ingin mengetahui urgensi DJP terkait permintaan data detail transaksi kartu kredit nasabah. "Jadi kami ingin diskusi dulu, apakah perlu dibuka sedetail itu. Katakanlah kalau orang lagi beli apa-apa pakai kartu kredit, apakah perlu ditampilkan. Kan yang dibutuhkan hanya volume transaksinya," ujar Kartika di Gedung DPR, Jakarta, pada Kamis (30/3/2017), seperti dilansir Antara.

Kartika berharap mendapatkan penjelasan dari Ditjen Pajak mengenai kejelasan struktur data nasabah perbankan yang dibutuhkan untuk keperluan penyelidikan perpajakan. Menurut dia, kejelasan itu juga demi kenyamanan nasabah.

"Pasti ada nervous di nasabah. Tapi saya sampaikan kepada nasabah agar amnesti pajak ini jendela yang baik untuk keterbukaan," ujar dia.

Sementara itu, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Ken Dwijugiasteadi tidak akan meminta data kartu kredit karena bukan mencerminkan potensi yang sebenarnya terhadap penghasilan. Karena itu, Ken meminta masyarakat tidak perlu resah akan kebijakan tersebut. Ken juga mengatakan DJP tidak akan menggunakan data kartu kredit untuk melakukan intensifikasi perpajakan.

“Apapun yang dibelanjakan lewat kartu kredit, itu sudah kena PPN. Dan orang belanja dengan kartu kredit pada prinsipnya adalah utang, bukan penghasilan. Penghasilannya nanti masyarakat yang melaporkan dengan cara 'self assessment',” kata dia, di Jakarta, seperti dikutip Antara, Jumat (31/3/2017).

Infografik kartu kredit

Pemerintah Canangkan Peraturan Perundangan AEOI

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan era keterbukaan data perbankan untuk kepentingan perpajakan akan segera dimulai. Indonesia telah berkomitmen untuk melaksanakan pertukaran data dengan negara lain mulai 2018.

Namun, pelaksanaan pertukaran data tersebut masih terhambat oleh UU Perbankan, UU Perbankan Syariah, UU Pasar Modal maupun UU Perasuransian yang memiliki elemen kerahasiaan tidak bisa ditembus secara otomatis.

Karena itu, Sri Mulyani memastikan peraturan perundang-undangan untuk mendukung pelaksanaan perjanjian pertukaran informasi secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEOI) harus terbit pada Mei 2017.

“Seluruh peraturan perundang-undangan harus selesai Mei ini, yaitu peraturan perundang-undangan mengenai akses informasi. Ini berarti Indonesia harus menghilangkan kerahasiaan perbankan,” kata Sri Mulyani, dikutip Antara, Rabu (22/3/2017).

Karena itu, lanjut Sri Mulyani, peraturan perundang-undangan dalam bentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) akan diterbitkan untuk mendukung era tersebut, karena undang-undang belum mengizinkan adanya keterbukaan data perbankan.

Menurut Sri Mulyani, untuk bisa mencapai persyaratan AEOI, maka Indonesia harus memiliki peraturan perundang-undangan di tingkat primer, yaitu peraturan perundang-undangan dari sisi akses informasi bagi institusi pajak terhadap data-data wajib pajak.

Sri Mulyani mengatakan separuh dari 102 negara yang berkomitmen dengan pelaksanaan pertukaran data telah memiliki peraturan perundang-undangan untuk akses informasi perbankan pertukaran datanya.

"Dari sisi amnesti pajak, sebagian aset yang dideklarasikan hanya sepertiga dari (harta wajib pajak) di luar negeri. Kalau tidak mempunyai akses data dari wajib pajak yang meletakkan dana di luar, maka Indonesia akan menghadapi kesulitan serius untuk memenuhi penerimaan pajak," ujarnya.

Baca juga artikel terkait DITJEN PAJAK atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti