Menuju konten utama

Untung Rugi Pakai Kartu Kredit Syariah

Kartu kredit syariah sudah memiliki payung hukum sejak 2006. Meski tak begitu pesat, jumlah penggunanya terus bertambah. Lalu, mana yang lebih menguntungkan, kartu kredit konvensional atau syariah?

Untung Rugi Pakai Kartu Kredit Syariah
Foto beberapa kartu kredit. FOTO/iStock

tirto.id - Tahun 1946, kartu kredit pertama dikeluarkan bank bernama Flatbush National Bank di Brooklyn. Penggunaan kartu bernama Charg-It itu diperkenalkan oleh John Biggins, seorang bankir. Ketika nasabah menggunakannya untuk pembelian di toko-toko, tagihan akan diteruskan ke pihak bank. Bank kemudian membayar ke toko dan menerima pembayaran dari nasabah.

Waktu itu, pembelian hanya bisa dilakukan secara lokal. Pemegang kartu Charg-It juga harus memiliki rekening di bank yang menerbitkan kartu. Meski masih sangat terbatas, Charg-It menjadi awal mula penggunaan kartu kredit.

Sebelum era komputerisasi dan digitalisasi, proses penggunaan kartu kredit tak sesederhana dan secepat saat ini. Setiap ada pembelian menggunakan kartu kredit, pihak toko akan menelepon bank. Seorang petugas bank akan mengecek data dan sisa limit nasabah secara manual. Sistem kartu kredit baru dikomputerisasi pada 1973 oleh Dee Hock, CEO pertama Visa.

Sejak itu, penggunaan kartu kredit terus tumbuh. Ia mempermudah cara berbelanja dan membantu para pemegangnya untuk menunda pembayaran atau membeli barang dengan skema cicilan. Menurut data Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI), pada 2009 ada 12,26 juta kartu kredit yang beredar di Indonesia. Tahun lalu, angkanya meningkat menjadi 17,4 juta kartu.

Saat ekonomi syariah masuk ke Indonesia, bank-bank syariah bermunculan. Bahkan hampir seluruh bank konvensional saat ini memiliki unit bisnis atau anak usaha syariah. Namun, tak satu pun dari bank-bank syariah itu masuk ke bisnis kartu kredit syariah sampai pada Oktober 2006, Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan satu fatwa tentang penggunaan kartu kredit. Fatwa itu menjadi dasar hukum bagi perbankan untuk menerbitkan kartu kredit syariah.

Dalam fatwa itu, DSN tak menggunakan istilah kartu kredit untuk merujuk kartu kredit syariah, melainkan Syariah Card. “Syariah Card adalah kartu yang berfungsi seperti kartu kredit yang memiliki hubungan hukum (berdasarkan sistem yang sudah ada) antara para pihak berdasarkan prinsip syariah,” demikian tertulis dalam ketentuan umum fatwa tersebut.

Sekitar enam bulan setelah fatwa MUI, Bank Danamon bekerjasama dengan MasterCard menerbitkan Dirham Card. Ia menjadi kartu kredit pertama yang menggunakan prinsip-prinsip syariah.

Setelah itu, beberapa bank juga ikut menerbitkan kartu kredit syariah, di antaranya BNI Syariah dan CIMB Niaga. Pada semester I tahun 2012, BNI Syariah telah menerbitkan 92 ribu kartu dengan total outstanding kredit senilai Rp194 miliar. Empat tahun kemudian, kartu kredit milik BNI syariah yang beredar di masyarakat mencapai 262 ribu kartu dengan total transaksi Rp1,28 triliun.

Direktur Utama BNI Syariah Abdullah Firman Wibowo mengatakan saat ini, total syariah card atau Hasanah Card yang telah beredar sebanyak 256 ribu kartu. Sepanjang semester I tahun ini, total transaksi Hasanah Card mencapai Rp539 miliar. Dia menjelaskan, tidak semua pemegang kartu beragama Islam, sama halnya dengan nasabah bank syariah yang juga tak semuanya beragama Islam.

Abdullah menilai prospek kartu kredit syariah masih sangat besar."Demand-nya masih sangat besar, dibuktikan dengan aplikasi yang masuk rata-rata 300 aplikasi sehari," katanya kepada Tirto, Senin (10/7). Sampai akhir tahun ini pihaknya menargetkan menerbitkan 25 ribu kartu baru.

Pertumbuhan jumlah pemegang kartu juga dialami CIMB Niaga. Tahun 2015, total syariah card yang diterbitkan hanya 165 ribu kartu. Angka tersebut tumbuh menjadi 239 ribu kartu pada tahun lalu.

Denny S Batubara, seorang karyawan swasta di Jakarta adalah salah satu pemegang kartu syariah card CIMB Niaga. Pada awalnya, Denny mengajukan aplikasi untuk kartu kredit CIMB Niaga yang konvensional. Tetapi, pihak bank juga mengirimkan kartu yang syariah setelah Denny menerima yang konvensional. Dia kemudian mengaktifkan keduanya, tetapi hanya menggunakan yang konvensional untuk transaksi.

Alasan Denny tak menggunakan kartu yang syariah karena ia tak mau dipusingkan dengan membayar tagihan dua kartu kredit. Apalagi keduanya sama-sama dari CIMB Niaga. "Aku aktifkan aja yang syariah karena tidak ada biaya tahunan, buat jaga-jaga aja," katanya.

infografik kartu kredit konvensional syariah

Kartu Kredit Konvensional VS Syariah

Syariah card yang disebutkan DSN dalam fatwanya sebelas tahun lalu secara fungsi sama saja dengan kartu kredit. Keduanya merupakan alat pembayaran. Pemegang kartu melakukan pembayaran dengan menggunakan kartu, lalu membayarkan tagihan dari pembaran itu ke pihak penerbit kartu.

Keduanya juga memiliki biaya tahunan, biaya keterlambatan, dan biaya untuk keperluan administrasi seperti pembayaran materai. Akan tetapi, ada perbedaan mendasar dari kartu kredit syariah dan konvensional, yakni pada cara penghitungan bunga.

Menurut fatwa, syariah card tidak dikenakan bunga seperti pada kartu kredit konvensional. Akan tetapi, bukan berarti tak ada biaya sama sekali. Pemegang syariah card harus membayar iuran keanggotaan setiap bulannya. Bank berhak menerima iuran keanggotaan dari pemegang kartu sebagai imbalan atas izin penggunaan fasilitas kartu. Besaran iuran ditentukan oleh bank.

Akad yang digunakan dalam penggunaan syariah card adalah kafalah, qardh dan ijarah. Dalam akad kafalah, penerbit kartu adalah penjamin bagi pemegang kartu atas semua transaksi dengan merchant. Atas pemberian jaminan itu, penerbit kartu boleh menerima ujrah atau imbalan.

Akad qardh digunakan ketika penerbit kartu memberikan pinjaman kepada pemegang kartu melalui penarikan tunai dari ATM. Sedangkan dalam akad Ijarah, penerbit kartu merupakan penyedia jasa sistem pembayaran dan pelayanan terhadap pemegang kartu. Oleh sebab itu, pemegang kartu dikenakan biaya keanggotaan.

Dengan menggunakan tiga akad ini, maka pendapatan penerbit kartu bukanlah dari bunga, melainkan dari biaya bulanan, komisi merchant dan biaya penagihan. Besar kecil biaya bulanan tergantung dari pemakaian dan pelunasan. Semakin banyak pemakaian dan tak dilunasi, semakin besar biaya bulanannya. Bahkan jika setiap bulan di pemegang kartu melunasi tagihannya, maka ia tak perlu membayar iuran bulanan apapun.

Itu artinya, tak ada iuran tahunan juga. Sementara itu, bank yang menerbitkan kartu kredit konvensional mendapat laba dari biaya tahunan, bunga transaksi, denda keterlambatan, dan komisi dari merchant.

Dari perincian biaya-biaya antara kedua jenis kartu kredit, kartu syariah lebih menguntungkan. Hanya saja, penggunaan kartu kredit syariah dibatasi hanya untuk memberi barang-barang atau jasa yang halal dan tidak mengandung riba. Jadi jangan harap bisa membeli minuman keras dengan kartu kredit syariah.

Baca juga artikel terkait KARTU KREDIT atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti