tirto.id - “Penting enggak sih kenikmatan seksual itu?”
“Ya, iya lah!”
“Penting karena itu adalah sesuatu yang kita nikmati… Kalau loe cuma melakukan itu sebagai suatu ritual, enggak dinikmati, itu bukan seks yang menyenangkan. Seks harus menyenangkan.”
Petikan percakapan ini adalah sebagian kecil dari rangkaian wawancara yang dilakukan Firliana Purwanti untuk proyek uniknya yang kemudian dibukukan: The ‘O’ Project (2010). 'O' untuk orgasme: suatu kata yang terdengar familier bagi sebagian orang, tapi tak semua mampu menjelaskan persis keadaan tersebut.
Buku setebal 152 halaman itu merangkum komentar-komentar perempuan Indonesia—hetero, bi, dan homoseksual—tentang kehidupan dan pengetahuan seksual mereka. Diselingi aneka temuan fakta dalam negeri dan catatan peneliti-peneliti, Firli mencoba menyuguhkan pengetahuan yang oleh kelompok-kelompok konservatif dianggap masuk wilayah terlarang diumbar-umbar.
Penulis ini mengawali catatannya dengan mengutip hasil penelitian berbagai lembaga di Amerika Serikat yang menyatakan bahwa 75 persen laki-laki selalu mencapai orgasme saat melakukan hubungan intim, sementara hanya 29 persen perempuan yang dapat mencapainya. Dari sana ia tergerak untuk membikin penelitian tentang kenikmatan seksual kaum Hawa.
Bukan hanya anggapan bahwa laki-laki mesti lebih dominan di ranjang yang membuat sebagian perempuan tak kunjung mencapai kenikmatan seksual. Firli berargumen, ada hal-hal lain yang turut menciptakan keadaan tersebut. Mitos keperawanan dan kehamilan, anggapan bahwa perempuan tak layak membicarakan seks secara terbuka, konflik identitas seksual, serta minimnya pengetahuan soal kehidupan ranjang dapat membuat perempuan sulit orgasme.
Selain temuan-temuan Firli yang tertuang di bukunya, masih banyak faktor lain yang membuat perempuan tak bisa merasakan orgasme, bahkan kesakitan saat berhubungan seks. Dari segi fisik, terdapat sejumlah penyakit yang menjadi problem dalam kehidupan seks perempuan. Vaginismusmisalnya, merupakan kondisi saat otot vagina mengejang begitu suatu benda dimasukkan ke sana. Perempuan yang menderita penyakit ini bisa merasa tak nyaman, bahkan nyeri saat dipenetrasi (dyspareunia).
Baca juga:Alergi Sperma yang Mengganggu Hubungan Seks dan Reproduksi
Rasa terbakar, iritasi, atau berdenyut-denyut pada genitalia bisa jadi gejala-gejala perempuan mengalami vulvodynia. Dalam kajian medis, vulvodynia didefinisikan sebagai kondisi nyeri kronis yang terjadi di area vulva (bibir vagina) yang berlangsung secara terus menerus, setidaknya selama tiga bulan.
Ada pula istilah frigid atau frigidity dalam ranah problem seksual perempuan. Frigidity dideskripsikan sebagai keadaan ketika seseorang tidak mampu merespons stimulus seksual. Hal ini bisa disebabkan oleh stres, kecemasan, keletihan fisik, konsumsi obat-obatan tertentu dan alkohol, trauma, atau ketakutan akan mengalami sakit ketika berhubungan badan.
Baca juga:Keperawanan dan Mitos-Mitos Selaput Dara
Faktor-faktor psikologis yang disebutkan di atas dapat terjadi secara situasional alias tak melulu dialami perempuan. Namun, ada suatu kondisi khusus ketika perempuan benar-benar tak terangsang dengan stimulus apa pun yang diterimanya. Aseksual. Berbeda dengan kondisi-kondisi yang dijabarkan lebih dulu, aseksualitas tidak dikatakan sebagai problem seksual, melainkan orientasi seksual sebagaimana hetero, homo, atau biseksual.
Baca juga:Tak Semua Orang Suka Bercinta
Apakah orang-orang aseksual benar-benar tak pernah terlibat dalam aktivitas seksual apa pun? Tidak juga. Menurut Bogaert (2004), ada dua bentuk aseksualitas: 1. Orang yang memiliki dorongan seks, tetapi tidak mengejawantahkannya kepada orang lain—ia bisa saja melakukan masturbasi, dan 2. Orang yang tidak memiliki dorongan seks sama sekali.
Lantaran merupakan orientasi seksual, aseksualitas tidak dapat “dipulihkan” seperti halnya kelainan jiwa. Bisa jadi orang aseksual hanya merepresi atau menutupi keadaannya saja. Katakanlah ia memiliki pacar yang menginginkan hubungan badan dengannya. Karena sayang, orang tersebut bisa saja memutuskan terlibat dalam hubungan seks meskipun tidak benar-benar menikmatinya.
Kembali ke permasalahan seksual perempuan di ranjang, terdapat keadaan ketika ia tidak mampu atau sulit sekali mencapai orgasme sekalipun sudah menerima stimulus-stimulus seksual yang dinamakan anorgasmia. Beberapa tipe anorgasmia dijelaskan dalam situs Mayo Clinic. Pertama, lifelong anorgasmia, keadaan saat seseorang tidak pernah satu kali pun mengalami orgasme. Kemudian ada acquired anorgasmia yang berarti ia sempat mengalami orgasme-orgasme, tetapi kemudian sangat sulit untuk mencapainya kembali.
Ketiga, situational anorgasmia. Istilah ini merujuk pada keadaan saat seseorang hanya bisa meraih klimaks pada situasi-situasi tertentu saja, misalnya saat melakukan dengan partner tertentu. Banyak perempuan yang tidak mencapai orgasme lewat penetrasi di vagina saja.
Baca juga: Demiseksual: Hasrat Seksual Berawal dari Ikatan Emosional
Terakhir, generalized anorgasmia. Ini berarti, seseorang tidak bisa meraih orgasme dengan siapa pun atau dalam keadaan apa pun dia bercinta.
Rupanya, penyakit di luar genitalia perempuan pun bisa membuat seks menjadi tak nikmat. Diabetes, penyakit jantung atau saraf, ketidakseimbangan hormon, menopause, serta gagal ginjal atau hati bisa berkontribusi terhadap kesulitan perempuan meraih orgasme.
Problem-problem seksual perempuan yang dikemukakan di sejumlah jurnal maupun media massa mendorong lahirnya inisiatif perusahaan farmasi untuk menciptakan obat-obatan penambah gairah. Apakah hal ini merupakan racikan pemecah masalah yang mujarab? Belum tentu.
Ray Moynihan mengkritisi pihak farmasi di Amerika Serikat yang bekerja sama dengan dokter-dokter untuk mendefinisikan disfungsi seksual perempuan dalam penelitiannya, “The Making of a Disease: Female Sexual Dysfunction” (2003). Dalam tulisan yang dimuat di British Medical Journal itu, Moynihan berargumen bahwa guna mendapat profit besar dari penjualan produknya, perusahaan farmasi membuat definisi menyesatkan tentang disfungsi seksual perempuan.
Definisi menyesatkan ini justru disokong oleh jurnal kesehatan di AS yang mengatakan bahwa prevalensi disfungsi seksual pada perempuan usia 18-59 di sana adalah 43 persen. Bukan jumlah yang sedikit untuk disasar sebagai konsumen obat penambah gairah.
Kritik lain Moynihan, bila pada laki-laki disfungsi seksual lebih mudah dikenali, misalnya dengan ketiadaan ereksi, disfungsi seksual pada perempuan jauh lebih sulit diukur. Apa tandanya? Baik laki-laki maupun perempuan bisa mengalami stres yang lantas berpengaruh terhadap kehidupan ranjangnya. Apa serta merta perempuan dituding mengalami disfungsi seksual?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini dilontarkan oleh sejumlah psikolog yang tidak sepakat dengan pendapat dokter-dokter yang digandeng perusahaan farmasi. Dalam tulisannya inilah, Moynihan memperlihatkan, ada situasi ketika dokter dan pakar psikologi tak bisa duduk bersama dan menyepakati suatu hal.
Dr. Leonore Tiefer, profesor psikiatri klinis dari New York University, menyoroti lebih lanjut faktor yang mendorong perempuan mengalami masalah di ranjang. Ia mengelompokkan penyebab-penyebab ketidakpuasan terhadap pengalaman seks ke dalam empat kategori: sosiokultural, politik, atau ekonomi; faktor relasi, faktor psikologis, dan medis.
“Seks itu seperti berdansa,” ungkap Tiefer seperti dikutip Moynihan. “Jika kamu keseleo saat berdansa, kamu pergi ke dokter. Namun, doktermu tidak akan melihat rekam jejak kegiatan dansamu dan tidak akan menilai apakah cara berdansamu normal atau tidak. Pendekatan medis berfokus pada apa yang sehat dan tidak, tetapi seks jelas bukan tentang itu saja.”
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani