Menuju konten utama

Demiseksual: Hasrat Seksual Berawal dari Ikatan Emosional

Bagi sebagian besar orang, hasrat seksual dapat muncul dari penampakan visual atau sentuhan-sentuhan tertentu. Namun bagi demiseksual, butuh lebih dari itu semua untuk bisa membuatnya terangsang secara seksual.

Demiseksual: Hasrat Seksual Berawal dari Ikatan Emosional
Ilustrasi. FOTO/Istock

tirto.id - Apakah Anda merasa atau mengenal seseorang yang sulit sekali untuk tertarik secara seksual kepada orang lain meski bagi mayoritas, orang tersebut berpenampilan memesona serta sempat berkontak fisik dengan Anda atau orang yang Anda kenal? Pernahkah terpikirkan bahwa untuk dapat menjalin suatu hubungan romantis yang serius plus membuka peluang untuk menciptakan intimasi tubuh lebih jauh, ikatan emosional merupakan hal mendasar yang harus terpenuhi?

Jika hal ini sempat melintas di kepala, Anda atau orang yang Anda kenal mengalami ini perlu mengenal demiseksualitas. Bisa jadi, sebenarnya selama ini Anda tergolong seorang demiseksual, suatu minoritas di tengah masyarakat yang lazimnya mudah tertarik secara seksual kepada orang lain berdasarkan aksi atau tampilan fisik.

Dalam buku The Invisible Orientation: An Introduction to Asexuality, Julie S. Decker (2015) menjelaskan bahwa demiseksual adalah orientasi seks di mana seseorang hanya akan memiliki ketertarikan seksual setelah menciptakan ikatan emosi dengan orang lain. Kebanyakan orang mengalami ketertarikan seksual pada lapis pertama, yakni terhadap tampilan fisik orang lain terlepas ia mengenal lebih jauh kepribadian orang tersebut.

Wajah, suara, karisma saat tampil di depan publik, atau tindak tanduk lain bisa jadi menggoda bagi mayoritas orang, tetapi tidak demikian bagi seorang demiseksual. Dikatakan oleh Decker bahwa seorang demiseksual mengalami ketertarikan seksual pada lapis kedua, yakni ketika kedua pihak telah terlibat dalam suatu hubungan—tak melulu harus percintaan—dan membangun ikatan emosional pada konteks tertentu.

Seorang demiseksual tidak bisa merasakan rangsangan seksual hanya melalui observasi sekelebat mata terhadap orang lain. Salah satu syarat untuk membangkitkan gairah seksualnya adalah melalui interaksi dan percakapan yang intens sampai kedua pihak saling mengenal betul persona satu sama lain. Berdasarkan informasi dari Demisexuality Resource Center, demiseksual termasuk dalam spektrum aseksualitas. Dalam sensus yang dilakukan Asexual Visibility and Education Network pada 2014, dua per tiga populasi demiseksual menyatakan tidak tertarik atau menolak seks dengan pasangannya.

Seksolog Dr. Prakash Kothari memaparkan dalam situs The Times of Indiabahwa sains belum menemukan penjelasan pasti mengenai alasan seseorang menjadi aseksual. “Saya hanya dapat mengatakan, orang-orang memang terlahir demikian. Menurut sebagian peneliti, gen memainkan peran utama dalam hal orientasi seks seseorang,” ujarnya.

Kerap kali orang salah kaprah dan menganggap ketertarikan seksual setelah adanya ikatan emosional adalah hal yang wajar. Memang benar, tidak semua orang yang memilih kebebasan dalam seksualitas dan cenderung memilih berhubungan intim hanya dengan orang-orang yang berkomitmen dengan mereka. Namun, bukan berarti mereka tak memiliki ketertarikan seksual terhadap siapa pun yang mempunyai daya tarik fisik dan gesturnya menggairahkan.

Ketertarikan seksual adalah suatu hal yang tidak dapat dikendalikan dengan sengaja. Seseorang tak akan bisa memaksakannya untuk timbul atau hilang. Lain halnya dengan perilaku seksual yang bisa dipilih dengan kesadaran seseorang berdasarkan berbagai pertimbangan mulai dari konteks diterapkannya perilaku tersebut sampai serangkaian norma dan nilai yang melekat dalam pikirannya.

Demiseksualitas juga sering kali dipandang sebelah mata oleh masyarakat, khususnya ketika hal ini dialami oleh perempuan. Karena kerangka budaya dominan mengharapkan perempuan lebih submisif atau pasif dalam konteks seksualitas, demiseksualitas yang dimilikinya tidak dianggap sebagai suatu ‘perbedaan’ signifikan.

Infografik Koneksi Emosional

Dalam bukunya, Decker menjelaskan, “Banyak orang yang berpikir demiseksualitas bukanlah terminologi yang berarti karena sebagian masyarakat—terutama perempuan—memperoleh persetujuan sosial jika bertahan untuk tidak berhubungan seks kecuali ada ikatan emosional dalam hubungan yang dijalaninya.”

Anggapan lain yang jamak terhadap demiseksual adalah orang-orang dengan orientasi seks tersebut tak lebih dari sekadar pemilih terkait siapa yang bisa diajak tidur dengannya. Demiseksual itu tak nyata, demikian komentar orang-orang yang mencibir hal ini. Namun, Hayley MacMillen menulis dalam Cosmopolitanbahwa anggapan tersebut tidak benar.

Jika orang-orang yang memiliki hasrat seksual rendah kerap merasa terganggu, depresi, dan cenderung mencari pengobatan atasnya, demiseksual justru merasa ketiadaan hasrat seksual bukanlah sesuatu yang mengganggu dan bukan masalah besar.

Lantaran tak tergabung dalam kelompok masyarakat mayoritas yang tidak sulit terpikat secara seksual oleh tampilan visual dan kontak fisik dari orang lain, para demiseksual dan kaum aseksual sering luput dari perhatian, bahkan tak jarang dipandang lebih inferior. Seperti halnya kelompok-kelompok marginal lain, dibutuhkan sosialisasi terkait hal ini agar orang-orang yang terlibat dengan aseksualitas atau demiseksualitas tak merasa risi dengan keadaannya atau keadaan kenalannya.

Dr. Kamini Deshmukh, psikolog konsultan di Fortis Hopistal, Mumbai mengutarakan, “Kesadaran dan edukasi mengenai aseksualitas akan membantu orang yang tidak mengalami ketertarikan seksual merasa nyaman dengan dirinya sendiri. Tidak hanya itu, lewat kedua hal ini, orang-orang aseksual akan dapat menjadi lebih ekspresif dan jujur tentang perasaannya tanpa perlu takut akan alienasi dan kesalahpahaman.”

Baca juga artikel terkait SEKSUALITAS atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani