Menuju konten utama
Tragedi Stadion Kanjuruhan

Mengapa Kasus Kanjuruhan Tak Boleh Berhenti Hanya 6 Tersangka?

Komnas HAM sebut penegakan hukum tragedi Kanjuruhan bisa menyasar kelompok tinggi, terutama penanggung jawab sepak bola.

Mengapa Kasus Kanjuruhan Tak Boleh Berhenti Hanya 6 Tersangka?
Sejumlah warga dan suporter Arema FC (Aremania) membawa spanduk dan poster saat unjuk rasa di depan Balai Kota Malang, Jawa Timur, Kamis (27/10/2022). ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/nym.

tirto.id - Komnas HAM menyerahkan hasil investigasi tragedi Kanjuruhan kepada Menko Polhukam Mahfud MD pada Kamis, 3 November 2022. Ia pun mengaku paham dengan isi laporan tersebut dan bakal menyampaikannya kepada Presiden Joko Widodo.

“Saya sudah berdiskusi, sudah paham semua isinya dan fakta-fakta pendukung, tapi saya hanya akan menampung ini untuk disampaikan ke pemerintah dalam rangka mengambil langkah-langkah lanjutan,” ucap Mahfud.

Ada tiga upaya yang akan ditempuh pemerintah, yaitu: langkah jangka pendek berupa penegakan hukum dan sanksi administratif; langkah jangka menengah berupa penataan organisasi; dan jangka panjang seperti perlengkapan infrastruktur.

Sementara itu, Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik menyatakan, pihaknya mengapresiasi penegakan hukum, tapi penegakan hukum itu bisa menyasar kelompok tinggi, terutama penanggung jawab sepak bola negera ini.

“Semestinya penegakan hukum juga harus sampai kelompok tinggi, yang bertanggung jawab terhadap sepak bola Indonesia," kata Taufan.

Salah satu kesimpulan laporan Komnas HAM adalah insiden Kanjuruhan merupakan peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi akibat tata kelola sepak bola yang diselenggarakan dengan cara tidak menjalankan, menghormati, dan memastikan prinsip serta norma keselamatan dan keamanan dalam penyelenggaraan sepak bola. Selain itu, terjadi karena tindakan penggunaan kekuatan yang eksesif.

Hingga kini polisi baru menetapkan enam tersangka kasus Kanjuruhan, yakni: Kasat Samapta Polres Malang, AKP Bambang Sidik Achmadi; Komandan Kompi Brimob Polda Jawa Timur, AKBP Hasdarman; Kabag Ops Polres Malang, Kompol Wahyu Setyo Pranoto; Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru, Akhmad Hadian Lukita; Ketua Panitia Pelaksana Pertandingan, Abdul Haris; dan petugas keamanan Suko Sutrisno.

Tiga tersangka dari warga sipil dijerat dengan Pasal 359 KUHP dan/atau Pasal 360 KUHP dan/atau Pasal 103 ayat (1) juncto Pasal 52 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan. Sementara tiga polisi dikenakan Pasal 359 KUHP dan/atau Pasal 360 KUHP.

Polisi Jangan Berhenti di Enam Orang Tersangka

Publik berharap aparat penegak hukum bisa mengusut perkara ini hingga tuntas. “Marilah dulur-dulurku kabeh [saudara-saudaraku semua], energi awake dewe didadekno siji gae ngawal supoyo [energi kita jadikan satu untuk mengawal] keadilan benar-benar ditegakkan di bumi Arema,” kata seorang orator di Stadion Kanjuruhan, 7 Oktober 2022.

Ajakan itu disambut dengan keriuhan pendatang. “Aku tetap janji, nek [bila] sampai fakta ini tersembunyi, fakta ini terselubung, sampai titik darah penghabisan aku akan maju terus!” “Iki gak iso dipekso, gak iso dipenggak [ini gak bisa dipaksa, gak bisa dicegah]. Iki panggilan jiwa.”

Perkataan itu menjadi pengingat masyarakat bahwa aparat dan pemerintah bertanggung jawab menyelesaikan kasus yang menyebabkan 135 orang meninggal dunia. Lantas, apa dampaknya jika kepolisian –pun kejaksaan— ‘berhenti’ pada enam tersangka?

Juru Bicara Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti berkata, saat ini berkas yang diteliti Kejaksaan Tinggi dikembalikan ke penyidik Polda Jawa Timur untuk dapat dilengkapi. “Karena penyidikan masih berproses, maka sebaiknya kita [public] tunggu hingga berkas dinyatakan selesai atau P-21,” kata Poengky kepada reporter Tirto, Jumat, 5 November 2022.

Dalam perkara ini, pemerintah membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Peristiwa Stadion Kanjuruhan Malang. Tim ini dibentuk berdasar Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2022.

TGIPF bertugas mencari, menemukan, dan mengungkap fakta dengan didukung data dan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan pada peristiwa tersebut, serta mengevaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan pertandingan Arema versus Persebaya, termasuk prosedur pengamanan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pengamat kepolisian dari ISESS, Bambang Rukminto berpendapat, rekomendasi yang diberikan TGIPF memiliki dasar hukum yang kuat. “[Jika kepolisian] tidak menjalankan rekomendasi TGIPF, bisa dilihat sebagai pembangkangan pada Keputusan Presiden,” kata dia kepada reporter Tirto.

Sementara itu, peneliti Bidang Hukum the Indonesian Institute, Hemi Lavour Febrinandez menyatakan, tak menutup kemungkinan bakal ada pihak lain yang dianggap bertanggung jawab dalam kasus Kanjuruhan.

“Termasuk individu yang diduga atau terbukti menembakkan gas air mata. Itu tergantung bagaimana pemeriksaan dalam persidangan,” tutur dia kepada Tirto.

Bila dalam persidangan nanti ada saksi yang hakim anggap bertanggung jawab dalam tragedi, maka saksi bisa ditetapkan menjadi tersangka. “Sebut saja petugas lapangan yang menembakkan gas air mata hingga komandan tertinggi yang ikut terlibat memberikan arahan.”

Ihwal kegaduhan kinerja Polri, Hemi berpendapat, itu adalah rentetan problem, bukan hanya insiden Kanjuruhan. Insiden Kanjuruhan bisa menjadi pengingat bahwa dibutuhkan perbaikan kinerja dalam tubuh Korps Bhayangkara. Tidak hanya perubahan individu semata, tapi secara institusi. Tujuannya agar peristiwa serupa tak berulang.

Polisi Ngawur?

Pada 31 Oktober, tujuh keluarga korban Kanjuruhan yang diwakili oleh Tim Advokasi Bantuan Hukum Aremania Menggugat, mengadukan peristiwa itu kepada Polda Jawa Timur. Sial, polisi yang semestinya melayani masyarakat malah menolak menerima laporan itu dengan dalih Ne Bis In Idem.

Ne Bis In Idem ialah perkara dengan objek, para pihak dan materi pokok perkara yang sama, diputus oleh pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap baik mengabulkan atau menolak, tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua kalinya. Padahal berkas perkara enam tersangka belum diputuskan untuk diterima oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Alasan penolakan polisi tak masuk akal.

“Terkait penolakan ini, kami akan melakukan langkah koordinasi dengan Kapolda atau pihak yang bisa memberikan alasan jelas. Ini tidak bisa dibenarkan karena hak masyarakat selaku korban ada unsur pidana, harus diterima selama bukti identitas itu mendukung semua," ujar Ketua Tim Advokasi Bantuan Hukum Aremania Menggugat, Djoko Tritjahjana.

Jaksa belum bisa meloloskan dokumen perkara enam tersangka karena berkas itu dianggap belum lengkap. Sementara pada pengaduan keluarga Aremania itu, mereka hendak menggugat pihak-pihak yang bertanggung jawab dengan jeratan Pasal 338 KUHP dan Pasal 340 KUHP perihal pembunuhan dan pembunuhan berencana.

Dosen Hukum Pidana Universitas Brawijaya, Fachrizal Afandi berujar, polisi ngawur lantaran menolak pengaduan dengan dalih Ne Bis In Idem, apalagi pengaduan korban ini berbeda. “Ini menunjukkan keengganan kepolisian untuk mengembangkan kasus,” ucap dia ketika dihubungi Tirto.

Hingga kini bahkan si penembak gas air mata tak ditetapkan sebagai tersangka. “Sepertinya polisi tidak mau (ada tambahan tersangka), padahal (polisi) harus objektif,” kata Fachrizal.

Lantas, bagaimana PSSI juga bertanggung jawab dalam hal ini? Jika ingin menjerat jajaran PSSI dengan pidana, ketua ymum dan/atau wakil ketua umum PSSI misalnya, maka petinggi induk sepak bola Indonesia itu bisa dijerat dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan.

“(Karena) pertanggungjawaban berbeda. Karena PSSI tak bisa menjamin keamanan, dia (Ketua Umum) PSSI dikenakan UU Keolahragaan,” terang Fachrizal.

Pasal 52 UU Keolahragaan menyebutkan penyelenggara kejuaraan olahraga wajib memenuhi persyaratan teknis kecabangan, kesehatan, keselamatan, ketentuan daerah setempat, keamanan, ketertiban umum, dan kepentingan publik.

Jika melanggar, maka hukumannya termaktub dalam Pasal 103 ayat (1) yang berbunyi “Penyelenggara kejuaraan olahraga yang tidak memenuhi persyaratan teknis kecabangan, kesehatan, keselamatan, ketentuan daerah setempat, keamanan, ketertiban umum, dan kepentingan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000.

Korban selamat atau keluarga korban bisa menggugat secara perdata. Banyak korban gas air mata yang matanya sakit, rusak, atau memerah, belum lagi saluran pernapasan yang berpotensi terdampak. Bahkan belum diketahui efek jangka panjang dari gas air mata kedaluwarsa yang ditembakkan polisi kepada mereka.

“Gugat secara perdata perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh PSSI, PT Liga Indonesia Baru, polisi, dan TNI,” ucap Fachrizal.

Baca juga artikel terkait TRAGEDI KANJURUHAN atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz