tirto.id - Dinda Sutra menambah daftar perempuan Indonesia yang berperan sebagai game developer lewat Project: Jurit yang sebentar akan dirilis via platform digital Steam.
Kabar baik ini bisa menjadi indikator bahwa maskulinitas dunia game mungkin tidak akan bertahan lama.
Kontribusi perempuan dalam industri pengembangan game secara langsung membentuk ekosistem kerja dan permainan yang lebih mengedepankan keberagaman, kesetaraan, dan inklusi (Diversity, Equity, and Inclusion).
Para perempuan gamer bersolidaritas membuat ruang aman bagi siapa pun, misal melalui komunitas Women in Game (WIG).
WIG adalah organisasi nonprofit yang berdiri tahun 2020 di London, saat hanya terdapat 6 persen perempuan berkecimpung di industri game.
Dari London, semangat WIG menyebar ke beberapa negara, salah satunya Indonesia melalui Indonesia Women in Game (IWIG).
Komunitas IWIG saat ini diketuai oleh Riris Marpaung, mantan pustakawan yang saat ini menjadi pengembang game di GameChanger Studio.
Mereka konsisten mengadvokasikan perspektif baru tentang dunia gaming agar industri ini semakin terbuka untuk semua gender.
Tidak mudah bagi developer perempuan untuk berada di titik ini, titik di mana perempuan memiliki akses terbuka untuk untuk tidak hanya menjadi konsumen, tetapi juga produsen dan pengembang.
Pandangan umum itu pun diadopsi oleh pengembang game.
Kita bisa melihat jejaknya di permainan arkade era dekade 70 dan 80-an di Amerika Serikat. Jenis permainan yang tersedia kala itu kental dengan unsur kekerasan yang asosiasinya cenderung lebih lekat dengan anak laki-laki.
Lalu hadirlah Pac-Man, sebuah computer game yang rilis akhir tahun 1970-an buatan Toru Iwatani asal Jepang.
Si bundar kuning pemakan segala itu menjadi permainan yang adiktif dan sesuai untuk siapa pun. Dalam imaji awal Toru, Pac-Man mampu mengakomodasi ketertarikan perempuan terhadap game.
"[Arena arkade] adalah tempat suram dengan banyak anak laki-laki nongkrong. Aku ingin membuat arkade lebih hidup sehingga perempuan dan pasangan bisa menikmatinya dengan riang. Jadi aku mendesain game [Pac-Man] dengan membayangkan seperti apa minat perempuan," jelas Iwantani dikutip dari CNN.
Pac-Man memiliki sekuel tidak resmi berjudul Ms. Pac-Man, rilis tahun 1982. Ini bisa dibilang sebagai turning point ketika sebuah arcade game didesain dengan memasukkan unsur feminin. Untuk membedakan dengan tokoh Pac-Man, karakter Ms. Pac-Man mengenakan pita merah.
Kenyataannya baik Pac-Man maupun Ms. Pac-Man masih didesain oleh laki-laki.
Oleh karena itu, tidak mungkin membahas sejarah pengembangan game tanpa menyebut satu nama: Carol Shaw.
Dalam pameran daring yang diadakan oleh Google Arts and Culture, Carol adalah legenda yang pernah menjadi pemimpin Atari, perusahaan di balik arcade machine dan video game populer yang berdiri tahun 1972.
Bayangkan periode ketika wajah-wajah cowok memenuhi layar game, seorang perempuan hadir dengan sebuah permainan bernama River Raid, tahun 1982.
Carol membuat River Raid untuk Atari 2600, sebuah home game video console.
Dengan suara khas ‘ding ding’, River Raid memosisikan pemain sebagai pesawat jet yang bertugas menembak musuh di depan.
River Raid adalah salah satu game paling laku dari Atari. Ratusan ribu pemain pun bernostalgia saat memainkan River Raid kembali usai bertahun-tahun.
Carlo Shaw tidak sendirian dalam menapaki industri yang maskulin ini. Pada tahun 1983, Roberta Williams muncul dengan game King's Quest.
King's Quest, seperti dicatat di situs Lemelson-MIT, merupakan game yang membantu mendefinisikan ulang apa dan bagaimana seharusnya permainan petualangan disajikan.
Roberta bersama suami, Ken Williams, meluncurkan permainan Mystery House (MH)pada tahun 1980. MH tercatat sebagai permainan petualangan grafis pertama di dunia.
Pada akhir dekade 90-an, ia memperoleh hak cipta atas lebih dari 30 video games untuk komputer. Ia juga berkontribusi pada puluhan jalan cerita game yang laris manis di pasaran.
Singkatnya, Roberta Williams merupakan perintis.
Sementara di Indonesia, Riris Marpaung bisa dibilang merupakan salah satu game developer perempuan generasi awal. Ia memulai kariernya pada tahun 2013. Kesuksesannya dimulai dengan My Lovely Daughter yang rilis tahun 2016.
Permainan ini membawa nuansa baru dalam industri game karena mempersembahkan cerita tentang rasa duka kehilangan anak.
My Lovely Daughter berkisah tentang seorang ayah yang tengah diselimuti pilu karena sang anak perempuan meninggal dunia. Nestapa tersebut dilalui dengan upaya membangkitkan kembali sang putri.
Peran perempuan di pengembangan game semakin krusial karena kelompok inilah yang berpotensi menciptakan karakter-karakter perempuan dengan lebih baik, hati-hati, terukur, dan tentu saja tidak mengarah pada seksualisasi.
Masih ada banyak sekali perempuan di balik industri game yang namanya tak tercatat. Tugas yang mereka kerjakan tidak terbatas hanya sebagai pengembang, tetapi juga riset hingga pemasaran.
Pendapat menarik pernah disampaikan oleh pengembang Dominica Wannenburg mengenai permasalahan mengakar ini.
Ternyata, sejumlah mata perkuliahan di beberapa jurusan yang citranya lekat dengan maskulinitas turut memengaruhi ketidakseimbangan gender.
"Entahlah, bagiku ada beberapa hal umum yang melekat pada [pendidikan] STEM, seperti bidang teknik dan matematika yang masih didominasi oleh laki-laki," tuturnya.
Sudah banyak lokakarya dan perhelatan yang diadakan untuk menarik lebih banyak perempuan bergabung di industri game. Namun, kata Dominica, selama lanskap pendidikan terkait industri game masih sarat dengan unsur-unsur maskulinitas, sepertinya upaya di atas masih akan terus dihadapkan pada tantangan.
Penulis: Erika Rizqi
Editor: Sekar Kinasih
Masuk tirto.id







































