tirto.id - Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, mengakui banyak daerah yang menggunakan anggaran Transfer ke Daerah (TKD) yang diberikan pemerintah pusat hanya untuk membayar gaji, bonus dan operasional pegawai. Bahkan, alokasi penggunaan dana untuk belanja pegawai dapat mencapai 60 persen dari total anggaran yang didapat oleh pemerintah daerah.
"Karena mereka mengandalkan revenue-nya, kan 3 dari pusat. 90 persen (anggaran) dari pusat, 60 persen dipakai untuk (belanja) pegawai. Itu banyak kejadian seperti itu," kata Tito, saat ditemui awak media usai Seminar Internasional Desentralisasi Fiskal 2024, di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Selasa (24/9/2024).
Akibatnya, hanya sedikit anggaran yang benar-benar dialokasikan untuk masyarakat. Hal ini lah yang kemudian membuat banyak daerah tak kunjung maju dalam hal kesejahteraan masyarakat dan pembangunan.
"Yang deliver untuk masyarakat, kurang. Akhirnya lambat mereka majunya," ujarnya.
Selain penggunaan anggaran TKD yang tak tepat sasaran, Tito juga menyesalkan banyaknya pegawai honorer yang diisi oleh tim sukses (timses) dari kepala-kepala daerah pemenang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Menurutnya, ada beberapa posisi di daerah yang dapat diisi oleh tenaga honorer, seperti di bidang kesehatan dan tenaga umum. Di bidang umum itu lah banyak tenaga honorer yang datang mengisi posisi tersebut tanpa kualifikasi kemampuan khusus.
"Mereka begitu menang, yang didukung, dijadikan tenaga honorer," kata dia.
Penempatan timses Kepala Daerah sebagai tenaga honorer sudah menjadi lagu lama dan terus berulang dengan adanya pemerintahan baru. Parahnya, ketika kepala daerah lengser karena habis masa tugas atau sebab lain dan tenaga honorer dari timses tersebut dirumahkan, mereka akan melakukan unjuk rasa untuk menuntut keadilan.
Agar tak menjadi biang pemborosan anggaran, Tito menilai praktik ini harus dihentikan, salah satunya melalui pengefisienan TKD. Bahkan, pemerintah pusat harus tegas dalam menindak daerah yang ketahuan melakukan penyelewengan kekuasaan ini dengan mengurangi dana TKD.
"Nanti harus dibicarakan, tiap daerah butuhnya beda. Itu harus dibicarakan supaya nyetop ini. Nanti kalau ganti kepala daerah, begini lagi, yang tim sukses yang lama honorer masih tetap ada, diberhentiin mereka marah, demo, yang tim sukses pejabat yang baru, kepala daerah baru, nambah lagi," ucapnya.
Pada saat yang sama, mengganti tenaga honorer dengan memaksimalkan digitalisasi juga harus dilakukan, selain juga mendorong masyarakat untuk menjadi wirausahawan.
"Kemudian rapat-rapat dikurangi. Rekrutmen pegawai termasuk honorer juga dikurangi. Ganti digitalisasi, dorong masyarakatnya jangan jadi pegawai negeri aja, tapi menjadi wirausahaan, UMKM. Selain itu buat ekosistem, agar sistem private sectornya, swastanya hidup. Karena kalau swasta hidup, dia akan meningkat," sambung Tito.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Anggun P Situmorang