tirto.id - Sinyal penurunan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di tahun depan diamini langsung oleh Rifky Adnan. Pria berusia 30 tahun itu, bahkan mengacungi jempol apabila pemerintah benar-benar dapat melaksanakan 'niat baik' tersebut. Sebabnya jelas: kebijakan itu tidak hanya menjadi kabar baik bagi dirinya saja, melainkan seluruh masyarakat Indonesia.
Bagi Rifky, sejak pemerintah menaikkan PPN 12 persen pada awal Januari 2025 yang mana itu merupakan mandat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, segalanya mulai berubah. Kenaikan tersebut diakui membebankan keuangannya, terutama dalam mengonsumsi kebutuhan sehari-sehari.
Kenaikan PPN tahun ini secara tidak sadar telah meningkatkan harga barang dan jasa, mulai dari kebutuhan sehari-hari seperti makanan dan minuman, pakaian, hingga barang non-esensial seperti elektronik. Kondisi itu membuat ia harus mengurangi konsumsi barang-barang yang dianggap kurang penting dan hanya fokus pada kebutuhan pokok.
"Kalau dibilang terasa, ya terasa kenaikan PPN (tahun ini). Makanya, kalau pemerintah memang ada niat untuk turun lagi tahun depan kita amini," imbuh pria asal Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat, kepada Tirto, Jumat (17/10/2025).
Angin segar mengenai penurunan PPN tahun depan sempat datang dari sang pengendali fiskal Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa. Mantan bos Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) itu, membuka ruang menurunkan tarif PPN dengan mempertimbangkan menjaga daya beli masyarakat. Meskipun keputusan tersebut masih akan dikaji dengan mempertimbangkan kondisi fiskal hingga akhir 2025.
“Jadi begini, kita akan lihat seperti apa akhir tahun, seperti apa uang saya yang saya dapat itu sampai akhir tahun,” kata Purbaya di Jakarta, Senin (13/10/2025).
Purbaya melihat, perkembangan ekonomi sebulan terakhir telah menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Ini terlihat konsumsi masyarakat mulai meningkat sejak September setelah pemerintah mulai mengalirkan dana ke sistem perekonomian, melalui penempatan Sisa Anggaran Lebih (SAL) di Himbara. Dengan demikian, opsi penurunan PPN masih akan dipelajari dulu.
"Saya sekarang belum terlalu clear, nanti akan kita lihat bisa enggak kita turunkan PPN itu untuk mendorong daya beli masyarakat. Tapi kita pelajari dulu, hati-hati," ucap dia.
Bagaimana Peluang Penurunan PPN Tahun Depan?
Ekonom dari Departemen Ekonomi Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, melihat penurunan PPN pada 2026 peluangnya cukup kecil. Sebab pemerintah sudah memilih format 'terarah' di mana tarif 12 persen hanya untuk kelompok barang atau jasa mewah. Sementara untuk umum tetap setara 11 persen melalui skema Dasar Pengenaan Pajak (DPP) nilai lain 11-12,
"Sehingga beban ke masyarakat luas relatif terjaga," ucapnya kepada Tirto, Jumat (17/10/2025).
Di saat yang sama, kata Safruddin, Menkeu Purbaya menyatakan ingin menekan penerbitan utang pada 2026 dengan mengandalkan penerimaan. Artinya apabila Purbaya berani memotong PPN, ini justru akan menggerus pos penerimaan terbesar kedua. Di mana kontribusi PPN–PPnBM adalah 38 persen dari total pajak 2024 dan mempersempit ruang fiskal untuk program prioritas.
Bila merujuk pada data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Kita, sampai dengan September 2025 realisasi PPN-PPnBM pun sebenarnya terkontraksi baik secara bruto maupun neto bila dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya. Padahal tahun ini telah terjadi penyesuaian PPN dari 10 persen di 2024 menjadi 12 persen di 2025.
Jika ditelisik penerimaan secara bruto, kontribusi PPN-PPnBM pada September 2025 hanya mencapai Rp702,2 triliun atau minus 3,2 persen dibandingkan September 2024. Sedangkan secara neto PPN-PPnBM hanya berkontribusi Rp474,4 triliun atau minus 13,2 persen dibandingkan periode sama tahun lalu.
Oleh karena itu, menurut Syafruddin, alih-alih menurunkan dan berdampak pada penerimaan tahun depan, maka opsi yang lebih realistis ialah insentif PPN yang terarah dan temporer. Misalnya PPN DTP sektor tertentu, pelapisan pengecualian untuk kebutuhan pokok, atau tax holiday terbatas sembari menjaga basis pajak tetap lebar agar defisit dan pembiayaan tetap terkendali.
"Dengan konstelasi ini, gebrakan 2026 lebih mungkin berbentuk targeted relief daripada pemotongan tarif umum," jelas dia.
Economic Researcher CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, melihat ada proses panjang bagi Purbaya untuk menurunkan tarif PPN. Hal ini karena tarif PPN diatur dalam undang-undang, sehingga setiap penyesuaian tarif — terutama penurunan — harus melalui konsultasi dengan DPR. Dengan kata lain, pemerintah perlu menentukan apakah perubahan tersebut memerlukan revisi undang-undang atau dapat dilakukan dengan mengacu pada pasal tertentu dalam Undang-Undang PPN yang berlaku.
"Proses konsultasi antara pemerintah dan DPR tentu memerlukan waktu. Jadi, meskipun secara konsep kebijakan penurunan tarif PPN dinilai penting untuk mendorong daya beli masyarakat, secara prosedural implementasinya tidak bisa dilakukan secara cepat karena terikat oleh ketentuan perundang-undangan," ujar Yusuf kepada Tirto.
Tarif PPN Indonesia Dibanding Negara Lain
Pun sebenarnya, lanjut Yusuf, jika dibandingkan dengan negara lain, posisi tarif PPN Indonesia tergolong moderat. Ada negara yang memiliki tarif PPN lebih tinggi, seperti Filipina, namun ada juga yang lebih rendah, seperti Thailand dan Malaysia.
"Saat ini, kebijakan penurunan tarif PPN juga menjadi langkah yang cukup umum di beberapa negara, terutama sebagai upaya untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi," ucap dia.
Meski demikian, perlu diingat bahwa setiap negara memiliki konteks dan kapasitas fiskal yang berbeda. Oleh karena itu, perbandingan tarif PPN antarnegara tidak bisa dilakukan secara langsung. Namun secara umum, menurunkan tarif PPN memang menjadi salah satu opsi kebijakan yang dapat ditempuh pemerintah untuk mendorong perekonomian dalam jangka pendek.
Sementara itu, Syafruddin menambahkan, posisi PPN Indonesia sebenarnya relatif 'menengah' dalam peta regional–global. Efektif 11 persen untuk penyerahan non mewah menempatkan Indonesia di atas Thailand 7 persen (yang baru saja diperpanjang sampai 2026), di atas Singapura 9 persen, sejajar Filipina 12 persen, di bawah Jepang 10 persen, Australia 10 persen, dan Selandia Baru 15 persen. Sementara Uni Eropa mayoritas berada di kisaran 20 persen.
"Pelajarannya jelas: jaga kestabilan tarif dan kebijakan terarah untuk daya beli (seperti Thailand menjaga 7 persen dan Vietnam memangkas sementara ke 8 persen sampai akhir 2026) sekaligus pertahankan basis PPN yang luas demi kesinambungan fiskal," ucap dia.
Menurutnya, Indonesia saat ini sudah berada di jalur itu lewat skema selective 12 persen dan DPP 11/12. Penyempurnaan berikutnya sebaiknya fokus pada kepastian aturan, administrasi e-Faktur yang rapi, dan insentif yang presisi sasaran saat siklus melemah—bukan penurunan tarif umum yang berisiko menggerus penerimaan tanpa kepastian dampak ke konsumsi.
Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menambahkan kenaikan tarif PPN tidak bisa dilihat secara parsial tapi juga melihat kebijakan dari tarif PPh Badan. Sehingga jika mau bandingkan tarif PPN di Indonesia dengan negara ASEAN, maka perlu bandingkan juga penurunan besaran tarif PPh badan.
"Tak bisa bandingkan besaran tarif PPN antar negara ASEAN saja tapi juga cost berupa penurunan tarif PPh Badan yang pernah kita alami. Sayang sekali memang, pajak harus dikorbankan karena Indonesia tidak punya daya saing," jelas dia kepada Tirto.
Meski begitu, kata Fajry, jika memang Purbaya ingin turunkan tarif PPN silahkan saja selama feasible dari sudut pandang risiko fiskal. Ia mencontohkan Vietnam misalnya, ketika tarif PPN diturunkan maka perlu melakukan efisiensi dengan membubarkan banyak kementerian dan lembaga serta pemberhentian banyak aparatur negara.
"Tapi kalau Pak Purbaya punya perhitungan yang berbeda, silahkan saja turunkan tarif PPN," pungkas dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Hendra Friana
Masuk tirto.id







































