Menuju konten utama
Pandemi COVID-19

Menakar Dampak Melonjaknya COVID-19 di India bagi Ekonomi Indonesia

Kasus COVID-19 di India melonjak drastis. Selain embargo vaksin, bagaimana dampaknya bagi ekonomi Indonesia?

Menakar Dampak Melonjaknya COVID-19 di India bagi Ekonomi Indonesia
Kremasi masal bagi korban terinfeksi virus corona (COVID-19) dilaksanakan di sebuah krematorium di New Delhi, India, Kamis (22/4/2021). Gambar diambil dengan Drone. ANTARA FOTO/REUTERS/Danish Siddiqui/FOC/djo

tirto.id - Penularan kasus COVID-19 di India melonjak drastis. Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan setempat lebih dari 310.000 kasus infeksi baru terjadi pada Kamis, 22 April 2021. Angka penularan itu mencetak rekor sebagai angka penularan terparah. Sebelumnya rekor ini pernah terjadi di Amerika Serikat dengan angka penularan 300.669 kasus yang terjadi pada 8 Januari 2021.

Saking parahnya, hampir semua rumah sakit yang ada di India kekurangan pasokan oksigen dan mobil ambulans berbaris di luar rumah sakit karena tidak ada ventilator untuk pasien baru. Angka kematian akibat COVID-19 pun mulai meningkat drastis. Kamis lalu, pemerintah India mencatat 2.104 kematian, dan rata-rata lebih dari 1.600 orang telah meninggal setiap hari selama seminggu terakhir.

Kondisi tersebut sedikit banyak berpengaruh terhadap Indonesia. Dampak yang paling pertama yang dirasa adalah embargo 10 juta vaksin gratis untuk Indonesia yang diproduksi India. Indonesia kehilangan jutaan dosis vaksin gratis jenis AstraZeneca dari kerja sama multilateral Aliansi Global untuk Vaksin dan Imunisasi (GAVI). Dari 11,7 juta vaksin AstraZeneca yang dijanjikan GAVI, Indonesia kemungkinan besar hanya mendapatkan 1,3 hingga 1,4 juta.

Dampak tersebut hanya awal dari memburuknya penanganan COVID-19 di India terdapat Indonesia. Ekonom dari Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menjelaskan dampak lain yang lebih serius bisa terasa pada ekonomi RI. Mengingat India adalah salah satu negara terbesar dalam tujuan ekspor minyak sawit asal Indonesia.

“CPO kita signifikkan dalam beberapa tahun terkahir. Kita surplus terus dengan dia [India] karena impor CPO dialihkan dari Malaysia ke Indonesia,” kata Fithra kepada reporyet Tirto, Jumat (23/4/2021).

Selain sawit, Fithra bilang India menjadi salah satu negara tujuan ekspor batu bara. Namun, jumlahnya tidak sebesar ke Cina, Jepang dan Korea Selatan. “Kalau terjadi shock dari sisi ekspor, hanya akan pengaruhi 2-3% penurunan ekspor kita. Karena masih bisa dikompensasi bagian timur dan barat,” kata dia.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) India konsisten menempati posisi kedua sebagai importir terbesar batu bara dan CPO. Pada 2020, Cina masih menempati urutan pertama sebagai negara tujuan ekspor Indonesia, yaitu sebesar, 22,32 juta ton, kemudian India 23,24 juta ton, Pakistan 9,4 juta ton, lalu Malaysia 5,96 juta ton.

Untuk batu bara, pada 2020 Cina masih menjadi importir urutan pertama dengan total 542,32 juta ton. Kemudian India 432,70 juta ton, Jepang 136,76 juta ton, dan Malaysia 109,70 juta ton.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan, melihat kondisi itu dampak melonjaknya COVID-19 di India ke ekonomi RI tak terelakkan lagi. Sebab, kata dia, "India juga menjadi hub. CPO kita yang diekspor ke India dan di India itu mengolahnya menjadi makanan minuman kosmetik dan prodak turunan CPO lain,” kata Bhima kepada Tirto, Jumat (23/4/2021).

Ia menjelaskan jika konsumsi dan produksi dengan bahan dasar CPO bermasalah, maka penyerapan sawit Indonesia pun akan tersendat. Hal ini yang kemungkinan akan terjadi jika penanganan wabah di India semakin tak terkendali.

“Ini akan kelihatan 1-2 bulan ke depan, ini bisa berdampak ke kinerja ekspor sawit kita yang menurun padahal sekarang harga sawitnya sedang bagus,” terang dia.

Bhima menjelaskan, permasalahan ini harus diatasi segera, yaitu dengan mencari negara tujuan ekspor baru untuk komoditas CPO dan batu bara.

“Tentunya penetrasi ekspor khususnya ke Cina ini harus ditambah karena sekarang ini momentumnya memang Cina sedang tinggi. Tapi jangan lupa bahwa CPO Indonesia juga harus bersaing dengan Malaysia sehingga kita harus cepat atau berkejaran dengan CPO dan minyak nabati lainnya untuk penetrasi ke Cina,” kata dia.

Dari sisi impor, sebenarnya India tak punya peran penting ke Indonesia. Namun perlu diwaspadai kemungkinan akan ada kenaikan beberapa komoditas seperti bawang bombai, daging sapi dan kerbau berpotensi bermasalah. Berdasarkan data BPS, impor daging Indonesia selama Januari-Maret 2021, India menempati posisi kedua tertinggi asal impor daging RI.

Urutannya yaitu, Australia sebanyak 19.291 ton, India 7.112 ton, AS 1.495 ton, Selandia Baru 2.273 ton, dan Spanyol 659 ton. Selain itu, Indonesia juga masih impor obat dari india. Dari 95% bahan baku obat yang masih impor, India menyumbang sekitar 30 persennya.

Berdasarkan laporan BKPM "Peluang Investasi Sektor Industri Bahan Baku Obat di Indonesia" 2016 [PDF], Indonesia mengimpor bahan baku obat terbanyak dari Tiongkok, India, dan kawasan Eropa. Tiongkok masih menjadi negara sumber pemasok terbesar kebutuhan bahan baku obat Indonesia, yakni sekitar Rp 6,84 triliun atau sekitar 60%, India di posisi kedua Rp 3,42 triliun atau sekitar 30%, dan Eropa Rp 1,4 triliun atau sekitar 10%.

Namun dari kuota impor tersebut kontribusi India cenderung kecil hanya 3,83% dengan nilai $1,4 miliar di periode Januari-Maret 2021 sehingga korelasi ekonominya rendah.

Baca juga artikel terkait VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah & Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah & Vincent Fabian Thomas
Penulis: Selfie Miftahul Jannah & Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz