tirto.id - Badan Karantina Pertanian (BKP) Kementerian Pertanian RI memusnahkan 4 kontainer jahe dengan berat 108 ton. Komoditas tersebut merupakan barang impor yang berasal dari Myanmar dan Vietnam yang masuk lewat Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Pemusnahan jahe dilakukan karena komoditas itu tidak memenuhi syarat karantina; terkontaminasi tanah yang berpotensi membawa penyakit.
Pemusnahan dilakukan sesuai aturan Kepala Pusat Karantina Tumbuhan dan Keamanan Hayati Nabati Nomor: B-22322/KR.020/K.3/ 12/2019 Phytosanitary Requirement Jahe Segar ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menyebutkan tidak boleh ada tanah dalam media pembawa. Juga tidak terpenuhinya persyaratan pada Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 25 Tahun 2020, yang membahas hal serupa.
Berdasarkan data Kementan, masih ada 11 kontainer jahe impor asal India dan Myanmar yang belum dimusnahkan. Jahe impor tersebut milik beberapa perusahaan, dengan rincian PT Indopak Trading sebanyak sembilan kontainer dengan volume sekitar 234 ton, PT Mahan Indo Global memiliki satu kontainer dengan volume 27 ton dan CV Putra Jaya Abadi miliki satu kontainer dengan volume 27,9 ton.
Pembahasan ini sempat ramai sampai Komisi IV DPR RI membuat agenda khusus untuk memanggil langsung para importir jahe. Namun, dari tiga undangan yang dikirim kepada direktur perusahaan, hanya satu direktur yang ikut dalam rapat, yaitu Direktur Utama Mahan Indo Global Jaiprakash Soni.
Dalam pembahasan dengan DPR, Jaiprakash menjelaskan alasannya memiliki jahe impor yang masih terbungkus tanah. Ia menyebut rasa dan aroma jahe akan rusak jika komoditas tersebut terlebih dahulu disterilkan.
“Informasi dari [penyuplai jahe lokal di] Probolinggo, kalau jahe dicuci itu tidak laku atau cepat rusak, dan bisa cek kalau di setiap rumah, jahe yang dicuci lalu taruh kulkas itu beberapa hari atau minggu pasti berjamur atau rusak,” kata dia dalam sidang Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi IV DPR RI, di Senayan, Jakarta Selatan, Rabu (31/3/2021).
Jaiprakash mengaku setelah 12 tahun melakukan ekspor ke Bangladesh, baru pada 2020 saja ia tidak mengirimkan jahe karena kebutuhan di dalam negeri selama pandemi tinggi.
“Jadi saya merasa ini peraturannya sedikit kurang jelas, tahun kemarin bisa, kok tahun ini mulai enggak bisa. Apakah memang ada perubahan aturan sejak Januari ini. Jadi yang rugi itu kami, perusahaan, kami yang kena. Saya kerja sesuai peraturan pemerintah dan ini pertama kalinya saya impor,” kata dia.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Komisi IV DPR RI Sudin menegaskan bahwa barang impor dari komoditas pertanian yang datang ke Indonesia memang harus dalam kondisi steril. Tidak ada perubahan aturan yang memperbolehkan komoditas pertanian yang masih kotor bisa diterima.
“Tahun lalu kalau masih boleh [kirim jahe impor yang masih bertanah] badan karantinanya enggak bener itu. Boleh impor jahe ke Indonesia, tapi dengan ketentuan tidak boleh ada tanah sedikit pun, harus bersih. Karena kalau ada tanah itu bisa potensi bawa penyakit,” kata dia.
Merusak Harga Dalam Negeri
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor jahe meningkat tajam dalam dua tahun terakhir. Pada 2019, impor jahe mencapai 21.782 ton sedangkan pada 2020 mencapai 19.252 ton. Sebagai pembanding, impor jahe pada 2018 hanya 3.886 ton dan selama 2017 hanya 53 ton. Jahe impor yang dikirim ke Indonesia didominasi berasal dari Vietnam, Thailand, Cina, dan Myanmar.
Peningkatan impor dalam dua tahun terakhir langsung memukul jumlah produksi jahe nasional--sampai turun 50 persen. Berdasarkan data Kementan, produksi jahe selama 2019 hanya 174.380 ton, sementara 2018 masih 207.411 ton. Kemudian pada 2017 mencapai 216.586 ton dan pada 2016 mencapai 340.345 ton serta pada 2015 di angka 313.064 ton.
Menanggapi derasnya impor jahe masuk ke Indonesia dalam dua tahun terakhir, Ketua Asosiasi Petani Jahe Organik (Astajo) Kabul Indarto mengatakan,hampir semua petani sudah mengganti jenis komoditas tanam yang tadinya jahe menjadi porang.
“Maaf sekarang ganti porang. Mau ekspor porang saja. Enggak ada [petani jahe], ganti tanam porang semua,” kata dia saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (1/4/2021).
Kabul menjelaskan ia sudah berhenti menanam jahe sejak 2016 dengan alasan tidak adanya pembeli. “Kami kesulitan menjual [jahe]. Jadi kami putuskan untuk tidak menanam lagi, hanya sebatas tumpang sari tanam sedikit saja karena jahe petani Rp6.500/kg sedangkan jahe impor dari Cina dulu [2018] Rp3.500/kg,” terang dia.
Harga jahe impor yang jauh lebih murah langsung merusak harga di pasaran, sehingga petani jahe lokal kehilangan pembeli. “Ya karena harga [jahe] impornya lebih murah,” terang dia.
Produksi Jahe Lokal Cukup untuk Penuhi Konsumsi
Permasalahan harga jahe impor yang merusak tata niaga pertanian lokal menimbulkan pertanyaan: sebenarnya seberapa besar konsumsi jahe masyarakat Indonesia?
Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian Prihasto Setyanto menjelaskan produksi jahe nasional sejak 2019 mencapai 174.000 ton kemudian produksi lokal naik pada 2020 menjadi 183.000 ton.
Kebutuhan jahe di dalam negeri beragam, mulai dari konsumsi rumah tangga, produksi jamu gendong, bahan baku industri obat tradisional, bahan baku industri ekstrak bahan alami, sampai jadi bahan baku usaha kecil dan usaha mikro obat tradisional.
“Kurang lebih sekitar 34.000-38.000 ton per tahun,” kata dia dalam RDP dengan Komisi IV DPR RI, Rabu.
Jika konsumsinya hanya 38.000 ton/tahun, artinya Indonesia masih surplus 145.000 ton jahe lokal pada 2020. Dalam penjelasannya, Prihasto pun mencatat selama 2019 Indonesia melakukan ekspor sebesar 4.000 ton, dan pada 2020 juga melakukan ekspor 2.188 ton.
“Sehingga secara neraca kebutuhan jahe nasional sebetulnya dari dalam negeri sudah cukup. Kita bahkan masih surplus. Prognosa di 2021, ini kurang lebih masih surplus 10.100 ton untuk jahe,” terang dia.
Setelah memiliki data tersebut, pihaknya mengklaim sudah menulis surat ke Kementerian Perdagangan agar jahe masuk ke daftar larangan impor terbatas.
“Kami sudah menyampaikan data ini ke Kemendag, karena jahe tidak masuk kelompok kategori larangan terbatas yang diatur rekomendasinya melalui RIPH. Tapi kami sudah memohon kepada Kemendag untuk mempertimbangkan kembali perizinan impornya terkait jahe, kami sudah menulis surat ke Kemendag,” jelas dia.
Menanggapi adanya anomali impor di tengah surplusnya produksi jahe nasional, Dwi Andreas, guru besar Ilmu Pertanian IPB University, menjelaskan Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Perdagangan harus menerapkan ketentuan tarif jahe impor agar harganya tidak jauh berbeda dengan produksi jahe lokal.
“Impor itu menggiurkan. Jangan larangan kuota, terapkan saja tarif sehingga nanti tarif jahe impor itu mendekati harga jahe yang diproduksi oleh petani Indonesia. Sehingga yang paling bisa dilakukan adalah ketentuan tarif, kalau misalnya larangan terbatas emang Indonesia berani, orang di WTO aja kalah terus,” kata dia kepada reporter Tirto, Kamis (1/4/2021).
Dwi Andreas menjelaskan kasus impor jahe yang saat ini terjadi hanya permulaan sebelum Indonesia nantinya akan ketergantungan impor. “Kasus jahe ini sama, seperti kasus kedelai, gula, bawang putih. Akhirnya apa, kita bisa ketergantungan impor pangan,” tandas dia.
Penulis: Vincent Fabian Thomas & Selfie Miftahul Jannah
Editor: Maya Saputri