tirto.id - Rupiah melemah, IHSG rontok, sampai imbal hasil surat utang meningkat menjadi gambaran sektor keuangan Indonesia setidaknya dalam beberapa pekan terakhir. Sedikit-banyak hal ini disebabkan oleh efek pemulihan ekonomi Amerika Serikat yang bermula dari stimulus jumbo senilai 1,9 triliun dolar AS atau Rp27 kuadriliun dari pemerintahan Joe Biden.
Stimulus ini menyebabkan peningkatan kebutuhan pinjaman dan utang AS yang berdampak pada kenaikan imbal hasil US Treasury. Efeknya, banyak pelaku pasar meninggalkan Indonesia dan negara lain untuk memindahkan modalnya ke AS. Ini mengulang kejadian tahun 2013 yang dikenal dengan sebutan 'taper tantrum'.
Di Indonesia, efek 'new taper tantrum' mulai terasa. Sebut saja IHSG yang tercatat terus turun hingga di kisaran 5.980,22 pada Senin (5/4/2021), padahal sempat membaik hingga mencapai nilai tertinggi di kisaran 6.400 pada Januari.
Bank Indonesia mencatat nilai tukar juga bergerak melemah hingga menyentuh kisaran Rp14.533/dolar AS per Senin (5/4/2021) alias hampir setara nilai tukar pada posisi 2 Juli 2020 di kisaran Rp14.566/dolar AS. Angka itu memburuk dari posisi Rp13.903/dolar AS (4 Januari 2021), Rp14.042/dolar AS (1 Februari 2021), Rp14.300/dolar AS (1 Maret 2021).
Imbal hasil atau yield surat utang pemerintah jangka waktu 10 tahun juga ikut terpuruk. World Government Bonds mencatat yield memburuk dari 5,97% (29 Desember 2020) menjadi 6,31% (31 Januari 2021), 6,67% (28 Februari 2021), dan 6,88% (31 Maret 2021).
Peneliti ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan menilai gejolak ini punya efek pada sektor riil. “Kalau ada gejolak seperti ini akan memengaruhi kemampuan perusahaan untuk impor dan membayar utang,” ucap Manap kepada reporter Tirto, Selasa (6/4/2021).
Pelemahan nilai tukar dapat berdampak cicilan utang swasta semakin mahal sehingga akan memengaruhi kemampuan membayar. Pelemahan nilai tukar juga berefek pada semakin mahalnya barang impor dan itu dapat mengganggu gerak industri di Indonesia lantaran 75% bahan baku diperoleh dari impor. Hal ini dapat menghambat pemulihan ekonomi yang masih belia.
Cadangan devisa Indonesia untuk menahan efek dari gejolak ini cukup terbatas. Data cadev BI senilai 138,8 miliar dolar AS per Februari 2021 hanya memperhitungkan utang pemerintah saja dan tidak mencakup utang swasta seperti negara lain. Kenaikan cadangan devisa yang baru-baru ini terjadi juga lebih banyak dipengaruhi oleh penarikan utang pemerintah, padahal idealnya diperoleh dari surplus seperti perdagangan. Alhasil, kemampuan stabilisasi cukup terbatas dibanding negara lain.
Ekonom Trimegah Fakhrul Fulfian memprediksi efek negatif ini hanya sementara dan hanya terjadi selama periode awal stimulus AS. Dalam jangka panjang, ia melihat ada peluang keadaan dapat segera berbalik dan menguntungkan Indonesia, juga negara lain. Pasalnya stimulus AS diprediksi akan menyebabkan peningkatan current account deficit (CAD) AS. Logikanya, ketika AS mengalami defisit transaksi berjalan, maka terjadi surplus di negara lain yang berhubungan dengan AS.
“Kalau defisit di AS melebar, pasti ada yang surplus. Ini yang kita tunggu, Indonesia bisa jadi salah satunya,” ucap Fakhrul kepada reporter Tirto, Selasa.
Efek dari peningkatan CAD AS menurutnya akan berdampak pada penguatan rupiah di semester II 2021. Tren ini menurutnya akan diikuti juga oleh perbaikan aliran modal asing di saham dan surat utang Indonesia sehingga akan memicu perbaikan IHSG dan penurunan imbal hasil surat utang 10 tahun pemerintah.
Kehadiran stimulus ini menurutnya juga punya dampak positif lantaran akan memicu pemulihan di ekonomi AS yang diharapkan dapat memicu pemulihan di negara lain. Hal ini menurutnya akan berdampak pada kenaikan harga komoditas yang akan sangat menguntungkan Indonesia dan nilai tukar.
Meski demikian, seberapa besar efek positif pada Indonesia akan sangat bergantung pada kebijakan pemerintah Indonesia dalam menjaga pemulihan ekonomi di dalam negeri. Ia bilang, pemerintah juga harus bersiap meningkatkan ekspektasi pelaku pasar pada pemulihan ekonomi terutama pasca COVID-19.
Menteri Keuangan Sri Mulyani, dalam webinar Fitch on Indonesia 2021: Navigating a Post-Pandemic World, Rabu (24/3/2021), cukup percaya diri bahwa Indonesia bisa menghadapi efek new taper tantrum. Sri Mulyani bilang saat ini posisi Indonesia jauh lebih baik. Pada 2013, Indonesia masuk negara paling rentan atau The Fragile Five bersama Brasil, India, Afrika Selatan, dan Turki. Penyebabnya kelima negara itu memiliki posisi defisit transaksi berjalan yang sangat dalam sehingga rentan pada gejolak arus modal asing dan nilai tukar.
Berbeda dengan saat ini, per Q3 2020 BI mencatat transaksi berjalan mengalami surplus 1 miliar dolar AS, lebih baik dari posisi Q3 2013 defisit 8,4 miliar dolar AS maupun Q2 2013 yang sempat mencapai defisit 10 miliar dolar AS. Dari posisi ini, Sri Mulyani yakin Indonesia tak lagi digolongkan rentan.
“Kami akan terus meningkatkan fundamental, jadi ketika terjadi limpahan dampak itu, tidak akan melukai maupun mengikis perekonomian,” ucap Sri Mulyani.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino