tirto.id - Apa iya, laki-laki cenderung menikahi perempuan dengan status sosial dan kondisi ekonomi di bawahnya?
Kalau begitu, apa artinya perempuan lebih memilih laki-laki yang statusnya lebih tinggi?
Sekian waktu belakangan, pertanyaan tersebut menjadi perdebatan hangat di media sosial. Padahal, dalam perjalanannya, realitas tentang “men marry down” dan “women marry up” terus mengalami evolusi.
Yue Qian dalam artikel berjudul "Apakah kecerdasan dan kesuksesan mengurangi prospek menikah?" di The Conversation menemukan bahwa faktor sosial dan norma yang berlaku di suatu wilayah berperan penting dalam keputusan individu menikahi seseorang.
Faktor-faktor di atas malah menegaskan bahwa “men marry down” atau “women marry up” bukanlah suatu ketentuan atau rumus baku.
Di beberapa negara, tren pernikahan justru bisa berkebalikan satu sama lain.
Di Amerika Serikat, fenomena perempuan dengan pendidikan tinggi menikahi laki-laki dengan pendidikan lebih rendah mulai meningkat beberapa tahun belakangan.
"Penjelasannya cukup sederhana: dengan lebih sedikit laki-laki berpendidikan tinggi, perempuan berpendidikan tinggi pasti menikahi lelaki tanpa gelar. Bukti bahwa maraknya hipogami sebagian besar merupakan respons terhadap kendala demografis alih-alih bentuk dari pemberdayaan ekonomi perempuan, meningkatnya pertemuan kencan daring, atau pergeseran preferensi. Hal ini sudah ditemukan di banyak negara," bunyi temuan Chambers dkk dikutip dari The Atlantic.
Penjabaran Clara patut digarisbawahi karena ini menunjukkan bahwa pasangan di beberapa negara lebih adaptif dan fleksibel memilih pasangan, terutama di AS.
Namun kejadian serupa tidak terjadi di Cina yang memopulerkan istilah merendahkan “perempuan sisa” atau sheng nu.
Perempuan sisa merujuk pada mereka yang berusia 27 tahun atau lebih dengan tingkat pendidikan tinggi, memiliki pekerjaan, tinggal di daerah urban, tetapi tidak kunjung menikah.
Menurut Jing You dalam artikel "Love, life, and 'letfover ladies' in urban China" (2021), istilah ini dipopulerkan oleh All-China Women's Federation, sebuah organisasi massa yang disokong oleh otoritas pemerintah, pada 2007.
Pertama kali muncul secara tertulis dalam National Marriage Survey 2010, “perempuan sisa” lantas ramai-ramai digunakan oleh media massa untuk merendahkan perempuan lajang.
Hal yang sama lantas diikuti oleh acara-acara TV demi mengejar rating.
Secara tidak langsung, penggunaan istilah sheng nu yang meluas turut berperan dalam mendorong, jika bukan menekan, para perempuan di Cina untuk menikah lebih dini atau lebih aktif di marriage market.
Di sisi lain, laki-laki di sana juga enggan untuk menikahi perempuan dengan pendidikan maupun posisi ekonomi lebih tinggi.
Inilah yang dikhawatirkan oleh pemerintah Cina karena jika tren terus berlanjut, imbasnya adalah angka kelahiran bakal terus menurun.
Situasi ini menambah tekanan berlipat bagi perempuan, seperti ditulis Shiyu Zheng dan Min Xu dalam “From Leftover Women to Cuihun.” (2021). Padahal, tidak sedikit perempuan Cina yang dengan kesadaran penuh menolak untuk menikah dan lebih memilih mengejar karier maupun pendidikan.
Ternyata bukan hal mudah bagi generasi baru Cina untuk menantang konsepsi pernikahan tradisional.
Bukti lain bahwa "men marry down" dan "women marry up" bukan formula kaku juga terlihat melalui fenomena yang ada di Inggris dan Wales.
Justru yang jamak muncul adalah adanya kesamaan latar belakang keluarga dan status sosial dari pasangan di kedua negara.
Bagaimana dengan situasinya di Indonesia?
Ariane J. Utomo pernah melakukan penelitian menarik di artikel “Marrying Up? Trends in Age and Education Gaps Among Married Couples in Indonesia” (2014).
Dalam rentang tahun 1980-an hingga 2010, tidak hanya usia pasangan yang semakin dekat, ternyata kecenderungan perempuan menikah dengan laki-laki berpendidikan di atasnya mengalami penurunan.
Sepanjang periode 1982-2010, proporsi pasangan yang istrinya mengenyam pendidikan tinggi daripada suaminya naik dari 10 persen ke angka 19 persen.
“Marrying up” yang berkaitan dengan tingkat pendidikan ternyata mulai mengalami pergeseran signifikan di Indonesia.
Ya, meski “men marry down” dan “women marry up” sepintas terkesan seperti formula paling "mudah" untuk merujuk pada sejumlah realitas pernikahan di era modern yang semakin kapitalis ini, tentu saja ada segudang faktor unik yang saling berkelindan di baliknya.
Tidak sekadar dipengaruhi oleh budaya, perubahan sosial-ekonomi, atau demografi, menikah juga terkait dengan cara pandang antargenerasi yang cenderung dinamis.
Pada akhirnya, pernikahan adalah keputusan sarat nuansa yang terjadi antara kedua belah pihak setelah melalui berbagai pertimbangan dan juga kesesuaian.
Penulis: Erika Rizqi
Editor: Sekar Kinasih
Masuk tirto.id







































