tirto.id - Beberapa tahun silam, saya sempat mengenal seorang perempuan asal Cina yang tengah menempuh pendidikan doktor di bidang biomedis. Satu waktu, ia menggerutu tentang anekdot seksis dari tanah airnya. “Menurut guyonan itu, ada tiga ‘gender’ di Cina,” ucapnya dengan getir, “mereka adalah kaum laki-laki, perempuan, dan perempuan dengan gelar S-3.”
Kategorisasi tersebut sudah tentu merupakan penghinaan. Perempuan berpendidikan tinggi dianggap sebagai makhluk liyan atau alien yang kerap diasosiasikan dengan sifat egois, ambisius, gila kerja, kaku, berpenampilan tidak atraktif, sulit menjalin relasi romantis bahkan aseksual, dan sebagainya.
Jumlah perempuan berpendidikan tinggi di Cina cenderung meningkat dalam satu dekade terakhir. Pada 2020 terdapat 1,6 juta mahasiswa—mencakup 50,9 persen dari total mahasiswa pascasarjana. Jumlahnya naik sekitar 3 persen sejak 2010.
Dilansir dari artikel Quartz, berbagai ejekan biasa disematkan kepada mereka. Misalnya “sheng nu” atau 'perempuan sisa'—karena belum menikah setelah melewati usia akhir 20-an. Sebutan lain misalnya “UFO”—singkatan dari ugly, foolish, old. Menurut situs tersebut, pernah ada kejadian seorang perekrut kerja laki-laki mengomentari seorang mahasiswi doktor seperti ini: “Penampilanmu enggak terlalu jelek kok meski kamu lagi ambil S-3.”
Agenda Pemberdayaan Era Mao
Ide-ide tentang feminisme dan perempuan berdaya di daratan Cina berkembang pesat sejak era pemimpin komunis Mao Zedong (1949-1976). Sebelum itu, dukungan terhadap hak-hak perempuan bisa dibilang nyaris tidak ada atau minimal sekali, papar Ashley Tan dalam studinya di Inquiries Journal (2021).
Emansipasi perempuan baru dibahas oleh kalangan intelektual Cina menjelang Gerakan 4 Mei pada 1919, yaitu perlawanan mahasiswa terhadap sikap lembek pemerintah pada otoritas Barat dan Jepang terkait kesepakatan damai pasca-Perang Dunia I. Protes tersebut merupakan bagian dari Gerakan Kebudayaan Baru yang menyerukan ide-ide anti-imperialis, progresif, dan modern sebagai pengganti konfusianisme yang merupakan ajaran atau ideologi tradisional.
Ketika itu konfusianisme mendominasi semua lanskap budaya dan sosiopolitik Cina. Di bidang gender, filsafat konfusius menitikberatkan peran yang berbeda antara laki-laki dan perempuan demi mewujudkan keluarga harmonis. Dalam hal ini ruang gerak perempuan dibatasi hanya di sektor domestik dan mereka harus selalu patuh pada bapak, suami, atau anak laki-laki. Konfusianisme bahkan menciptakan standar kecantikan melalui ritual menyakitkan ikat kaki. Hal ini menormalisasi praktik-praktik hierarkis yang melanggengkan posisi inferior perempuan.
Tan mengatakan Mao gencar mengkritik penindasan perempuan semacam itu, termasuk sistem perjodohan yang menurutnya “memalukan”.
Setelah berkuasa, Mao merealisasikan kritiknya itu lewat sejumlah kebijakan progresif. Konstitusi Cina yang pertama, diterapkan sejak 1954, misalnya, menyatakan dengan jelas bahwa perempuan punya “hak-hak sama dengan laki-laki di semua lini kehidupan, politik, ekonomi, budaya dan sosial, serta kehidupan keluarga.”
Kemudian, hanya setahun setelah rezim komunis berdiri, pemerintah juga meloloskan Undang-undang Perkawinan yang dibangga-banggakan sebagai pencapaian dari “usaha [...] sejak dekade 1930-an untuk memberikan perempuan lebih banyak kebebasan dan otonomi dalam pernikahan dan perceraian, sekaligus menghapus praktik-praktik ‘feodal’.”
Praktik poligami atau menjadikan perempuan sebagai selir pun dilarang—dan perempuan kian didorong untuk terlibat dalam pembangunan ekonomi.
Semakin populer pula slogan-slogan pro-perempuan yang diambil dari petikan pidato Mao, misalnya: “Apa pun yang bisa dicapai kamerad laki-laki, juga bisa diraih oleh kamerad perempuan,” atau “Perempuan menyangga separuh langit.”
Upaya pemerintah komunis untuk membuat perempuan berdaya seiring sejalan dengan kebutuhan mereka terhadap banyak tenaga kerja untuk membangun industri nasional, terutama mengolah lahan-lahan pertanian negara yang sebelumnya terabaikan. Maka lahirlah propaganda untuk menampilkan keperkasaan perempuan melalui pekerjaan yang maskulin melalui figur perempuan pengendara traktor atau nü tuolajishou.
Daisy Yan Du di jurnalModern Chinese Literature and Culture (2017) mencatat, gambar dan foto perempuan pengendara traktor tak hanya dicetak di majalah, koran, atau dokumen pemerintah, namun juga dikembangkan jadi tokoh-tokoh fiksi dalam karya sastra sampai film—sampai-sampai terkadang sulit membedakan mana tokoh asli mana yang fiktif.
Figur perempuan traktor bahkan diabadikan dalam mata uang satu yuan tahun 1962. Mereka kelak jadi ikon populer yang menyimbolkan prestasi dari modernitas sosialisme, tak hanya dalam ranah kesetaraan gender tapi juga kemajuan teknologi (traktor adalah cerminan mesin canggih untuk sektor pertanian).
Menurun Pasca Mao
Setelah era Mao, gelombang feminisne di Cina memasuki fase baru, tulis Zhongli Yu di Policy Forum. Kira-kira sejak dekade 1980-an sampai 1990-an, kalangan akademisi perempuan mulai menakhodai gerakan pemberdayaan. Namun, pada waktu yang sama, pada era ini juga terjadi kemunduran karena munculnya kembali antusiasme untuk mengglorifikasi “esensi wanita” dalam rangka mewujudkan harmoni antara laki-laki dan perempuan.
Bersamaan dengan itu, keseriusan pemerintah untuk memberdayakan dan membebaskan pilihan perempuan juga kian dipertanyakan. Kala itu, ketika Cina mulai membuka ekonomi dengan merengkuh pasar bebas, muncul kekhawatiran tentang laju pesat pertumbuhan penduduk. Solusinya, menurut pemerintahan Deng Xiaoping (berkuasa 1978-1992), tak lain dengan mengontrol tubuh perempuan melalui kebijakan satu anak.
Dipetik dari bukuBetraying Big Brother: The Feminist Awakening in China (2018) karya Leta Hong Fincher, program pembatasan anak sejak 1979 ini kelak membuat perempuan menghadapi praktik pemaksaan aborsi dan sterilisasi serta pemakaian alat kontrasepsi berskala besar.
Tahun 2015 atau lebih dari tiga dekade kemudian, pemerintah menyadari kebijakan di atas justru berdampak buruk karena populasi kian menua. Upaya untuk memperbaikinya pun akhirnya lagi-lagi dengan cara mengontrol tubuh perempuan. Sasaran utamanya adalah perempuan “berkualitas tinggi” yang relatif berpendidikan dari kawasan urban. Mereka didorong agar mau melahirkan dua anak. Citra keluarga bahagia dengan dua anak digencarkan lewat media secara agresif dan berbagai taktik propaganda lain.
Presiden Xi Jinping, yang berkuasa sejak 2012, sebenarnya pernah mengungkit agenda pemberdayaan perempuan dalam pertemuan UN Women tahun 2015 lalu. Xi menuturkan sejumlah komitmen pemerintahan untuk mendorong kesetaraan gender, dari mulai mendorong -perempuan berpartisipasi dalam pembangunan, melindungi hak-hak dan kepentingannya, serta menghapus kekerasan terhadap mereka. Ia juga mengajak publik “meninggalkan mentalitas dan adat-istiadat kolot yang menghambat perkembangan perempuan.”
Poin-poin tersebut mengesankan administrasi Xi punya pandangan progresif terkait perempuan modern Cina—yang lebih berani mengambil inisiatif alih-alih manut-manut saja dan yang terpenting menghasilkan uang sendiri. Namun demikian yang terjadi adalah sebaliknya. Kontrol terhadap tubuh perempuan hanya salah satu di antaranya.
Tingkat partisipasi kerja perempuan di Cina memang termasuk salah satu yang tertinggi di kawasan Asia-Pasifik. Namun angkanya turun sejak 1990 dari sekitar 75 persen jadi sekitar 60 persen pada 2019 (sedangkan laki-laki 75 persen).
Menurut tim peneliti dari think tank Peterson Institute for International Economics (PIIE), fenomena tersebut terjadi karena liberalisasi ekonomi yang dimulai pada 1978. Liberalisasi yang berkelindan dengan patriarki memandang perempuan hanya membantu mencari uang alias bukan tulang punggung keluarga. Akibatnya selisih upah mereka dengan pekerja laki-laki melebar. Fasilitas penitipan anak sokongan pemerintah yang berkurang juga disinyalir mendorong perempuan untuk bertahan mengasuh anak di rumah.
Ini belum termasuk maraknya pandangan-pandangan bias di dunia kerja tentang hak perempuan pekerja dan kepemimpinan mereka.
Memang betul ada tren kenaikan jumlah pegawai perempuan di lingkup Partai Komunis Cina, namun kisarannya masih sebatas 20 persen. Sementara jumlah perempuan di jabatan direktur atau setingkat pengawas stagnan di kisaran 30-an persen selama satu dekade terakhir.
Atas itu semua, Global Gender Gap Index dari World Economic Forum pada 2021 menempatkan Cina di peringkat ke-107 dari 156 negara. Indonesia sedikit lebih baik dengan berada di peringkat ke-101.
Gerakan Feminis Dilindas di Era #MeToo
Cina disapu gelombang feminisme baru memasuki abad ke-21. Masih melansir artikel Zhongli Yu di Policy Forum, tahun 2012-2015 kerap disebut sebagai “era milik kaum feminis muda” karena gencarnya kampanye mereka tentang isu kesetaraan, kekerasan dalam rumah tangga, dan pelecehan seksual. Mahasiswa dari Universitas Fudan di Shanghai juga rutin menyelenggarakan kegiatan pada Hari V—hari yang dirayakan setiap tahun sejak 2004 untuk mendukung gerakan melawan kekerasan terhadap perempuan.
Namun, seperti kontrol terhadap otoritas tubuh, gerakan-gerakan ini juga direpresi oleh pemerintah.
Contohnya terjadi hanya beberapa bulan sebelum Presiden Xi menyatakan komitmen mendukung pemberdayaan perempuan di forum UN Women pada 2015. Ketika itu lima aktivis muda yang dikenal sebagai Feminist Five ditahan polisi selama 37 hari. Alasannya hanya karena mereka berencana menempelkan stiker berisi pesan-pesan melawan pelecehan seksual di transportasi publik, dalam rangka menyambut International Women Day di kota-kota besar seperti Beijing, Guangzhou, dan Hangzhou.
Aktivis perempuan dan jurnalis Sophia Huang Xueqi yang ikut menginisiasi gerakan #MeToo di Cina juga pernah mengalami hal serupa, bahkan lebih parah. Pada musim panas 2021, ia dilaporkan hilang sebelum naik pesawat menuju Inggris untuk melanjutkan studi master yang disponsori beasiswa bergengsi Chevening. Investigasi oleh BBC mengungkap ia ditahan oleh pemerintah di kamar isolasi rahasia karena dituduh bertindak subversif atau menggerus kekuasaan negara.
Sebelumnya, pada pengujung 2019, Sophia juga sempat mendekam di ruang detensi selama tiga bulan gara-gara dianggap bikin gaduh: mengadakan survei tentang pelecehan seksual di industri media sampai menulis artikel tentang demonstrasi di Hong Kong.
Masih ada lagi sejumlah aktivis feminis atau pendukung gerakan buruh dan sipil yang ditahan karena menyuarakan aspirasinya.
Tahun lalu juga sempat marak berita tentang “hilangnya” atlet tenis Peng Shuai setelah mengaku dipaksa berhubungan seks dengan eks Wakil Perdana Menteri Zhang Gaoli. Meskipun Peng tidak menyebut pengalamannya sebagai pelecehan atau kejahatan seksual, kasusnya dianggap sudah mencerminkan penyalahgunaan kekuasaan.
Di dunia maya situasi tak lebih baik. Grup-grup feminis menghadapi ancaman sensor. Tahun lalu, sasaran blokir termasuk grup-grup yang aktif di Douban,situs review buku dan film yang juga berfungsi sebagai forum diskusi. Para pengikut grup feminis di sana diduga menganut pandangan 6B4T—yang mengadvokasikan ide-ide radikal seperti penolakan terhadap relasi heteroseksual, pernikahan, sampai pengasuhan anak. Ide-ide 6B4T juga disinyalir mendorong perempuan untuk menolak agama dan meninggalkan idola-idola pop.
Menurut Zhuoran Li and Jennifer Lee dalam artikel di The Diplomat, pemerintah Cina menerapkan strategi penindasan secara tidak langsung terhadap kaum feminis di forum daring. Caranya adalah dengan menstigma feminisme sebagai ancaman terhadap nasionalisme dan melabelinya “ekstrem”.
Organisasi perempuan bekingan pemerintah, All-China Women’s Association, menyebut feminisme sebagai “kekuatan jahat Barat” dan “senjata ideologis” untuk menggerus sistem politik Cina. Sementara sayap pemuda Partai Komunis Cina menyebut kritik yang mereka terima sebagai bagian dari “feminisme ekstrem” yang menjadi “kanker internet”. Mereka diprotes karena mengabaikan sumbangsih perempuan ketika merayakan kontribusi kaum muda CCP dalam unggahan di Weibo.
Menurut Li dan Lee, melalui stigmatisasi di atas pemerintah sudah membiarkan bahkan mendorong persekusi siber terhadap para pemilik akun feminis. Hal ini juga kerap dilakukan buzzer antifeminis yang sebagian disponsori pemerintah, “Partai 50-sen”. Mereka sering melontarkan kalimat-kalimat jorok, penuh ancaman, sampai men-doxing para feminis.
Editor: Rio Apinino