tirto.id - World Economic Forum (WEF) menyatakan bahwa proporsi perempuan yang bakal meraih peran menengah dan senior pada tahun 2020 akan meningkat hampir 10 persen. Namun, perubahan demografi dan sosio-ekonomi dari laju Revolusi Industri 4.0 (keempat) malah disebut sebagai mimpi buruk untuk pasar tenaga kerja, khususnya perempuan.
Tren otomatisasi pekerjaan cenderung akan menggilas kebutuhan jenis-jenis pekerjaan administratif. Padahal, pasar tenaga kerja seperti itu yang menyediakan lahan banyak bagi perempuan.
Laporan itu menyebut, “fakta bahwa perempuan secara relatif kurang terwakili dalam pekerjaan dengan pertumbuhan paling besar dalam lima tahun ke depan: seperti, komputer, matematika [..]”
Bagaimana dengan perempuan di Indonesia?
Peringkat 6 di ASEAN
Posisi Indonesia di antara negara ASEAN lainnya dapat dilihat dalam laporan The Global Gender Gap Report (PDF).
Dilansir WEF, pada 2017, Indonesia bertengger di peringkat enam dengan indeks sebesar 0,691. Indonesia kalah oleh Filipina yang berada di puncak dengan skor 0,790. Studi pembanding lain menyebut, capaian yang Filipina raih termasuk menonjol di Asia, selain Singapura.
Bahkan, Indonesia kalah oleh Laos dan Vietnam juga. Sementara di dunia, peringkat Indonesia berada di urutan 84 dari 144 negara. Pada penilaian tersebut, skor satu menandakan keadaan paritas atau kesetaraan, sementara skor terendah (0) menunjukkan ketidaksetaraan.
Meski masih kalah dari negara lain, indeks yang kini Indonesia capai adalah peningkatan. Dalam satu dekade, terlihat ada tren peningkatan indeks, dari 0,647 pada 2008 menjadi 0,661 pada 2013. Gap gender di Indonesia semakin berkurang sejak 2015, tapi pemenang tetaplah Filipina. Mengapa demikian?
Kalah Saing dari Filipina
Berdasarkan data empat sub-indeks, Filipina ternyata berhasil dalam capaian pendidikan. Nilainya bahkan sempurna: skor 1. Negara itu juga berhasil dalam indeks kesehatan dan keberlangsungan hidup, meski beda tipis dengan Indonesia: Filipina 0,979 dan Indonesia 0,976.
Pekerjaan rumah Indonesia terletak pada sub-indeks partisipasi dan peluang ekonomi. Ada rentang yang cukup besar antara nilai Indonesia dan Filipina-Indonesia sebesar 0,610 dan Filipina 0,764. Dengan kata lain, Filipina lebih berhasil dalam mendorong peran perempuan di sektor ekonomi.
Filipina juga ternyata punya skor yang lebih tinggi pada sub-indeks pemberdayaan politik. Apabila melihat tren peningkatannya, laju dua sub-indeks itu masih cenderung lambat. Sejak 2008 hingga 2017, skor sub-indeks partisipasi dan peluang ekonomi Indonesia hanya naik 0,039. Begitu pula pada sub-indeks pemberdayaan politik.
Persoalan TPAK Perempuan
Tidak adanya peningkatan pada sub-indeks partisipasi dan peluang ekonomi di Indonesia bermuara pada lemahnya posisi perempuan di pasar tenaga kerja. Data menunjukkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan atau persentase penduduk perempuan berusia lebih dari 15 tahun yang merupakan angkatan kerja cenderung ajek di rentang 50 persen.
Pada 2010 nilainya sebesar 51,76 persen, pada 2017 nilainya 50,89 persen. Padahal, jumlah penduduk perempuan berusia 15 tahun ke atas cenderung lebih banyak dibandingkan penduduk laki-laki di usia yang sama. Artinya, ada problem struktural yang membuat perempuan tidak bertumbuh di pasar tenaga kerja.
Studi berjudul “Women Career Advancement in Public Service: A Study in Indonesia” (2012) menjelaskan salah satu penyebabnya. Perempuan cenderung memilih untuk tetap dekat dengan rumah karena adanya tanggung jawab keluarga. Perempuan juga cenderung menolak pekerjaan jika pekerjaan tersebut akan menjauhkan mereka dari rumah.
Studi lain berjudul “Women’s Leadership in Indonesia: Current Discussion, Barriers, and Existing Stigma” (PDF, 2016), menyatakan adanya konsep kodrat mewujudkan harapan masyarakat bahwa perempuan mengasuh dan harus menjaga komitmen domestik sebelum terlibat dalam kegiatan lain.
Tidak hanya itu, persoalan lain terasa masih menjadi nasib tak berubah. Global Gender Gap Report merekam masih tingginya gap upah antar-gender di Indonesia. Tercatat pada 2017, estimasi penghasilan yang diperoleh laki-laki sebesar $15.536, sedangkan perempuan hanya $7.632.
Perempuan di Ruang Publik
Pada sub-indeks pemberdayaan politik, skor rendah terjadi lantaran minimnya keterwakilan perempuan di bursa politik Indonesia. Semenjak pemilu 1999 hingga 2014, jumlah perempuan anggota DPR RI belum mencapai angka 30 persen, padahal syarat keterwakilan perempuan itu sudah diatur dalam UU No.2 Tahun 2008.
Padahal potensi Indonesia sebenarnya besar. Persentase perempuan yang menempuh pendidikan sarjana di bidang sains melebihi laki-laki: perempuan 51 persen dan laki-laki 49 persen. Pada jenjang doktoral, porsi perempuan memang menciut, yakni 64 persen berbanding 36 persen. Artinya, potensi pelibatan perempuan dalam bidang Science, Technology, Engineering, and Mathematics (STEM) cukup besar.
Namun, beberapa problem struktural tampaknya perlu menjadi perhatian serius. Apakah kesempatan perubahan industri dapat membantu peran perempuan lebih fleksibel di pasar tenaga kerja Indonesia? Bisakah teknologi digital—yang memungkinkan pekerjaan dilakukan secara jarak jauh—mampu meringankan beban ganda perempuan, sebagai pengasuh dan pencari nafkah?
Pertanyaan-pertanyaan itu penting diajukan, mengingat studi McKinsey pada April 2018 menunjukkan adanya kaitan antara kesejahteraan dan kemajuan perempuan dalam dunia kerja dengan pembangunan ekonomi. Artinya, jika Indonesia ingin lebih sejahtera, tingkat kesetaraan atau paritas gender harus ditingkatkan.
Editor: Maulida Sri Handayani