tirto.id - Persoalan etimpangan gender tercermin jelas dalam rendahnya keterwakilan perempuan di struktur lembaga perwakilan Indonesia. Berdasarkan data Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035, dari total 261,9 juta penduduk Indonesia pada 2017, penduduk perempuannya berjumlah 130,3 juta jiwa atau sekitar 49,75 persen dari populasi. Sayangnya, besarnya populasi perempuan tersebut tidak terepresentasi dalam parlemen. Proporsi perempuan di kursi DPR jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan proporsi laki-laki.
Salah satu upaya untuk meningkatkan peran perempuan sudah dilakukan dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin peningkatan keterwakilan perempuan di kursi DPR. Peraturan ini dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang di dalamnya juga mengatur pemilu tahun 2009.
UU No. 2 Tahun 2008 memuat kebijakan yang mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat. Angka ini didapat berdasarkan penelitian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyatakan bahwa jumlah minimum 30 persen memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga-lembaga publik.
Kemudian, dalam UU No. 10 Tahun 2008 ditegaskan bahwa partai politik baru dapat mengikuti setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat.
Peraturan lainnya adalah dengan menerapkan zipper system yang mengatur bahwa setiap 3 bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang perempuan. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 55 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008. Kedua kebijakan ini bertujuan untuk menghindari dominasi dari salah satu jenis kelamin dalam lembaga-lembaga politik yang merumuskan kebijakan publik.
Di tingkat ASEAN, bersumber dari Inter-Parliamentary Union (IPU), dalam kategori Majelis Rendah, Indonesia menempati peringkat keenam terkait keterwakilan perempuan dalam parlemen. Proporsi perempuan yang berada di parlemen Indonesia berada di bawah 20 persen, tepatnya 19,8 persen.
Peringkat pertama diperoleh Filipina dengan angka sebesar 29,5 persen atau berjumlah 86 perempuan dari total 292 kursi. Di posisi kedua adalah Laos, sebesar 26,7 persen atau 41 perempuan dari 149 kursi di parlemen. Sedangkan, tempat ketiga diduduki oleh Vietnam dengan 26,7 persen perempuan dalam parlemen atau 132 kursi dari 494 total anggota parlemen.
Bila dibandingkan dengan rata-rata dunia, proporsi wanita dalam parlemen di Indonesia masih jauh di bawahnya. Rata-rata dunia sebesar 23,6 persen wanita yang menduduki kursi di parlemen. Sedangkan, bila dibandingkan dengan negara Asia maupun ASEAN, posisi Indonesia berada di atasnya. Rata-rata proporsi perempuan dalam parlemen di negara Asia dan ASEAN masing-masing sebesar 19,7 persen dan 18,2 persen.
Semenjak pemilu 1999 hingga 2014, jumlah perempuan yang menjadi anggota DPR RI belum mencapai angka 30 persen. Namun, atas pengaruh kebijakan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, proporsi keterwakilan perempuan di DPR menunjukkan tren meningkat.
Pada pemilu 1999, jumlah perempuan yang menduduki kursi di DPR sebanyak 44 orang atau 8,8 persen. Proporsi ini meningkat 47,7 persen menjadi 65 orang pada pemilu 2004 atau mendapatkan porsi sebesar 11,82 persen di DPR. Pada empat periode pemilu terakhir, keterwakilan perempuan tertinggi pada pemilu 2009, dengan proporsi sebesar 17,86 persen. Sayangnya, pada periode 2014-2019, jumlah perempuan yang menjadi anggota DPR turun menjadi sebanyak 97 orang atau 17,32 persen dari total anggota DPR RI yang berjumlah 560 orang.
Bila ditelisik lebih dalam, setiap partai pemenang pemilu akan memiliki anggota DPR perempuan dengan jumlah lebih banyak dibandingkan partai lainnya. Pada pemilu 2009 yang dimenangkan oleh Partai Demokrat, jumlah anggota DPR perempuan yang berasal dari partai ini berjumlah 35 orang, sedangkan partai lainnya hanya berjumlah kurang dari 20 orang. Sementara pada periode 2014-2019, anggota DPR terbanyak berasal dari partai PDIP dengan jumlah 21 orang.
Di sisi lain, anggota DPR perempuan dengan jumlah paling sedikit selama dua periode tersebut berasal dari PKS. Pada 2009-2014, keterwakilan perempuan dari partai ini hanya 5,26 persen terhadap jumlah anggota DPR dari PKS. Sedangkan, periode 2014-2019, keterwakilan perempuan menurun menjadi 2,5 persen terhadap jumlah anggota PKS yang duduk di DPR.
Adanya penurunan jumlah perempuan di parlemen ini mungkin sekali terjadi karena adanya hambatan yang dialami calon legislatif perempuan dalam menjalankan pemilu. Hambatan tersebut misalnya masih kentalnya budaya patriarki yang seringkali mendiskriminasi perempuan, adanya beban berlapis yang ditanggung oleh perempuan di ruang privat dan ruang publik, dan adanya anggapan bahwa pendidikan dan kemampuan politik perempuan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki.
Masih kurangnya representasi perempuan dalam parlemen dapat disiasati dengan penguatan dan peningkatan angka batas kuota dalam rangka meningkatkan kemungkinan keterpilihan perempuan. Selain itu, penguatan kebijakan terkait penempatan caleg perempuan pada nomor urut teratas dan penambahan caleg perempuan dalam daftar calon di semua Dapil. Tak hanya itu, perlu adanya sanksi tegas pada partai politik jika tidak memenuhi ketentuan penempatan caleg perempuan sebanyak kuota yang telah ditetapkan. Hal ini menjadi penting, sebab UU Partai Politik dan Pemilu ini merupakan salah satu parameter dalam melihat respons negara terkait kesetaraan gender.
Keterwakilan perempuan dalam parlemen ini perlu menjadi perhatian penting. Lantaran kehadiran perempuan di parlemen memberikan otoritas pada perempuan untuk membuat kebijakan yang berkontribusi besar pada pencapaian hak-hak perempuan, khususnya kesetaraan gender. Sebab seringkali anggota laki-laki tidak dapat sepenuhnya mewakili kepentingan perempuan karena adanya perbedaan pengalaman dan kepentingan antara keduanya.
Penulis: Scholastica Gerintya
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti