Menuju konten utama

Menikah Demi Cinta atau Harta? Dilema Klasik yang Selalu Relevan

Cinta itu pancawarna. Biarkan mereka yang dimabuk asmara menafsirkan sendiri rona dan corak perjalanannya.

Menikah Demi Cinta atau Harta? Dilema Klasik yang Selalu Relevan
Header diajeng Love vs Money. tirto.id/Quita

tirto.id - Pekerja keras dengan kemauan tinggi. Independen. Menarik.

Tiga karakter di atas menggambarkan Lucy sebagai perempuan sukses asal New York. Namun, tidak seperti pencapaiannya sebagai matchmaker alias mak comblang, relasi Lucy dengan laki-laki bak jalanan berlubang dan penuh batu sandungan.

Materialists (2025), rilis di bioskop Indonesia tanggal 20 Agustus nanti, menggambarkan cinta segitiga antara Lucy (diperankan Dakota Johnson), Harry Castillo (Pedro Pascal), dan John Pitts (Chris Evans).

Lucy dihadapkan antara dua pilihan. Pertama, Harry: super kaya, usia lebih tua, tinggal di penthouse seharga 12 juta dollar. Kedua: mantan kekasih John, aspiring actor yang masih terbelit kesulitan finansial dan karier di penghujung usia 30-an.

Alih-alih menyajikan romcom (romance-comedy) yang hangat dan lucu, film yang disutradarai oleh perempuan Canada kelahiran Korea, Celine Song, ini justru membuka perdebatan serius tentang apa artinya menjalin hubungan di era modern.

Apakah Lucy akan memilih Harry yang menawarkan stabilitas keuangan dan kepastian masa depan, atau John yang telah membersamai Lucy sedari muda, memahaminya, dan lebih hadir secara emosional di hidupnya?

@sonypictures.uk

5’11 on paper. 5’9 in real life. We move. #Materialists is only in cinemas August 13.

♬ original sound - Sony Pictures UK

Perdebatan love versus money adalah topik lama yang terus didaur ulang.

Konten-konten TikTok buatan akun @miadio, misalnya, kerap menyederhanakan gambaran isu ini secara hitam-putih.

Tengok salah satunya simulasi percakapan yang ia buat di bawah ini:

"Bestie, your husband is cheating on you!"

"For the money, I'm blind. Pretend that you didn't see anything. Back away!

Atau konten ketika ia seolah-olah bertemu teman yang menjalani pernikahan demi cinta—alih-alih uang—dengan menunjukan kehidupan temannya di rumah yang reyot dan penuh tikus.

Pertanyaannya, benarkah pilihan menikah memang hanya bisa disempitkan menjadi dua, hidup bersama si kaya atau si susah?

Berpijak pada logika begitu, mereka yang memilih menikah demi uang bisa saja tidak keberatan dengan perbedaan usia pasangan yang jauh maupun fisik atau karakternya yang tidak sesuai ekspektasi, asalkan kondisi keuangan dan masa depannya terjamin.

Begitu sebaliknya, seseorang bisa memutuskan menikah dengan bermodalkan rasa cinta semata, akan tetapi stabilitas ekonomi dipikir belakangan atau sambil jalan.

Kenyataannya, ada banyak kondisi dan situasi ketika seseorang memilih love over money, dan begitu juga sebaliknya.

Beberapa cerita orang yang menikah demi uang dan demi cinta pun menghasilkan banyak sekali pengalaman yang berbeda– yang kadang kali berkebalikan. Perdebatan semacam ini kerap ditemukan di forum Reddit atau BuzzFeed Community.

"Tidak ada dalam hidup yang gratis. Menikah demi uang berarti kamu telah dibeli dan dijual. Pasanganmu pasti memiliki ekspektasi tinggi tentang dirimu (dan ini bukan hanya soal seks), kalau tidak terpenuhi kamu bakal didepak."

"Aku lebih memilih menikahi orang kaya tentu saja. Lebih mudah untuk melakukan hal-hal kreatif ketika kamu punya uang.”

"Aku pernah mengencani laki-laki kaya. Aku akhirnya menikahi laki-laki dengan kesulitan finansial tapi luar biasa. Dia pekerja keras tapi menghadapi banyak kesulitan sebelum ketemu aku. Sekarang kami berdua menghasilkan sejumlah uang dan menjalani hari dengan indah."

“Aku menikah demi cinta ketika usia 18 tahun, tapi kami akhirnya bercerai pada usia 24 tahun."

Cerita macam di atas membuktikan bahwa definisi pernikahan atau relasi yang bahagia dan tidak bahagia ternyata beragam. Banyak unsur yang tidak bisa dipahami oleh orang-orang di luar hubungan itu sendiri.

Setiap individu dibesarkan dengan nilai yang berbeda dalam keluarga. Oleh karena itu, saat beranjak dewasa, setiap orang memiliki cara yang berbeda dalam memahami dan berekspektasi tentang percintaan dan hubungan.

Terinspirasi dari perdebatan seru yang timbul dari Materialists, Tawkify, matchmaking service di Amerika Serikat, mengadakan survei terhadap seribu individu dari berbagai generasi usia.

Apa jawaban responden apabila mereka dipaksa memilih antara romansa bahagia dalam situasi ekonomi lebih menantang atau stabilitas keuangan jangka panjang dengan pasangan yang membosankan?

Hasilnya ternyata tidak terpaut terlalu jauh. Persentase responden yang memilih cinta daripada harta sebesar 54 persen versus 46 persen.

Kecenderungan memprioritas cinta terutama terlihat pada kelompok Milenial (59 persen) dan Gen Z (54 persen).

Di balik itu, terdapat pola perilaku menarik terkait keuangan yang sedikit-banyak memengaruhi cara pekerja muda masa kini menyelami relasi asmara—terutama Gen Z.

Studi berjudul "A Window into Gen Z's Financial Health 2025" dari Bank of America (BofA) menunjukan bahwa Gen Z menghadapi hambatan finansial karena situasi ekonomi yang tidak stabil, tujuan keuangan yang tidak segera terpenuhi, dan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar atau kewajiban keuangan lain.

Situasi di atas membuat 53 persen Gen Z mengurangi pengeluaran untuk urusan kencan. Ini terjadi baik pada laki-laki dan perempuan.

Gen Z disebut sebagai generasi yang lebih terbuka dan transparan dalam urusan finansial.

Laporan yang sama menyebut bahwa kelompok usia ini menerapkan boundaries atau batasan yang jelas dengan orang-orang terdekatnya mengenai apa yang sanggup dan tidak sanggup mereka beli maupun konsumsi.

Berbeda dengan generasi sebelumnya, Gen Z cenderung lebih tahu betul bahwa karier dan asmara bisa berjalan beriringan.

Itulah mengapa sikap money over lover dalam hubungan tidak melulu dimaknai sebagai “uang” atau material saja, melainkan bagaimana pasangan punya pandangan dan perencanaan yang sama soal finansial.

Apakah itu artinya Gen Z peduli dengan masalah keuangan calon pasangan? Tentu saja.

Namun demikian, generasi muda yang tengah dimabuk cinta saat ini memberikan ruang bagi hal-hal lain.

Mereka menghargai hubungan yang mampu menghadirkan penghormatan setara, keterbukaan dalam berkomunkasi dan menentukan ekspektasi masing-masing, serta tawaran kenyamanan yang bisa diberikan.

“Tidak bisa dimungkiri, Gen Z sangat reflektif jika menyangkut pilihan hidup. Mereka menyisihkan waktu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan besar yang akan membentuk masa depan mereka,” begitu bunyi laporan terbaru dari Tinder.

Mungkin, isu percintaan era modern yang kian kompleks tidak bisa disimplifikasi dalam kubu money versus love atau mana yang harus dipilih sebagai penentu kebahagiaan masa depan hubungan.

Mungkin, keduanya dapat berdiri secara seimbang dalam satu jalur yang sama.

Mungkin, yang perlu dilakukan memang memberikan ruang bagi keduanya untuk tumbuh seiring perjalanan.

Cinta adalah pancawarna. Maka dari itulah, mari kita bebaskan mereka yang terpesona di dalamnya untuk menafsirkan sendiri rona dan corak yang diinginkan, termasuk menentukan mana yang didahulukan, money or love, atau padu padan keduanya dalam strategi yang dikehendaki tanpa paksaan.

Bagaimana menurutmu?

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Erika Rizqi

tirto.id - Lyfe
Kontributor: Erika Rizqi
Penulis: Erika Rizqi
Editor: Sekar Kinasih