Menuju konten utama

Membayangkan Sayur Asem dan Kerupuk Aci dari New York

Sayur asem Sunda versi keluarga Dita punya isian lebih minimalis jika dibanding ala Betawi.

Membayangkan Sayur Asem dan Kerupuk Aci dari New York
Sayur asem. foto/istockphoto

tirto.id - Kalau ada kota yang dicintai oleh banyak orang, tapi juga sekaligus dibenci, mungkin itu adalah New York. Kita pernah mendengar berbagai ungkapan kecintaan dan kebencian terhadap kota Big Apple ini. Mulai dari reporter Tom Wolfe, penulis Cassandra Clare, hingga John Steinbeck.

"New York," kata Steinbeck, "adalah kota yang buruk, kotor. Iklimnya adalah skandal, politiknya bikin takut anak kecil, lalu lintasnya gila, kompetisinya bisa bikin orang saling bunuh."

Tapi, lanjut Steinbeck, "Ada satu hal tentang New York. Sekali kamu tinggal di New York dan ia sudah jadi rumahmu, tak ada tempat yang sebagus New York."

Bagi saya, gambaran New York bisa sedikit banyak terbayang berkat Dita Anggraeni. Saya bertemu dengannya, juga New York, secara tidak sengaja. Pertemuan ini tidak dalam arti harfiah. Sekira setahun silam, saya mengetikkan kata kunci tentang musik. Saya sendiri juga sudah lupa mengetikkan apa. Kata kunci itu membawa saya ke blog Dita. Sejak saat itu, saya jadi penggemar blognya.

Dita, dalam satu masa, pernah tinggal lama di New York. Banyak yang dibagikannya di blog. Dari yang berhubungan dengan pekerjaan, pengalaman mencari apartemen, menonton konser musik, hingga memasak untuk lebaran. Soal konser, ia bikin saya sirik. Dita pernah menonton Lisa Loeb, Blur, Hinds, D’angelo, Depeche Mode, hingga Smashing Pumpkins. Namun bukan mereka semua yang jadi konser favorit Dita selama di New York, melainkan konser Sting dan Peter Gabriel di Jones Beach, 2016.

"Mereka nyanyi berselang-seling, kadang Sting dan band-nya membawakan lagu Peter Gabriel, kadang Peter nyanyi lagu Sting, kadang mereka nyanyi bareng. Visualnya juga juara dan venue di tepi pantai itu membawa aura gimana gitu. Nonton 'If I Ever Lose My Faith in You' dengan latar belakang matahari terbenam itu rasanya sureal," ujar Dita.

Pengalaman merantau pertama Dita sebenarnya bukan ke New York. Pada 2007, saat bekerja di Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC), ia diterjunkan ke Mozambik sebagai mapping officer untuk kluster tenda darurat. Saat itu Mozambik baru saja diterjang banjir besar. Lembaga PBB OCHA memperkirakan 121.000 orang mengungsi dari rumahnya.

"Tapi di Mozambik cuma sebulan, enggak tahu deh itu bisa disebut merantau apa enggak," ujarnya.

Merantau panjang Dita datang pada 2008. Dita sedang menempuh master di Universitas Twente. Di sana pula Dita merasakan Ramadan pertama di luar negeri. "Enggak ada iklan sirup di teve," ujarnya berkelakar. Dita pulang ke Indonesia pada 2010, dan pada Oktober 2011 ia melanglang ke New York hingga sekarang.

Merantau di luar negeri membuat Dita selalu ingat masakan yang ada di rumah. Bisa dibilang meja makan di rumah orang tua Dita adalah Indonesia dalam bentuk yang lebih kecil. Ayah Dita adalah orang Malang, sedangkan sang ibu berasal dari Riau, dan mereka berdua sudah lama tinggal di Bandung.

Masakan di rumah Dita memang didominasi oleh masakan Riau. Ia menyebut gulai, kari, dan berbagai jenis sambalado. "Mama sebagai manajer dapur senang masakan yang banyak bumbu dan cenderung pedas," katanya.

Sebagai manajer dapur, sang Ibu terkasih bertugas menyusun menu setiap pagi. Namun karena ia bekerja, tim eksekusinya adalah Bibi, seorang perempuan Sunda. Ia dibantu oleh dua tante dan nenek. Karena sang Bibi adalah komandan teknis di dapur, maka tak heran kalau ia pun sering memasak makanan Sunda. Mulai sayur asem hingga karedok.

Selama hidup di Indonesia, Dita tak pernah memasak. Ketika pindah ke New York dan punya dapur sendiri, ia jadi senang memasak. Titik baliknya pada Idul Fitri 2013 itu. Momen itu membuat Dita merasa yakin bahwa dirinya bisa memasak. Sekarang Dita masih memasak, walau tak rutin. Minimal seminggu sekali, katanya. Tapi ia sudah percaya diri di dapur.

"Saya sebenarnya senang sekali masak makanan Indonesia dan menjamu tamu-tamu bule. Apalagi di sini masakan Indonesia kurang populer dibandingkan masakan Thailand," kata Dita.

Terpisah ribuan kilometer dari Bandung, Dita membayangkan betapa segarnya sayur asem Sunda buatan sang Bibi. Ada sedikit perbedaan antara sayur asem Sunda, Betawi, hingga Jawa Timur. Di Sunda, isiannya lebih minimalis jika dibanding ala Betawi. Sayur asem ini amat disukai Dita, apalagi ketika disantap bersama ayam goreng atau ikan goreng. Hidangan itu bertemu di piring, bersama nasi panas. Diberi kondimen sambal kecap. Pelengkapnya, apalagi kalau bukan tahu tempe goreng, lalapan, dan kerupuk aci.

Mungkin Steinbenck benar, sekaligus salah. Tinggal di New York dalam waktu lama dan jatuh cinta dengannya, mungkin bisa membuat seorang perantau melupakan kampung halamannya. Tapi perkara seperti kampung halaman bukanlah hal yang remeh, pun bukan sesuatu yang mudah dilupakan.

Manusia bisa, dan mampu, mencintai dua atau tiga tempat sekaligus. Tempat yang dianggap sebagai rumah. New York bagi Dita, dan banyak New Yorker lain, menyediakan atmosfer yang hidup. Keras, tapi hangat. Kacau, sekaligus punya banyak sisi matematis dan mekanikal. Meski kota ini hidup dan memberikan banyak kenangan bagi para parantau, ada hal-hal yang tak bisa diberikan olehnya. Sesuatu yang hanya bisa hadir dan diberikan oleh kampung halaman.

Dalam kasus Dita, itu adalah aneka makanan Sunda buatan sang Bibi. Dan Dita tahu, tak ada sayur asem dan kerupuk aci di New York.

Baca juga artikel terkait MILD REPORT atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - News
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nuran Wibisono