Menuju konten utama

Masinton: Pemilu Brutal Ini, Potensi Melanggengkan Kuasa Jokowi

Masinton Pasaribu bercerita soal gagal masuk parlemen, hak angket hingga dugaan politik uang di pemilu kali ini.

Masinton: Pemilu Brutal Ini, Potensi Melanggengkan Kuasa Jokowi
Header Wansus Maasinton Pasaribu. tirto.id/Gery.

tirto.id - Potret wajahnya yang tersenyum lebar sempat memenuhi daerah-daerah pemilihan legislatif Dapil II DKI Jakarta. Foto Masinton Pasaribu ada di mana-mana, mulai dari poster ukuran kecil di pohon hingga baliho besar di jalan raya. Sayangnya, petahana DPR RI dua periode ini kemungkinan besar gagal lolos ke Senayan sebagai anggota DPR periode 2024-2029.

Memakai kemeja batik berwarna gelap, Masinton justru tampak ceria dan bersemangat mengungkap perjuangannya dalam kontestasi Pileg 2024. Dia bertamu ke kantor Tirto sebagai tamu dalam acara Podcast For Your Pemilu. Kader PDI-Perjuangan itu juga menyatakan beberapa alasan gagal lolos ke Senayan.

Meski demikian, Masinton mengungkap sejumlah anomali dalam Pemilu 2024. Dia merasa masuk dalam sebuah operasi yang sudah didesain untuk mengganjal langkahnya. Politik uang dan ketatnya persaingan suara di Luar Negeri, kata dia, menjadi salah satu anomali yang menyandung lajunya duduk di kursi DPR.

Kepada Tirto, Masinton juga berbagi pandangan soal hak angket yang digulirkan di DPR. Dia merupakan anggota parlemen yang paling awal membunyikan soal hak angket. Menurut dia, sudah dari lama dia melihat desain dari penguasa untuk melanggengkan kekuasaan dengan berbagai cara.

“Habis itu apa? 2024 pemilu ya sudah, ini hasilnya brutal. Pemilu brutal ini. Jadi kalau kita lihat runutannya ya ini by design semua. Dalam tema besarnya adalah pelanggengan kekuasaan. Siapa yang ingin melanggengkan kekuasaan tadi? Presiden yang sekarang dong, Joko Widodo,” kata dia.

Selain itu, Masinton juga membagikan rencana dia ke depan setelah gagal lolos menjadi anggota DPR. Tak luput, dia membicarakan bagaimana komposisi penghuni DPR yang ideal sehingga tak hanya menjadi tukang stempel pemerintah dalam membentuk Undang-Undang.

Termasuk, kritik Masinton terhadap partai oposisi yang dicapnya sebagai ‘ayam sayur’ karena terlalu loyo. Berikut ini petikan wawancara Tirto bersama Masinton Pasaribu:

Bagaimana tanggapan setelah kalah Pemilu?

Sama seperti yang banyak disampaikan baik itu politisi, peserta pemilu, dan juga para pengamat, masyarakat, akademisi, ya. Pemilu yang anomali, gitu kan. Semua di luar prediksi. Apakah ini secara kebetulan atau by design atau secara alami, kita enggak tahu.

Tapi kalo kita melihat, umpama, kalo dalam konteks saya, kalau dalam aspek survei, pendekatan lewat metodologi survei, gitu ya, saya setiap survei itu ya di tiga besar. Itu ada Pak HNW [Hidayat Nur Wahid], ada saya, ada Ibu Himmatul Aliyah dari Gerindra. Di Dapil saya, gitu ya. Saya di posisi di tiga besar lah, kira-kira gitu dan itu konsisten.

Survei itu dari mulai bulan Juni tahun lalu, sampe kemudian bulan 12, bulan Januari [2024] rilis, itu saya lihat dari berbagai lembaga survei, baik internal PDI-Perjuangan, partai-partai lain, juga begitu. Nah, sampai bulan satu [Januari], Pemilu kan bulan dua [Februari] biasanya kan itu konstan. Biasanya kalau enggak ada hal yang blunder dilakukan oleh kandidat, calon, gitu ya. Itu baru berubah. Tapi kemudian di hasil beda.

Wansus Masinton Pasaribu

Wansus Podcast Masinton Pasaribu. (Tirto.id/Andhika Krisnuwardhana)

Anomali berikutnya, kalau kita lihat itu ya, dalam Sirekap KPU, hari pertama itu saya berapa ratus ribu, hari kedua juga begitu, hari ketiga begitu, tertinggi lah di internal PDI. Nah, kemudian, di hari keempat kalau nggak salah tuh, angka dari Sirekap yang ditampilkan di situs resmi KPU itu, dari 200 ribu sekian, kemudian tiba-tiba jadi belasan ribu.

Kemudian, anomali lainnya adalah pada praktik di lapangan. Kan kita tahu semua ya. Kalau dari berbagai survei, di Jakarta itu kan relatif pemilihnya lebih rasional. Money politic itu enggak menjadi faktor dominan. Nah, untuk menentukan pilihan gitu.

Tapi kemudian, dalam praktik lapangan, sejak bulan November, dibombardir terus itu kan, sembako, uang, sembako, uang, berubah itu. Di Jakarta loh. Yang saya sendiri tuh, saya 3 hari sebelum masa tenang ya. Seminggu sebelum pencoblosan itu, saya udah diinfokan dari teman-teman di lapangan gitu.

Saya [ikut] dua kontestasi pemilu, sebelumnya nggak ada tuh.

Relawan memang melihat segamblang itu money politic?

Ya. Bahkan kemudian, ini masyarakat ya. Kemudian hari kedua tuh datang. Hari kedua setelah pencoblosan. Dia jelasin tuh, ada yang sampai siangnya tuh, dari hari sebelumnya, malamnya, subuh sampai siang sebelum pencoblosan itu ya, kira-kira jam-jam 8, jam 9 [pagi] lah ya. Masih itu ditawarkan ke rumah-rumah gitu ya. Dengan nominal tuh Rp100 ribu sampai Rp200 ribu.

Anda merasa dicurangi karena itu?

Nah, kalau saya ya gimana? Kita mau bilang kita dicurangin, fakta kecurangannya tidak bisa kita himpun. Bahwa kita, kalau saya merasa, seperti dioperasi begitu, nah itu bisa saya rasakan. Karena kan, di titik-titik basis pemilih tradisional PDI-Perjuangan itu ada tuh, wilayah-wilayahnya gitu ya.

Baik di lingkungan, RT/RW gitu ya, kelurahan gitu kan yang kita sudah petakan tuh. Dari dua pemilu sebelumnya, suara kita tinggi di situ, apa segala macam. Sampai kemudian, dalam kuesioner yang kita sebar juga ya, melalui relawan kita, simpul-simpul kita yang door-to-door gitu ya. Masih tetap milih kita kok kira-kira gitu.

Terus tidak menggugat di MK?

Saya mengajukan gugatan itu kalau enggak ada bukti gimana? Saya bilang ke teman-teman tuh, coba deh lihat bukti-bukti apa. Baik transkrip pembicaraan, perekaman, video atau apa. Kalau itu, kemudian kalau dalam hari H pencoblosan, penghitungan, rekapitulasi, ada enggak apa begitu? Kalau itu enggak signifikan, menurut saya ya ngapain juga. Saya kan orang hukum.

Demo mendesak Hak Angket

Ribuan massa pendemo dari relawan pendukung 01 dan 03 mendatangi Gedung DPR RI pada Selasa (5/3/2024) pukul 12.30 WIB. Mereka memadati sepanjang Jalan protokol depan Gedung DPR RI. tirto.id/M. Irfan Al Amin

Apakah penetapan Anda di urutan nomor 7 berkaitan dengan persoalan Dewan Kolonel di PDIP?

Semacam punishment gitu ya? Saya sih nggak merasa. Bahwa itu tadi, karena sistemnya masih proporsional, nomor tujuh itu enggak begitu pengaruh. Itu aja kalau saya. Jadi, ketika saya ditaruh nomor tujuh, saya nggak merasa itu sebagai sebuah punishment ke saya.

Pemilu 2009 lalu, sebelumnya itu satu kursi PDI-Perjuangan di Dapil DKI Jakarta II. Kemudian 2014, saya dicalonkan oleh Partai, ditugaskan di sini. Alhamdulillah, jadi dua kursi. Dua kursi [tahun] 2014 dan 2019 sampai sekarang itu ya. Nah, kemudian, di 2024 nih, kursinya dihilangkan. Hilang satu. Nah, suara saya, saya merasa suara itu kayak dibonsai gitu ya.

Soal hak angket bagaimana? Anda awalnya menyuarakan ini, kok macam masuk angin di DPR?

Kalau hak angket ya pertama itu kan penyelidikan. Iya kan? Investigasi. Nah, ketika pascaputusan MK, saya kan menyampaikan mengusulkan supaya dilakukan DPR menggunakan hak angket. Ya tapi kan ya lagi-lagi karena konsentrasinya masih pada pemilu. Enggak merespons itu.

Tapi saya sudah membaca sebelumnya, bahwa dengan putusan MK itu ya putusan MK Nomor 90/2023 itu ini akan membuat pemilunya menjadi tidak demokratis. Nah, saya sudah membaca bahwa ini by design semua.

Kalau kita lihat, umpama ketika pada masa COVID [tahun] 2021 udah mulai dibunyiin tuh bagaimana kalau tiga periode [jabatan presiden]. Nah, 2022 coba ya itu tadi alternatif dari tiga periode itu kalau nggak mungkin, jadi perpanjangan masa jabatan. Perpanjangan melalui mekanisme penundaan pemiliu. Bahkan tiga partai politik itu sudah declare ketua umumnya [setuju]. Ada Golkar, ada PAN, dan PKB. Nah, di situ saya kalau saya sudah membaca kalau datang dari Istana itu bukan aspirasi, itu tirani.

Reformasi ini kan mengkoreksi dan mengevaluasi perjalanan bangsa kita. Hal yang utamanya adalah tidak ada pembatasan masa periode jabatan presiden. Maka di Amendemen kan setelah reformasi itu. Agar tidak ada kekuasaan yang absolute. Kekuasaan yang absolute dan tidak dibatasi masa periode. Maka dua periode cukup.

Kalau pemerintahnya atau presidennya atau dalam lingkar kekuasaan dia menjaga norma reformasi dan demokrasi tahun 1998 ini dan menghargai proses kesepakatan bangsa kita yang dituangkan dalam bentuk tertulis yaitu konstitusi tadi, Undang-undang Dasar kita, ya taatilah dua periode.

Nah, 2023 [ada putusan] MK. Ini semua rangkaian by design pelanggengan kekuasaan. Ketika MK diputuskan tadi, kenapa saya minta supaya dilakukan hak angket penyelidikan, kalau itu dijalankan nggak bakal begini anomali ini. Karena saya udah membaca.

Habis itu apa? 2024 pemilu, ya sudah, ini hasilnya brutal.

Pemilu brutal ini. Jadi kalau kita lihat runutannya ya ini by design semua. Dalam tema besarnya adalah pelanggengan kekuasaan. Siapa yang ingin melanggengkan kekuasaan tadi? Presiden yang sekarang dong, Joko Widodo.

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto bilang hal serupa, artinya ada kesamaan di PDIP ini semua desain Jokowi?

Bukan hanya PDI ya. Kalangan akademisi, budayawan, praktisi. Bahkan dari media juga pers sebagai pilar demokrasi kan semua membaca itu. Yang apa ini kan pelanggengan kekuasaan ini. Itu yang sesungguhnya kita sudah secara konsensus bangsa kita kita sudah membatasi itu.

Ya sudah ini biar sirkulasi elit. Kepemimpinan tadi berganti secara demokratis. Tidak perlu ada yang namanya cawe-cawe tadi. Itu yang merusak. Apa yang mau kita teruskan? Katanya tuh melanjutkan. Apa yang mau dilanjutkan dari kepemimpinan seperti ini? Bangun sistem nggak, mana sistem yang terbangun? Sistem hokum, penegakan hokum amburadul. Birokrasi hancur, ekonomi nggak ada tuh pertumbuhan bisa mencapai pertumbuhan yang pernah seperti yang direncanakan.

Dalam bangun bangsa itu nggak bisa kita percaya pada individu. Ini harus menjadi koreksi menurut saya. Sepuluh tahun bersama Presiden Joko Widodo, banyak produk perundang-undangan, yang itu menurut saya di-bypass semua. Termasuk UU Cipta Kerja dan UU IKN.

Tapi Jokowi itu lahir dari rahim PDIP suka tidak suka, tapi tidak ada sanksi tegas. Cabut KTA saja tidak, kok bisa?

Ya, kalau dia secara ideologi sudah tidak lagi sejalan dengan PDI-Perjuangan, secara program juga sudah beda, ya sudah. Berarti kan bukan PDI-Perjuangan lagi. Kan tidak perlu harus dipecat. Tidak perlu lah. KTA itu cuma administratif aja, kok.

Apa artinya PDIP masih mengharap kursi dari Jokowi, atau Prabowo-Gibran yang seakan meneruskan pemerintahannya?

Enggak lah. Kalau saya baca secara kebatinan tuh di PDI-Perjuangan, baik akar rumput, kader-kader PDI-Perjuangan simpatisan juga ngerti tuh. Mereka aja nggak terima tuh. Gitu lho. Artinya, bukan kalau PDI-Perjuangan, Bu Megawati, kita dari PDI-Perjuangan, dikhianatin ya biasa lah dalam politik.

Tapi kalau bagi saya, pengkhianatan terhadap bangsa melalui dengan pengkhianatan terhadap konstitusi, aturan, dan lain-lain, itu nggak boleh. Itu harus menjadi musuh bersama kita, termasuk teman-teman media. Kan kalau kita lihat nih, teman-teman akademisi, guru besar, budayawan, yang kemarin sampai sekarang menyuarakan ketidakpercayaannya, bahkan manifestasi politiknya, agar menyeret Pak Jokowi ke pengadilan rakyat.

Bayangkan aja, artinya apa? Itu idiom-idiom, bahasa-bahasa perlawanan di pergerakan dulu. Kami menyuarakan pengadilan rakyat terhadap Orde Baru Soeharto, pada saat itu karena kita nggak percaya pada sistem hukum. Dan sekarang, kalangan akademisi, guru besar, sampai dengan bahasakan seperti itu, artinya apa? Ini bermasalah.

Kabarnya PDIP sudah menjalin komunikasi dengan Pak Prabowo, itu bagaimana?

Kita enggak ada urusan sama Pak Prabowo. Masalah apa kita sama Pak Prabowo? Yang dipermasalahkan orang hari ini kan Pak Jokowi. Dengan menabrak konstitusi, memainkan MK, untuk meloloskan anaknya untuk melanggengkan kekuasaan tadi. Yang disoalkan orang kan kekuasaan ini ya? Kekuasaan tertinggi ini kan ada pada yang namanya Presiden Joko Widodo.

Tapi pendukung dari kubu Pak Prabowo menyatakan merepresentasikan Pak Jokowi?

Enggak lah. Enggak semua lah, pendukung Pak Prabowo itu pendukung Pak Jokowi. Dua pemilu sebelumnya berseberangan kok.

PDIP akan masuk ke dalam koalisi atau menjadi oposisi?

Itu domainnya pimpinan partai. Apapun itu menurut saya, DPR itu dia harus menjadi fungsi representasi yang bisa mengawasi pemerintahan secara umum. Nah, DPR itu diisi partai-partai politik. Partai-partai politik itu ya harus mampu menjaga dan mengawal proses demokrasi kita ini.

PDI-Perjuangan pernah berada di luar pemerintahan. Pernah juga di dalam pemerintahan. Ketika di luar pemerintahan juga, PDI-Perjuangan ya sama hal tugasnya itu menjaga pemerintahan agar tetap konsisten menjalankan program-program yang pernah dijanjikan ke rakyat.

Tapi PDIP begitu bertaji ketika beroposisi?

Ya kan aneh juga. Masa aja partai jadi didirikan untuk beroposisi. Sekarang dalam dua periode ya, dalam masa 2014-2019 sampai sekarang itu ya. Ini kan oposisinya aja yang menurut saya levelnya masih ayam sayur, tidak mampu menjadi penyeimbang.

Harusnya kan oposisi itu ya dia bersikap kritis, bukan hanya di dalam Gedung DPR, tapi juga dia harus bisa memanifestasikan politiknya dan menjelaskan kepada konstituennya. Tapi kan ini enggak nih kalau kita lihat.

Jadi kalau saya melihat bahwa kadang saya geregetan juga, kadang malah kita yang lebih kritis ketimbang teman-teman yang secara kelembagaan partai dia menyatakan oposisi. Tapi kader-kadernya kok letoy banget gitu. Nah, jadi kalau saya lihat ya, artinya gini PDI jangan juga didesak untuk jadi oposisi terus, karena tujuan orang bikin partai itu berkuasa, bukan untuk beroposisi.

Apakah mekanisme sengketa Pemilu di MK bisa diharapkan?

Harusnya ya ini momentum bagi hakim-hakim di Mahkamah Konstitusi untuk mengembalikan marwah reformasi dan demokrasi kita yang sudah berjalan 25 tahun ini. Ini momentumnya. Mungkin MK enggak akan menemukan momentumnya kembali. Kalau ini mau dijadikan sebagai sebuah momentum sejarah buat MK secara kelembagaan, maupun hakim-hakim MK yang sekarang ada di Mahkamah Konstitusi itu.

Ini momentumnya. Karena kenapa? Ini kita lihat reformasi kita yang sudah dinolkan kembali oleh yang berkuasa saat ini. Itu yang kadang buat saya itu nggak bisa terima. Nah, bahwa reformasi dan demokrasi ini sebagai sebuah jembatan kita menuju Indonesia emas tadi. Menuju Indonesia maju tadi, bukan Indonesia cemas.

Wansus Masinton Pasaribu

Wansus Podcast Masinton Pasaribu. (Tirto.id/Andhika Krisnuwardhana)

Apa memangnya putusan yang ideal dikeluarkan MK?

Pemilu ulang. Tanpa kroni atau tanpa keluarga Joko Widodo. Itu penting menurut saya agar ada pembelajaran buat bangsa kita ke depan. Jangan semena-mena menggunakan kekuasaan tadi untuk memenuhi ambisi kekuasaan keluarga.

DPR nanti diisi oleh pesohor, pebisnis, dan anak-anak pejabat saat ini, bagaimana keadaan DPR menurut Anda?

Saya dua periode ya. Saya lihat tuh DPR itu dari periode ke periode mengalami penurunan menurut saya secara kualitatif ya. Baik itu dalam aspek pengawasan, karena DPR itu kan tugasnya pengawasan. Membahas anggaran dan juga membahas rancangan undang-undang.

DPR itu kadang kayak jadi tempat buang produk RUU dari pemerintah disampaikan ke DPR melalui Baleg. Seakan-akan ini tuh usulan dari DPR, padahal itu usulan dari pemerintah.

Ini kadang-kadang pemerintah yang lempar aja tuh. Seakan-akan tuh muncul dari DPR. Contoh undang-undang DKJ, Daerah Khusus Jakarta.

Saya dari awal, bilang nih, ini gimana ceritanya sih, masih draf-nya nih. Terus Gubernur, udah ada tuh kok di draf-nya tuh ditunjuk dan diangkat oleh presiden. Terus kita bilang nih usulan dari DPR?

Itu masih perdebatan internal di Baleg. Terus kita bilang nih usulan DPR. Siapa yang usul ini nih, gue bilang. Dari partai mana? Kayak gitu loh. Saya aja secara sebagai anggota Baleg, ya enggak nih gue bilang. Konyol banget nih. Cek satu-satu nggak ada. Kesimpulan saya usulan pemerintah.

Tantangan kita jangan sampai tuh fungsi DPR sebagai parlemen, dia mengalami kemerosotan terus. Seperti yang tadi, anaknya si anu, anak kepala daerah, pebisnis dan lain-lain. Politik ini kan kita bicara ide, gagasan besar tentang bangsa ini.

Politik kita, pemilu ke pemilu hasilnya akan begini nih. Nanti kita enggak tahu lagi itu. Besok, ya sudah kita sudah bisa bayangin kalau dengan sistem politiknya, sistem pemilunya juga seperti ini bisa dibayangin tuh. DPR itu tidak ada lagi ruang ide, gagasan.

Guru-guru besar enggak akan pernah mengisi ruang parlemen. Teman-teman pers yang jago dalam menginvestigasi jurnalisme dan segala macam, enggak akan dia juga bisa mengisi di sana. Teman-teman budayawan, artinya representasi perwakilan rakyat itu tidak akan pernah terwakili. Kecuali oleh mereka yang popularitasnya bagus, ditopang dengan kekuatan jaringan uang, dan lain sebagainya.

Apa yang perlu dikoreksi?

Termasuk partai politik, dalam sistem rekrutmen, kaderisasi, pembiayaan, nah gitu. Kemudian sistem pemilunya. Sistem pemilu apa kita masih pertahankan proporsional terbuka atau kita ke proporsional tertutup, atau dikombinasi antara terbuka dan tertutup?

Di mana partai politik juga punya kewenangan untuk menempatkan kader-kadernya di DPR yang berlatar belakang politisi, aktivis, teknokrat, budayawan, guru besar akademisi, dan lain-lain. Termasuk dari pers, apa segala macam.

Sehingga warna parlemen kita, DPR kita, itu berbagai macam warna yang secara kualitas, substansi pembahasan jago. Menguasai materi dan substansi pembahasan, baik secara akademik, secara sosial, dan lain sebagainya. Jadi di DPR itu harusnya warnanya itu. Sehingga kita dalam membuat undang-undang, dalam melakukan fungsi pengawasan, baik dalam penentuan pembahasan anggaran, itu semuanya berkualitas.

Jadi, ini yang maksud saya, perbaikan ke depan. Kalau enggak, demokrasi kita secara formal, secara formal kan dalam kelembagaan negara itu, ruang lembaga politik kan DPR. Ya begini, bahkan lebih parah.

Nah, dimana tuh, kita enggak akan pernah lagi nanti menghadapi perdebatan secara genuine, secara ide gitu ya, yang orisinal gitu ya, dari politisinya yang ada di parlemen tadi. Selain, ya kalau model sekarang, kita khawatir aja. Ini cuma jadi yes man, ruang transaksi, gitu loh.

Kalau [cuma] mau meloloskan apa yang diinginkan pemerintah ya tinggal DPR yang beresin. Itu kan miris kita, padahal politik itu kan ruang ide, [ruang] gagasan.

Baca juga artikel terkait WAWANCARA atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Maya Saputri