tirto.id - Nama Maria Butina bersinonim dengan aktivis pro-senjata api. Sedangkan di sisi lain, ia adalah warga biasa yang mencoba peruntungan di luar negeri. Namun, bagi pemerintah AS, Butina punya posisi istimewa: ia adalah agen rahasia Rusia yang melakukan aksi ilegal dan punya andil dalam geger politik Pemilu 2016 AS yang dimenangkan oleh Donald Trump.
Pertengahan Juli lalu, Butina diciduk aparat AS. Pihak Pengadilan Distrik Federal, mengutip CNN, mendakwanya dengan tuduhan berkomplot dengan pemerintah Rusia untuk memengaruhi politik AS menjelang Pemilu 2016.
Intelijen papan atas Rusia bergerak dengan meretas email petinggi Partai Demokrat macam Hillary Clinton dan mempropagandakan Donald Trump. Tapi Butina tidak. Ia merayap dari bawah, dalam senyap, memengaruhi Partai Republikan, dan membangun jaringan rahasia bersama partai mereka untuk menggolkan misi Rusia.
Menurut keterangan jaksa, keterlibatan Butina bermula sejak 2014. Ia datang ke Amerika Serikat dengan visa pelajar untuk berkuliah pasca-sarjana di American University, Washington D.C. Namun, visa pelajar tersebut rupanya cuma dalih agar ia bisa melaksanakan kerja-kerja rahasianya dalam waktu yang lama.
Butina membidik jajaran politikus papan atas Republikan. Caranya? Menggunakan seks. Dari situ, Butina lantas menyetir para politikus Republikan sesuai kepentingan Rusia. Ia mengatur pertemuan dua kubu di Moskow, New York, dan Washington D.C.
Pada saat bersamaan, Butina juga menggunakan para politikus ini untuk menjalin koneksi dengan kelompok-kelompok seperti National Rifle Association (NRA) serta National Prayer Breakfast. Dua-duanya lekat dengan kubu konservatif dan Republikan.
Salah satu target Butina ialah Paul Erikson, politikus konservatif asal South Dakota. Butina mengaku bahwa ia dan Erikson—yang selisih usianya hampir 20 tahun—adalah pasangan. Beberapa foto yang beredar memperlihatkan kedekatan keduanya.
Namun, pengadilan menilai Erikson, lulusan Universitas Yale dan mantan anggota tim sukses Ronald Reagan, masuk perangkap Butina. Jaksa menegaskan bahwa relasi yang dibangun Butina terhadap Erikson cuma “bagian dari aktivitas rahasianya.” Pengadilan pun menuduh Erikson telah berjasa "membangun jalur komunikasi antara Kremlin dan Republikan.”
Pengacara Butina, Robert Driscoll, menyanggah semua tuduhan tersebut. Ia menganggap tuduhan pemerintah AS kelewat berlebihan dan menegaskan bahwa Butina bukanlah bagian “dari proksi yang berkembang secara serius akhir-akhir ini.” Senada dengan Driscoll, Maria Zakharova, juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, menyebutkan bahwa tuduhan terhadap Butina adalah “skenario untuk merusak hasil pertemuan antara Trump-Putin” yang diselenggarakan pada akhir Juli 2018.
Hakim Pengadilan Distrik Federal Deborah Robinson, catat The New York Times, menolak memberikan jaminan untuk Butina. Kendati tidak dituduh melakukan spionase, Butina tetap didakwa sebab menjalin kontak dengan operasi intelijen Rusia. Robinson menyatakan, apabila terbukti bersalah, Butina bisa dipenjara selama 15 tahun.
Dibekingi Pejabat dan Pebisnis
Jika ditarik benang merahnya, titik mula polemik ini berasal dari pro-kontra penggunaan senjata api di Rusia. Konstitusi Rusia, tidak seperti AS, begitu keras dan ketat membatasi warganya memegang senjata api. Senjata api yang boleh dimiliki adalah senapan laras panjang, pistol gas, dan setrum. Syaratnya, setiap individu harus punya lisensi kepemilikan.
Pejabat teras Rusia menilai, senjata api memang tak seharusnya dilegalkan bebas. Putin, misalnya, mengatakan pada 2011 bahwa memperbolehkan penggunaan senjata api dengan bebas sama saja "mendatangkan bahaya besar".
Bagaimanapun, penolakan terhadap kebijakan pemerintah tetap bermunculan. Salah satunya dari Right to Bear Arms, organisasi pro-senjata api bikinan Butina pada 2010. Organisasi ini berpandangan, pemerintah seharusnya melonggarkan aturan senjata api. Pasalnya, senjata api, menurut Right to Bear Arms, “penting bagi keselamatan pribadi.”
Sejak saat itu, Butina dan kelompoknya mulai rutin menempuh kerja-kerja untuk mendorong pemerintah mengakhiri larangan penggunaan senjata api. Dari mengadakan demonstrasi massa, melobi parlemen, sampai menjangkau pelbagai kekuatan politik.
Seiring waktu, eksistensi Right to Bear Arms menarik perhatian pembuat kebijakan. Salah satu yang punya fokus ke isu mereka ialah Aleksandr Torshin, senator dan mantan wakil gubernur Bank Sentral Rusia. Pada 2012 lalu, Torshin mengumumkan rencana untuk memperkenalkan undang-undang yang bakal memperluas akses penggunaan senjata api, sesuai dengan visi Butina dan Rights to Bear Arms.
Namun, tak ada makan siang gratis. Ada indikasi Torshin menuntut imbalan: meminta Butina terlibat dalam upaya mengacak-acak Pemilu AS pada 2016. Butina dipilih karena dinilai bakal lebih mudah masuk lingkaran Republikan (seperti NRA) karena sama-sama membawa misi yang sama yakni legalitas penggunaan senjata.
Menurut pengadilan, sebagaimana dilaporkan BBC, Torshin dianggap sebagai pihak yang mengomandoi aksi intelijen Butina. Buktinya cukup banyak. Dari aktivitas tukar pesan keduanya secara daring, beredarnya foto bersama mereka, hingga pengakuan Butina yang menyebut dirinya “dipekerjakan sebagai asisten khusus untuk Mr. Torshin.”
Aksi intelijen Butina rupanya tak hanya didukung elite pejabat macam Torshin. Pengadilan juga menemukan bahwa aksi-aksi tersebut turut didukung secara finansial oleh taipan bernama Konstantin Nikolaev. The Guardian melaporkan, Nikolaev punya kekayaan sebesar $1,2 miliar. Bisnisnya bergerak di bidang transportasi. Ia sering bekerjasama untuk menggarap proyek-proyek yang berhubungan dengan Putin.
Yang bikin semua terlihat ada benang merahnya ialah fakta bahwa Nikolaev pernah menanamkan modal di perusahaan istrinya, Svetlana, bernama Promtechnologies. Perusahaan ini bergerak di urusan pemasokan senjata. Daftar kliennya terbentang dari Israel, Dinas Keamanan Federal Rusia, dan tentu saja AS. Jika kurang jelas, putra Nikolaev, Andrey, yang kuliah di Columbia University, sempat mengajukan diri untuk jadi anggota tim kampanye Trump.
Gaya Lama Rusia
Seks dan operasi intelijen adalah dua hal yang sulit dipisahkan di Rusia. “Di Amerika, di [negara-negara] Barat, kadang Anda meminta orang-orang Anda untuk membela negara. Kami pun juga demikian. Namun, hanya ada sedikit perbedaan. Di Rusia, kami cukup meminta para perempuan muda untuk berbaring ,” ungkap mantan pimpinan KGB, Oleh Kalugin.
Ungkapan Kalugin benar adanya. Organisasi intelijen Uni Soviet, Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti alias KGB, begitu serius mempersiapkan mata-mata molek nan pintar sejak awal Perang Dingin. Mereka direkrut dari sekolah dan kampus, dilatih dan dipekerjakan dengan pelbagai fasilitas di atas standar negara-negara komunis. Begitulah menurut David Lewis dalam Sexpionage: The Exploitation of Sex by Soviet Intelligence (1976).
Perempuan-perempuan itu beraksi bagaikan gadis-gadis James Bond. Tampil menggoda serta rela menyerahkan tubuhnya kepada intel lawan demi mengorek data-data berharga. Dalam video dokumenter Spionage yang dipublikasikan Discovery Channel, korban praktik ini bisa siapa saja; tua-muda, lajang-berpasangan, homoseksual-heteroseksual, duta besar, atase militer, wartawan, bahkan penjaga keamanan. Merekalah korban yang biasa disebut honey trap atau jebakan seksual.
Sersan marinir AS bernama Clayton J. Lonetree pernah jadi korbannya. TIME edisi 1987 mencatat: “Clayton Lonetree, 25 tahun, sangat terhormat dengan tugasnya sebagai pengawal keamanan di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Moskow ... Ia diduga oleh atasannya membantu KGB Soviet mencuri dokumen rahasia dari kantor Diplomatik Amerika di Moskow dan Wina. Lonetree, menurut pihak berwajib, punya hubungan asmara dengan agen perempuan KGB yang bekerja sebagai penerjemah di kedutaan.” Kedekatan itu berbuah sial. Lonetree pun harus dihukum dihukum sembilan tahun penjara.
Jauh sebelum Lonetree, ada pula kisah John Vassall yang bekerja sebagai staf atase militer di Kedutaan Besar Inggris di Moskow. Lonetree yang dan homoseksual (waktu masih ilegal) terkena honey trap pada Juni 1956. Percintaan sesama jenisnya dipotret Rusia.
Vassall, yang enggan kehidupan seksualnya dibongkar, langsung menyerahkan sejumlah dokumen yang memuat informasi soal mata-mata negeri Ratu Elizabeth kepada KGB. Namun, kasusnya segera redup lantaran sebuah kasus yang jauh lebih merusak kredibilitas pemerintahan Perdana Menteri Macmillan (1957-1963), yakni jalinan cinta segitiga John Profumo-Christine Keeler-Yevgeny Ivanov.
Christine Keeler, model asal Inggris, berkenalan dengan Profumo, orang penting dalam Departemen Pertahanan Inggris. Profumo, yang sudah beristri, menjalin asmara dengan Keeler. Namun, di balik gairah asmara keduanya, Keeler rupanya juga berhubungan mesra pula dengan Ivanov, staf atase militer Soviet di Inggris.
Perselingkuhan Profumo dan Ivanov akhirnya terbongkar pada 1963. Terkuaknya skandal itu memaksa Profumo untuk meletakkan jabatan. Selain itu, kabinet pimpinan Macmillan kemudian goyah dan bubar tak lama setelah skandal tersebut diketahui publik.
Hari ini, praktik menggunakan seks dalam operasi intelijen pun masih marak dipakai Rusia. Peter Sullivan dalam “How to Use Sex Like a Russian Spy” yang terbit di Foreign Policy, mencontohkan kasus Anna Chapman, agen rahasia Rusia yang menggunakan pernikahannya dengan Alex Chapman—yang dijumpainya di London—guna mendapatkan paspor Inggris, agar kemudian bisa dipakai masuk ke AS.
Saat ditanya apakah ada yang mengganjal dari ‘istrinya’ itu, Alex menjawab: “Setiap kali aku telepon dia dari ponsel, dia akan jawab lewat telepon umum. Tapi saat itu, aku berpikir tidak ada yang aneh.”
Pada 2010, Anna, bersama sembilan agen rahasia lainnya ditangkap FBI di New York. Penangkapan agen rahasia terbesar sejak Perang Dingin itu dipicu oleh obrolan telepon antara Anna dan ayahnya yang tinggal di Moskow. Dalam pembicaraan itu, Anna mengatakan bahwa ia khawatir penyamarannya bakal terbongkar. Ia lantas dipulangkan ke Rusia sebagai bagian dari kesepakatan pertukaran tahanan.
Apakah nasib Butina bakal berakhir sama dengan Anna?
Editor: Suhendra