Menuju konten utama

Pussy Riot: Mimpi Buruk Bagi Putin dan Kroni-Kroninya

Kelompok Pussy Riot kembali bikin geger Rusia lewat aksi menerobos lapangan di final Piala Dunia. Putin kembali jadi sasaran protes.

Pussy Riot: Mimpi Buruk Bagi Putin dan Kroni-Kroninya
Petugas keamanan menarik seorang wanita dari lapangan setelah dia menyerbu ke lapangan dan menyela pertandingan final antara Prancis dan Kroasia di Piala Dunia Sepak Bola 2018 di Luzhniki Stadium di Moskow, Rusia, Minggu, 15 Juli 2018. AP Photo / Martin Meissner

tirto.id - Final Piala Dunia 2018 pada Minggu (15/7) kemarin meninggalkan insiden yang menarik perhatian publik. Ketika babak kedua baru berjalan sekitar 12 menit, tiba-tiba empat orang (tiga perempuan dan satu laki-laki) berseragam polisi berwarna putih menerobos masuk ke area rumput Stadion Luzhniki.

Gara-gara mereka, laga sempat dihentikan sementara waktu sebelum akhirnya keempat orang tersebut diamankan petugas dan dibawa ke kantor polisi terdekat.

Tak lama setelahnya, Pussy Riot, kelompok protes Rusia, melalui laman Facebook-nya, mengeluarkan pernyataan bahwa keempat orang yang masuk stadion adalah “anggotanya.” Aksi itu mereka lakukan untuk memprotes pemerintahan Vladimir Putin.

The Guardian mencatat, Pussy Riot menuntut agar Putin agar membebaskan tahanan politik, menghentikan represi lewat media sosial, membuka kembali persaingan politik, serta penyudahi penangkapan tanpa dasar hukum yang jelas.

Selain itu, Pussy Riot juga meminta pemerintah membebaskan aktivis Oleg Sentsov yang dikenal vokal mengecam aneksasi Rusia atas Semenanjung Krimea (sebelumnya milik Ukraina) pada 2014. Sentsov dijatuhi hukuman penjara selama 20 tahun dengan dakwaan “merencanakan teror.”

Pemilihan atribut kepolisian dalam aksi tadi malam juga merupakan bentuk kritik Pussy Riot terhadap aparat. Menurut mereka, seragam polisi yang dikenakan aparat merepresentasikan “gagalnya reformasi kepolisian Rusia dalam menciptakan rasa aman bagi masyarakatnya.”

Kolektif Protes

Pussy Riot adalah kelompok protes, punk, dan feminis Rusia yang berdiri pada 2011. Sejauh ini, tidak ada acuan yang dapat menyebutkan secara pasti berapa jumlah anggota Pussy Riot. Meski begitu, ada tiga sosok yang kerap dianggap sentral dalam kolektif ini, yaitu Nadezhda Tolokonnikova, Maria Alyokhina, dan Yekaterina Samutsevich.

Sejak pertama kali berdiri, mereka konsisten menyuarakan perlawanan terhadap rezim Putin­­ yang didukung kekuatan Gereja Ortodoks. Bagi Pussy Riot, Putin “tidak manusiawi, ingin berkuasa mutlak, dan membungkam kebebasan warga negaranya.” Singkat kata, mereka mendambakan kehidupan masyarakat demokratis, tidak otoriter, dan bebas dari pengaruh Putin.

Kerja-kerja aktivisme Pussy Riot diterjemahkan lewat serangkaian penampilan di ruang publik. Dengan mengenakan balaklava berwarna mencolok, mereka menyanyikan lagu-lagu protes dengan energi yang meletup, seolah mengajak para pendengarnya mengepalkan tangan dan meneriakkan revolusi.

Tapi yang perlu dicatat, meski menggunakan musik punk sebagai medium protes, Pussy Riot sama sekali menolak disebut “band.”

Dalam sebuah wawancara pada 2014, seperti dikutip Katharina Wiedlack dan Masha Neufeld lewat “Lost in Translation? Pussy Riot Solidarity Activism and the Danger of Perpetuating North/Western Hegemonies” (2014) yang terbit di Religion and Gender, Pussy Riot memilih medium punk karena ingin mencari bentuk yang “spektakuler, ironis, sekaligus provokatif.” Suatu bentuk, yang menurut mereka, akan menciptakan kegegeran di tengah konservatisme masyarakat Rusia.

Aksi di Luzhniki bukanlah aksi protes terbuka pertama Pussy Riot yang bikin geger. Pada Januari 2012 silam, Pussy Riot menduduki Katedral Basil di Lapangan Merah dan menyanyikan lagu berjudul “Putin Zassel” ("Putin Ngompol”) yang intinya meminta Putin mundur dari jabatannya. Penampilan tersebut terinspirasi dari demonstrasi besar-besaran warga Rusia pada 2011 yang menentang kecurangan dalam pemilu oleh Putin dan kroni-kroninya.

Sebulan kemudian, Pussy Riot lagi-lagi cari perkara. Kali ini lebih fenomenal: memainkan lagu berjudul “Punk Prayer” di altar suci Katedral Kristus dan Juru Selamat di Moskow. Kira-kira seperti ini bunyi liriknya:

The Church’s praise of rotten dictators

The cross-bearer procession of black limousines

A teacher-preacher will meet you at school

Go to class – bring him money!

Virgin Mary, Mother of God, put Putin away

Put Putin away, put Putin away

Menghujat Putin di gereja—kurang nakal apa lagi?

Alyokhina memilih gereja sebagai lokasi protes karena faktor kelompok Kristen Ortodoks Rusia menjadi alat politik Putin. Bagi Alyokhina, pemerintah Putin menunggangi agama untuk mengontrol perilaku sehari-hari rakyat, mulai dari urusan pemilu, berpakaian, kencan, hingga menghibur diri. Di samping itu, Pussy Riot juga hendak mengkritik Gereja Ortodoks yang mereka nilai misoginis, konservatif, anti-LGBT, selain mesra dengan Putin.

Kendati hanya berlangsung dalam hitungan menit, pertunjukan di gereja rupanya berbuntut panjang. Mereka ditahan aparat dan dituding mempromosikan tindakan “hooliganisme yang didorong oleh kebencian terhadap agama” dan dihadapkan pada sejumlah tuntutan hukum yang keras.

Opini publik Rusia pun terbelah. Kubu konservatif (dan pro-Putin) mendukung penahanan Pussy Riot. Bagi kelompok ini, gereja adalah tempat yang sakral sehingga aksi ala Pussy Riot tak bisa ditolerir. Menurut mereka, jika Pussy Riot, perempuan-perempuan punk ini bakal jadi ancaman bagi pemerintah Rusia dan Gereja Ortodoks.

Di lain sisi, LSM, aktivis HAM, dan politisi oposisi menilai penangkapan terhadap Pussy Riot berlebihan, tidak adil, dan sekadar menegaskan sifat otoriter pemerintahan Putin.

Bagaimanapun, Pussy Riot tetap diganjar hukuman. Tolokonnikova dan Alyokhina dijatuhi dua tahun penjara. Sementara Samutsevich lolos dari jerat hukum karena pengadilan tidak menemukan keterlibatannya lebih jauh dalam aksi tersebut.

Bubar Jalan

Selepas parlemen Rusia menandatangani UU Amnesti pada Desember 2014, kedua personel Pussy Riot akhirnya dibebaskan. Tolokonnikova dkk belum mau gantung megaphone, walaupun ancaman penahanan senantiasa membayangi-bayangi mereka, misalnya kala mengkritik Putin secara terbuka lewat lagu berjudul “Putin Will Teach You How to Love the Motherland” di gelaran Olimpiade Musim Dingin Sochi.

Tak hanya membidik Putin, Pussy Riot juga kian vokal membela gerakan perempuan, LGBT, serta menolak wujud kapitalisme dalam bentuk apapun. Saking vokalnya, mereka pernah menolak tampil satu panggung dengan Madonna, karena bagi Pussy Riot tampil di hadapan penonton yang membayar tiket konser sama saja dengan "mendukung praktik kapitalisme".

Kendati begitu, yang tidak disadari publik adalah meski Pussy Riot masih berdiri sebagai sebuah konsep, namun ketiga anggotanya sudah pisah jalan. Dalam wawancaranya bersama The Guardian, Alyokhina mengaku dirinya “tidak lagi bekerja bersama Tolokonnikova dan Samutsevich.”

Tidak disebutkan secara jelas apa alasan ketiganya bubar jalan. Yang jelas, menurut Alyokhina, ketiganya saat ini disibukkan dengan urusannya masing-masing. Tolokonnikova sedang terlibat dalam beberapa pementasan teater bertajuk Inside Pussy Riot. Alyokhina berencana membuka museum khusus perempuan di Montenegro dan menerbitkan buku soal Pussy Riot. Sedangkan Samutsevich sendiri diketahui jarang tampil di publik. Kabar terakhir, ia mengaku sulit dapat pekerjaan karena afiliasinya dengan Pussy Riot.

Satu-satunya proyek yang masih berfungsi merekatkan personel Pussy Riot ialah situs berita independen,MediaZone. Dibentuk pada 2014, MediaZone berfokus pada transparansi pengadilan, penegakan hukum, dan sistem penjara di Rusia. Keberadaannya jadi populer mengingat beberapa media independen di Rusia telah diberangus.

Dorian Lynskey dalam “Pussy Riot: Activist, Not Pin-Ups” yang diterbitkan The Guardian mengatakan bahwa tak sebaiknya Pussy Riot dihormati dengan cara meromantisir kiprah mereka. Cara terbaik mengenang mereka, tulis Lynskey, adalah menjadikan segala elemen yang terdapat pada Pussy Riot—konser dadakan, okupasi tempat publik, hingga pernak-pernik balaclava—sebagai inspirasi untuk bertindak melawan rezim lalim Putin.

“Kami terlibat dalam pertarungan politik yang saat ini sedang berlangsung di Rusia. Dan kami, kaum oposisi, ingin Putin dan kroni-kroninya lengser. Kami ingin Rusia menjadi tempat yang berbeda ... Dan kami percaya bahwa kami punya kekuatan untuk mewujudkannya,” kata Tolokonnikova.

Salah satu kekuatan itu bernama humor.

“Jika kamu enggak punya rasa humor, kamu akan mati di Rusia,” katanya. “Apa yang mereka [pemerintah Rusia] lakukan memang serius. Tapi, satu-satunya [opsi] yang kamu miliki hanyalah kasih mereka senyum dan lanjutkan apa yang sudah kamu lakukan," jawab Alyokhina.

Infografik Pussy Riot

Protes Pussy Riot Adalah Wajah Rusia Sebetulnya

Aksi Pussy Riot di lapangan Luzhniki bukan sekedar cari sensasi. Pussy Riot seperti ingin menunjukkan pada publik bahwa di balik gempita penyelenggaraan Piala Dunia, ada banyak sekali masalah dalam negeri yang belum selesai dituntaskan. Pemerintah Putin, bagi Pussy Riot, adalah sumber seabrek masalah itu.

Represi terhadap kelompok LGBT, misalnya. Pemerintah Rusia dinilai gagal membewrikan perlindungan dan jaminan atas hak-hak LGBT. Lima tahun lalu, Putin mengesahkan Undang-Undang Anti-Gay yang melarang “propaganda hubungan seksual non-tradisional.” Selain itu, Putin juga gagal menyikapi gerombolan neo-Nazi yang menyerang kelompok LGBT seperti yang terjadi pada Moscow Gay Pride (2007).

Selain membungkam kelompok minoritas, represi Putin juga menyasar oposisi.

“Tak peduli seberapa terkenal Anda, berapa banyak kepala negara di dunia yang kenal Anda, atau berapa banyak orang yang akan marah atas kematian Anda, jika Anda menyebabkan masalah, Anda bisa dan akan terbunuh," tulis William Browder di CNN tentang betapa sulitnya hidup di Rusia di tengah perburuan oposisi.

Kenyataannya memang demikian. Putin tak ragu main pukul, membuat undang-undang yang membatasi kebebasan hak sipil yang dengan mudah dipakai memenjarakan warga atas dalih “perilaku anarkis,” hingga merekayasa pengadilan untuk menggebuk lawan politiknya yang dituduh melakukan penggelapan anggaran, penipuan pajak, intimidasi kepada aparat, sampai pembunuhan.

Korbannya sudah banyak. Dari Garry Kasparov (mantan juara catur dunia), Boris Nemtsov (mantan Wakil Perdana Menteri), Alexander Litvinenko (mantan petinggi Badan Keamanan Federal/FSB serta agen KGB), hingga Anna Politkovskaya (reporter surat kabar oposisi Novaya Gazeta).

Mereka semua dipersatukan oleh satu perkara: mengkritik kebijakan Putin yang dianggap merugikan dan membahayakan masyarakat Rusia. Risiko yang mereka tempuh pun tak main-main: mengasingkan diri di luar negeri, masuk penjara, bahkan mati.

Upaya lain Putin untuk menggebuk oposisi adalah mendudukkan mereka sebagai “elemen asing”, dan dengan demikian, “musuh negara", atau bahkan "pengkhianat".

“Seorang tokoh oposisi—bahkan yang vokal sekalipun—akan berjuang demi tanah airnya. Namun, elemen asing ini terdiri dari orang-orang yang bekerja untuk kepentingan negara lain dan dimanfaatkan sebagai alat untuk mencapai tujuan politik pihak asing,” ujar Putin.

Masalah politik Rusia memang bukan hanya Putin. Tapi Putin jelas ada di pusaran masalah. Mengutip The Economist, represi terhadap oposisi bukan tanda kekuatan, melainkan wujud dari ketakutan dan keputusasaan Putin.

Saya bisa membayangkan bagaimana wajah Putin tertekuk tegang dan memperlihatkan kekesalan teramat ketika tahu bahwa dalang di balik insiden “penonton masuk lapangan” pada laga pamungkas Piala Dunia 2018 adalah musuh bebuyutannya: Pussy Riot.

Baca juga artikel terkait RUSIA atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Politik
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf