tirto.id - Sabtu (09/06/2018) lalu, atau lima hari menjelang perhelatan Piala Dunia 2018 di Rusia, Vladimir Putin selaku presiden dari tuan rumah, mengeluarkan pidato sambutan melalui video singkat yang ditujukan kepada seluruh negara peserta dan para suporter yang hadir.
"Kami telah melakukan segala hal demi memastikan agar tamu kami para atlet, para ahli profesional, dan tentu saja, para suporter, merasa seperti di rumah sendiri. Kami telah membuka negara dan hati kami kepada dunia. Selamat datang di Piala Dunia FIFA!" Demikian penggalan pidato Putin dalam video tersebut.
Putin jelas semringah mengingat tak sedikit pihak yang sebelumnya meragukan Rusia sebagai tuan rumah Piala Dunia 2018. Bahkan setelah terpilih pun suara-suara gugatan masih banyak terdengar. Sebagai orang nomor satu di negaranya, yang juga kerap dituding sebagai "diktaktor", Putin tentu saja menjadi sasaran paling empuk untuk dikritik.
Salah satu pihak yang bersuara keras mengkritik Putin adalah Ian Austin, anggota parlemen Inggris dari Partai Buruh. Tidak tanggung-tanggung, Austin menuding Putin akan mencoba memperkuat citra Rusia melalui Piala Dunia dengan cara yang sama seperti Adolf Hitler saat mendompleng Olimpiade 1936 demi Nazi Jerman. Ia juga menambahkan bahwa Inggris semestinya tak perlu mengikuti Piala Dunia tahun ini.
"Sejujurnya saya tidak ingin Inggris berpartisipasi di Piala Dunia 2018. Saya kira kita tidak seharusnya mendukung Putin dalam memanfaatkan Piala Dunia ini sebagai pencitraan agar orang-orang melupakan pelanggaran HAM berat yang menjadi tanggung jawabnya," tandasnya.
Pernyataan Austin turut disetujui oleh Menteri Luar Negeri Inggris, Boris Johnson. Menurut menteri berusia 53 tahun itu, perbandingan yang dikemukakan Austin sudah benar. "Saya rasa karakterisasi Anda tetang apa yang akan terjadi di Moskwa, Piala Dunia, di semua stadion – ya, saya memikirkan soal perbandingan dengan (Olimpiade) 1936 adalah hal tepat," ujarnya.
Johnson juga percaya Putin tengah berupaya untuk menjadikan Rusia sebagai negara adidaya kembali usai runtuhnya Uni Soviet, tidak peduli berapa banyak "biaya" yang mesti dibayar.
"Saya pikir Putin merasa bahwa Rusia harus memanfaatkan momen (Piala Dunia) ini, jadi dia ingin menimbulkan masalah di mana pun dia bisa. Yang pasti ini bukan untuk kami (Inggris), namun untuk rakyat Rusia yang menginginkan hal tersebut. Setelah melihat bagaimana negara mereka ‘dipermalukan’, mereka ingin merasakan Rusia bisa kuat kembali."
Melalui juru bicara Kremlin (Kantor Kepresidenan Rusia), Dmitry Peskov, Rusia memberi tanggapan yang tak kalah sengit usai mengetahui pernyataan Inggris tersebut. "Sungguh pernyataan yang menjijikkan yang tidak pantas datang dari Menteri Luar Negeri negara mana pun. Tidak diragukan, ini sangat menghina dan tidak bisa diterima."
Reaksi lain yang tak kalah keras juga muncul dari duta besar Rusia untuk Inggris, Alexander Yakovenko. "Tidak ada satu orang pun yang berhak menghina Rusia yang telah mengalahkan Nazi dan mengorbankan 25 juta nyawa dalam perang tersebut, apalagi menyamakan kami dengan mereka,” tegasnya.
Sejak Maret 2018 lalu, Perdana Menteri Inggris, Theresa May, juga telah mengingatkan para menteri, diplomat, serta keluarga kerajaan untuk tidak hadir ke pagelaran Piala Dunia 2018 di Rusia. Hal ini diutarakan May tak lama setelah terjadinya percobaan pembunuhan bekas mata-mata Rusia yang membelot ke Inggris, Sergei Skripal beserta putrinya. Hubungan kedua negara pun masih mendingin hingga saat ini.
Segudang Masalah Rusia: Isu Kemanusiaan, Doping, Korupsi
Terpilihnya Rusia sebagai tuan rumah Piala Dunia 2018 diseraki dengan banyak isu kontroversi. Mulai dari kultur rasialisme yang masih mengakar, propaganda anti LGBT, dugaan membeli suara (bersama Qatar), invasi militer yang menyebabkan konflik di Ukraina, keterlibatan dalam konflik Suriah, hingga yang berbau konspiratif seperti tuduhan sebagai dalang jatuhnya pesawat Malaysia MH17.
Silang sengkarut segala problematika di Rusia tersebut menjadi semacam perpaduan yang buruk, sebagaimana ditulis Peter Tatchell dalam kolomnya di Guardian: Gay rights abuses, war crimes and World Cup fever – it’s an ugly mix. Tatchell, aktivis kemanusiaan asal Inggris, dengan tegas menulis kehadirannya di Rusia bukan demi sepakbola, melainkan untuk melayangkan protes terhadap keadaan yang terjadi di negeri Putin tersebut.
"Saya hadir di Piala Dunia kali ini -- tetap tidak seperti ribuan suporter lainnya yang akan bersorak sorai. Sebuah olahraga yang normal tidak dapat berelasi dengan rezim yang abnormal seperti pemerintahan Vladimir Putin. Kaum LGBT dan banyak orang lainnya mengalami penindasan dan persekusi akibat kekerasan kaum kanan. Semua ini harus digugat -- itulah kenapa saya berada di Moskwa," tulis Tatchell.
Tatchell bukan aktivis kemarin sore. Tahun 2007 ia sudah pernah merasakan langsung hantaman bogem mentah para kaum Neo-Nazi Rusia saat menghadiri parade Moscow Gay Pride. "Tak ada hukum di Moskwa. Hak untuk protes tidak berlaku. Rusia bukan (negara) demokrasi,” ujarnya saat itu. Namun Rusia tetap peduli setan. Pada 2013, atau satu tahun menjelang Olimpiade Musim Dingin di Rusia, Putin justru mensahkan Undang-Undang Anti Gay yang berisi larangan "propaganda hubungan seksual non-tradisional".
Wabah Neo-Nazi di Rusia tidak hanya menjadi masalah bagi kaum LGBT. Pada 3 Desember 2010 atau satu hari setelah FIFA mengumumkan Rusia akan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2018, Ketua FARE (Football Against Racism in Europe) Monitoring Centre, organisasi yang bekerja sama dengan UEFA untuk memantau segala bentuk rasialisme dalam sepakbola Eropa, Rafał Pankowski, juga sudah memperingatkan hal tersebut. Ironisnya, Federasi Sepakbola Rusia dinilai Pakowski terkesan menganggap remeh persoalan ini.
"Nyaris tidak pernah ada pengakuan dari pemerintah maupun otoritas sepakbola Rusia mengenai tindak rasialisme, baik di dalam atau di luar stadion, dan tiap masalah itu muncul, selalu ada semacam penolakan yang terpola," ujar Pankowski seperti dilansir Guardian.
"Slogan Nazi mudah dijumpai di banyak stadion Rusia. Pertandingan sering terganggu oleh nyanyian rasialis yang ditujukan pada pemain kulit hitam. Saya telah berada di Moskwa minggu ini dan melihatnya sendiri. Ada grafiti rasialis di jalanan. Toko-toko buku besar secara terbuka menjual literatur rasialis. Kejahatan yang didasari kebencian juga mengalami peningkatan. Orang-orang kulit hitam sering dipukuli oleh geng skinhead," tambahnya.
Pada Mei 2018 lalu, FARE juga telah melansir laporan setebal 19 halaman yang merangkum segala bentuk pelanggaran dalam sepakbola Rusia sepanjang tahun 2017-2018. Laporan tersebut diberi judul: Discriminatory incidents in Russian football 2017 – 2018.
Terkait rasialisme, pada akhir Oktober 2013, Yaya Toure, gelandang Manchester City asal Pantai Gading, juga pernah mengalami langsung serangan rasialis ketika timnya tandang ke VEB Arena, markas CSKA Moscow dalam laga lanjutan Liga Champions. Usia serangan tersebut, Toure memberi peringatan: "Jika kami (Pantai Gading) tidak merasa aman untuk datang ke Piala Dunia 2018 di Rusia, kami tidak akan berangkat."
Putin, sebagaimana politikus kebanyakan, memang telah menjanjikan bahwa Rusia akan menjadi panitia penyelenggara yang baik, termasuk juga membereskan segala isu rasialisme yang beredar kuat. Seperti yang dikatakannya dalam upacara serah terima tuan rumah Piala Dunia yang dilangsukan di Rio Janeiro, Brazil, pada Juli 2014 silam.
"Presiden (FIFA) Blatter secara pribadi berharap agar Piala Dunia dapat membantu Rusia mengentaskan masalah sosial seperti narkoba, rasialisme, dan tantangan lain yang kami hadapi saat ini."
Sulit untuk tidak menduga janji Putin sebagai pepesan kosong sebab tak sampai satu tahun setelah ia mengucapkan janjinya tersebut, mantan Presiden Federasi Sepakbola Rusia, Vyacheslav Koloskov, yang juga mantan wakil Presiden FIFA selama 16 tahun, justru terkesan menyepelekan isu rasialisme yang ada di negara mereka.
Tragisnya lagi, Koloskov mengatakan hal tersebut setelah sekelompok suporter Torpedo Moscow terbukti menyerang Hulk, penyerang asal Brazil yang kala itu bermain untuk Zenit St. Petersburg, dengan suara-suara mirip monyet dari tribun.
"Monkey chants dianggap sebagai bentuk rasialis. Ditulis di mana hal tersebut? Saya bukan bermaksud agar kami tidak bersikap, tapi kami kelewat sering memojokkan diri sendiri gara-gara hal ini."
Rusia di bawah Putin memang memiliki segudang masalah, terutama dalam hal kemanusiaan. Human Right Watch bahkan menyebut era Putin sebagai yang terburuk sejak Soviet masih berdiri. Untuk menyebut beberapa contoh lain: aneksasi Crimea dari Ukraina yang masih menyisakan ketegangan hingga saat ini, serta tuduhan sebagai dalang jatuhnya pesawat Malaysia Arlines MH17 di Grabovo, Donetsk.
Sementara di luar topik kemanusiaan, ada dua isu krusial yang turut mencoreng nama Rusia: pelanggaran aturan doping dalam Olimpiade Musim Dingin 2014 dan dugaan praktik beli suara yang mereka lakukan bersama Qatar agar terpilih sebagai tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022.
Sekadar informasi tambahan: saat terbukti melakukan pelanggaran doping, Rusia juga bertindak sebagai tuan rumah.
Pantaskah Rusia menjadi Tuan Rumah Piala Dunia?
Dengan segala permasalahan yang masih menyelimuti Rusia, amat wajar jika kemudian banyak orang menyangsikan kelayakan mereka sebagai tuan rumah Piala Dunia. Sepp Blatter, bekas Presiden FIFA yang terkenal itu, pernah menjawab kesangsian tersebut tak lama setelah bertemu dengan Putin di Sochi, Rusia, pada April 2015 lalu.
"Jika beberapa politikus merasa keberatan karena Rusia akan menjadi tuan rumah Piala Dunia, saya selalu mengatakan kepada mereka: ‘Ya sudah, tak usah kemana-mana, di rumah saja’. Organisir sendiri komitemu dan berikan sendiri bintang lima," sindir Bletter kala itu.
Ironisnya, hanya berjarak delapan bulan usai mengutarakan hal tersebut, Blatter (dan juga bekas Presiden UEFA, Michel Platini) menggemparkan dunia sepakbola setelah terbukti terlibat kasus dugaan suap dan korupsi di FIFA selama 20 tahun terakhir. Keduanya dianggap mengambil keuntungan dalam penjualan hak siar Piala Dunia kepada Persatuan Sepak Bola Karibia (CFU) pada 2005. Hukuman untuk mereka: dilarang mengikuti segala kegiatan di sepak bola selama delapan tahun.
Terlepas dari bagaimana persoalan yang dihadapi, Rusia memang terlihat amat serius untuk menyelenggarakan Piala Dunia dengan sebaik-baiknya, mengingat mereka juga adalah negara Eropa Timur sekaligus negara terluas pertama yang menjadi tuan rumah festival empat tahunan ini.
Salah satu bentuk keseriusan Rusia dapat dilihat dari besaran jumlah dana yang dihabiskan pemerintah Rusia untuk membangun infrastruktur penunjang, yakni 678 miliar rubel atau sekitar 160 triliun rupiah. Dari jumlah tersebut, 57,6% berasal dari anggaran federal, 13,6% dari anggaran pemerintah daerah, 28,8% dari berbagai perusahaan swasta dan perusahaan yang dikelola negara.
Sementara laporan Forbes pada 11 Juni 2018 menyebutkan, ada 15 biliuner Rusia yang juga turut menyumbang dana dalam perhelatan ini. Mereka antara lain: Viktor Vekselberg, Arkady Rotenberg, Mikhail Fridman, German Khan, Alexei Kuzmichev, Pyotr Aven, Aras Agalarov, Gennady Timchenko, Alisher Usmanov, Leonid Fedun, Dmitry Kamenschik, Alexander Ponomarenko, Alexander Skorobogatko, Roman Trotsenko, Dmitry Pumpyansky.
Seluruh pertandingan di Piala Dunia nanti akan dimainkan di 12 stadion yang tersebar di 11 kota. Dari Kaliningrad di barat ke Yekaterinburg di timur pegunungan Ural dekat perbatasan Eropa - Asia yang berjarak kurang lebih 2500 kilometer; Dari St. Petersburg di utara hingga ke Sochi, daerah ujung selatan yang dekat Laut Hitam dengan bentangan sekitar 1700 kilometer.
Diakui atau tidak oleh Rusia, Piala Dunia tentunya akan menjadi momentum yang tepat bagi Rusia, terutama Putin, untuk memperbaiki citra di kancah Eropa. Sebagaimana yang juga sempat disampaikan Matthew Rojansky, direktur Kennan Institute, sebuah research group di Washington, Amerika Serikat.
"(Ajang) ini adalah platform yang tepat untuk Putin, dan Tuhan tahu dia telah melakukan segalanya untuk mendapatkannya. Dia akan tampil sebaik-baiknya sebagai presiden yang ramah dan diplomatis.”
Kendati demikian, Rojansky tetap mengingatkan: "Jika yang dicarinya adalah pujian dari para pemimpin negara lain, tentu saja itu tidak realistis dan, saya kira, Putin sudah mengerti hal itu."
Editor: Eddward S Kennedy