Menuju konten utama

Di Balik Kunjungan Raja Salman ke Rusia

Kunjungan Raja Salman ke Rusia diprediksi akan mengubah peta politik di Timur Tengah.

Di Balik Kunjungan Raja Salman ke Rusia
Raja Salman bertemu Vladimir Putin dalam kunjungannya ke Rusia (5/10/2017). FOTO/REUTERS

tirto.id - Kunjungan Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz al-Saud selama empat hari pada 4 Oktober ke Rusia menandakan babak baru dalam hubungan diplomatik kedua negara. Ini momen bersejarah: untuk pertama kalinya kepala negara Saudi menginjakkan kaki di Negeri Beruang Merah.

Dalam pertemuan Raja Salman dan Presiden Rusia Valdimir Putin di Kremlin, kedua belah pihak terlibat pembahasan mengenai peningkatan kerja sama di bidang perdagangan, investasi, ekonomi, budaya dan kemanusiaan. Beberapa nota kesepahaman juga ditandatangani misalnya soal eksplorasi dan penggunaan luar angkasa untuk tujuan damai.

Saudi juga sepakat untuk menginvestasikan 1 miliar dolar AS dalam proyek energi Rusia. Sibur, perusahaan petrokimia Rusia juga akan membangun pabrik di Saudi dalam sebuah kesepakatan terpisah dengan nilai 1,1 miliar dolar AS.

Baca juga:Mengeruk Fulus dari Raja Salman dan Rombongan

Selain itu, Saudi juga membeli sistem pertahanan udara Rusia S-400, menjadikannya negara kedua yang menggunakan sistem pertahanan udara ini setelah Turki. Public Investment Fund of Saudi Arabia (PIF) dan Russian Direct Investment Fund (RDIF) sepakat untuk berinvestasi di United Transport Concession Holding senilai 100 juta dolar AS.

"Ini kunjungan pertama seorang Raja Arab Saudi dalam sejarah hubungan kita dan menjadi peristiwa penting," kata Putin saat menyambut pemimpin Saudi tersebut di sebuah balai Kremlin yang berhiaskan emas.

"Saya yakin kunjungan Anda akan meningkatkan hubungan antara negara kita," lanjut Putin.

"Tujuan kami adalah untuk memperkuat hubungan kita demi kepentingan perdamaian dan keamanan, demi pengembangan ekonomi dunia," Raja Salman menanggapi.

Dari Lawan Jadi Kawan

Hubungan diplomatik Saudi-Rusiasudah terjalin sejak 1926 saat Rusia masih bagian dari Uni Soviet dan Arab Saudi masih menggunakan nama Kingdom of Hejaz and Nejd. Namun, hubungan kedua negara renggang pada 1938, salah satu disebabkan oleh Saudi yang berubah haluan ke negara Barat. Selama masa Perang Dingin, Saudi kerap membantu mempersenjatai pemberontak Afghanistan yang berperang melawan invasi Soviet.

Hingga 2007, saat Putin mengunjungi Saudi, beberapa pihak menyatakan hal ini sebagai langkah awal guna mencairkan hubungan kedua negara. Putin juga menjadi presiden Rusia pertama yang menginjakkan kaki ke negara Teluk tersebut.

Tahun 2012 merupakan kali pertama Rusia mengumumkan perdagangan dengan Saudi. Kesepakatan dagang itu mencapai 20 juta dolar AS namun disertai syarat bahwa Rusia tak boleh menjual sistem rudal C-300 ke Iran, musuh bebuyutan Saudi.

Akan tetapi Presiden Putin mengambil langkah sebaliknya. Ia menandatangani kontrak senjata baru bersama Iran senilai 1 miliar dolar AS. Momen ini membuat Saudi tak percaya kepada Rusia. Kedua negara semakin berseberangan lantaran Moskow menuding Riyadh mendukung perlawanan anti-Rusia, entah itu di Afghanistan, Chechnya atau di Dagestan.

Selain itu, Rusia juga menentang tindakan yang dilakukan Saudi di Yaman. Kedua negara juga terlibat menyokong dua kubu yang berseberangan dalam konflik di Suriah. Rusia satu kubu dengan Iran yang mendukung Presiden Suriah Bashar al-Assad. Sedangkan Saudi bersama sekutunya AS menjadi kelompok oposisi yang menentang rezim Bashar al-Assad.

Sejak Salman menjadi Raja Arab Saudi tahun 2015, hubungan Rusia dan Saudi sedikit mencair. Putra Raja Salman, Pangeran Mohammed bin Salman, beberapa kali mengunjungi Rusia untuk menandatangani kerja sama energi dan investasi. Raja Salman memilih pendekatan yang lebih halus saat berurusan dengan Rusia dibandingkan pendahulunya.

Infografik arab dan rusia yang akrab

Upaya Meredam Iran

Saudi sangat menentang kehadiran Iran di konflik Suriah maupun Yaman. Perluasan pengaruh Iran di Timur Tengah adalah ancaman bagi Saudi. Sehingga untuk meredam pergerakan Iran, Saudi harus mendekati mitra utama Iran yaitu Rusia.

Baca juga:Jejak Permusuhan Iran dan Arab Saudi

Dalam kunjungan Raja Salman, Saudi bersedia menyambut kembali Rusia di Timur Tengah. Investasi yang mencapai miliaran dolar AS di Rusia menjadi indikasi upaya Riyadh untuk menjadi mitra strategis baru Rusia di Timur Tengah.

Saudi juga akan mencari jaminan dari Putin bahwa milisi Iran yang berperang bersama rezim Assad akan dipaksa meninggalkan Suriah sebagai bagian dari penyelesaian perdamaian. Termasuk mendesak Iran untuk menghentikan dukungannya kepada oposisi Houthi di Yaman.

“Kami menekankan bahwa keamanan dan stabilitas kawasan Teluk dan Timur Tengah merupakan kebutuhan mendesak untuk mencapai stabilitas dan keamanan di Yaman. Ini menuntut Iran agar berhenti ikut campur dalam negeri di wilayah tersebut, untuk menghentikan tindakan yang merusak stabilitas di wilayah ini,” tegas Raja Salman, dalam sambutannya di Moskow.

Bagaimanapun, Moskow tentu bersedia memainkan permainan yang diajukan Saudi. Karena pada dasarnya Rusia mendapatkan keuntungan politik. Dalam konteks ini, partisipasi Saudi adalah kunci Rusia dalam upaya untuk menyelesaikan krisis Suriah. Rusia dapat mengandalkan bantuan Saudi untuk membawa oposisi ke Jenewa (melegitimasi hasil konflik Suriah) dan mendukung penyelesaian politik konflik Suriah.

Baca juga:Uang yang Mengakrabkan Cina dan Arab Saudi

Anna Borshchevskaya dari The Washington Institute for Near East Policy mengingatkan Saudi bahwa Putin juga punya kepentingan sendiri. Ia akan dengan senang hati menerima uang investasi Saudi. Namun tujuan utama Putin adalah mengurangi pengaruh AS. Ia akan berusaha mendekati sekutu-sekutu AS sementara di sisi lain ia juga akan mendekati Iran, bekerja sama dengan Hizbullah dan memastikan bahwa Bashar al-Assad tetap berkuasa di Damaskus.

Bagaimana dengan Amerika Serikat?

Arab Saudi adalah sekutu utama Amerika di Timur Tengah. Kedekatan kedua negara sudah lebih dari tujuh dekade. Namun beberapa Analis menilai bahwa kunjungan Raja Salman ke Moskow mempengaruhi kawasan dan akan diikuti oleh pemimpin-pemimpin Teluk lainnya.

"Lambat laun sejumlah pemimpin Teluk menoleh ke Moskow dan menurut saya alasan sederhananya: Rusia telah memainkan lebih banyak elemen kunci di Timur Tengah karena AS telah mengalami kemunduran dalam beberapa hal, terutama di Suriah," kata Brian Katulis, dari Center for American Progress.

Pemicu Saudi melirik Rusia disebabkan sikap AS yang tak tegas pada nuklir Iran. Fokus AS di Suriah sendiri terpecah antara memerangi ISIS atau menggulingkan Assad.

"Tiga tahun yang lalu, tindakan Washington sangat penting," kata Anatoly Tsiganok, seorang analis pertahanan yang berbasis di Moskow. "Sekarang, situasi telah berubah, itulah sebabnya sekarang negara-negara Timur Tengah memperhatikan Rusia."

Kemunduran AS di Timur Tengah menjadi sinyal yang baik bagi Rusia, apalagi Saudi telah membuka tangan untuk menerima Rusia. Anna Borshchevskaya berpandangan, meskipun Moskow belum memiliki kapasitas untuk menggantikan AS, hal ini akan menjadi motor penggerak bagi diplomasinya di dunia.

"Sudah jelas bahwa Rusia telah mampu menyiasati kelemahannya baik dan masuk di berbagai wilayah di mana AS mengalami kemunduran," katanya.

Baca juga artikel terkait ARAB SAUDI atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Politik
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Windu Jusuf