tirto.id - Proses pra-pemilihan presiden Rusia memasuki babak baru. Pada Minggu (24/12/2017) lalu, panitia khusus pemilihan Rusia resmi melarang pemimpin kelompok oposisi, Alexei Navalny, untuk maju mencalonkan diri sebagai presiden dalam ajang pemilihan 2018. Pihak panitia beralasan, Navalny memiliki riwayat pelanggaran hukum di masa lampau dan oleh karenanya tidak bisa maju dalam ajang pemilihan.
Kepala Komisi Pemilihan Umum Pusat Rusia, Ella Pamfilova, telah mengingatkan berulang kali bahwa Navalny tidak dapat maju dalam pemilihan sebab ia pernah dipenjara. Akan tetapi, pihak panitia tetap mengizinkannya mengirimkan berkas serta menyerahkan nasib Navalny pada prosedur resmi.
Begitu keputusan diumumkan, Navalny langsung menyerukan boikot pemilu yang bakal diselenggarakan pada Maret tahun depan. “Kami menyatakan mogok. Kami akan minta semua orang untuk memboikot pemilihan ini dan kami takkan mengakui hasilnya,” katanya di hadapan sekitar 750 pendukung.
“Kau [Putin] telah mengubah negara ini jadi sapi perah pribadi, untuk kolega dan keluarga Anda. Itu sebabnya Anda tak seharusnya jadi presiden lagi. Itu mengapa Anda seorang presiden yang buruk,” seru Navalny seperti dikutip Aljazeera. “Hanya Putin dan calon-calon yang ditunjuk Putin yang ikut pemilu. Mencoblos sama artinya dengan memilih kebohongan dan korupsi,"
Vladimir Putin yang telah berkuasa sejak tahun 1999 mengumumkan kepada publik bahwa ia mencalonkan dirinya lagi sebagai presiden untuk masa jabatan enam tahun berikutnya terhitung sejak 2018.
Siapakah Alexei Navalny?
Alexei Navalny merupakan aktivis anti-korupsi yang lahir pada 4 Juni 1976 di Butyn, wilayah Moskow. Ia lulus sekolah hukum pada 1998 dari Universitas Persahabatan Rakyat Moskow. Sepak terjangnya di publik dimulai pada 2008 ketika ia menulis lewat blog pribadinya tentang dugaan korupsi di beberapa perusahaan besar yang dikelola pemerintah. Informasi-informasi tentang korupsi ia himpun lewat partisipasinya sebagai pemegang saham minoritas di perusahaan bersangkutan. Navalny juga menyerang partai yang sedang berkuasa saat itu, Rusia Bersatu, yang dianggap turut ikut serta dalam budaya korup pemerintahan.
Aksi-aksi Navalny menarik perhatian masyarakat Rusia, terutama pengguna media sosial yang didominasi kelompok usia muda. Penggunaan blog maupun media sosial dinilai paralel dengan gaya politiknya yang frontal dan tajam mengkritik pemerintahan Rusia di bawah komando Putin. Relasi antara Navalny dan pendukungnya semakin erat terjalin hingga memuncak pada demonstrasi besar-besaran di seantero Rusia menentang kecurangan dalam pemilu antara 2011-2012.
Navalny dianggap jadi salah satu pihak yang bertanggung jawab atas gelora massa-rakyat. Pemerintah yang menyadari betapa kritisnya Navalny, mulai melakukan pengawasan dan represi. Pada 2013, Navalny dihukum lima tahun penjara karena tuduhan penggelapan serta manipulasi anggaran daerah Kirov sebesar $270.000.
Bagi Navalny, hukuman tersebut bermotif politis. Ia lantas meminta bantuan Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa guna melakukan penyelidikan. Setelah diproses, Pengadilan HAM Eropa menyatakan Navalny tidak mendapatkan pemeriksaan yang adil dalam persidangan pertama. Walhasil, Mahkamah Agung Rusia pun memerintahkan pemeriksaan ulang.
Reputasi militan Navalny membuatnya tak sekadar figur oposisi biasa. Dilansir dari BBC, pada 2012 ia maju dalam pemilihan pimpinan oposisi dan berhasil menang melawan pembangkang veteran dan mantan juara dunia catur, Garry Kasparov. Setahun berselang, ia dipercaya tampil dalam ajang pemilihan walikota Moskow. Tak disangka, ia dapat memberikan perlawanan sengit kepada loyalis Putin, Sergei Sobyanin. Hanya dengan berbekal media sosial dan omongan dari mulut ke mulut, Navalny—meski kalah—sukses memperoleh 27% suara.
“Kami akan terus melawan pemerintahan feodal yang sedang dibangun Rusia, di mana 83% kekayaan nasional hanya dimiliki segelintir populasi saja,” jelasnya pada satu kesempatan. “Sistem yang dijalankan Putin telah menghisap darah Rusia.”
Mereka yang Disingkirkan Putin
Gagalnya Navalny maju dalam pemilihan presiden semakin menebalkan anggapan bahwa Putin tak ragu menggembosi kekuatan kelompok oposisi. Navalny yang digadang-gadang jadi saingan berat Putin jika bertanding pada pemilihan 2018, nyatanya musti menerima kenyataan pahit tersingkir dari gelanggang dengan cara yang dibuat-buat.
Jika ditelisik lebih jauh, Navalny bukan sosok oposisi pertama yang disikat Putin. Sejak berkuasa, Putin memang dikenal bertangan dingin menyikat siapapun yang dianggap mengganggu pemerintahannya. Baik dengan cara “halus” hingga “kasar,” dari kalangan pengusaha kaya sampai para aktivis anti-pemerintahan.
Pada 2000, saat Putin pertama kali menjabat presiden, ia memutuskan untuk membatasi gerak-gerik kelompok oligarki—orang kaya Rusia yang memberi pengaruh besar terhadap politik dan media. Korban pertamanya adalah Vladimir Gusinsky, pemilik jaringan NTV yang saat itu kerap mengkritik kebijakan pemerintahan; terutama kebijakan perang di Chechnya.
Kremlin sempat meminta Gusinsky untuk mengubah editorial pemberitaannya agar tak selalu menyudutkan pemerintah. Karena Gusinsky menolak, pemerintah menuduhnya telah melakukan penipuan. Dengan alasan keamanan, Gusinsky pun pindah dari Rusia.
Kemudian, ada nama Mikhail Khodorkovsky, mantan kepala perusahaan minyak Yukos. Setelah purna tugas, ia menyuarakan tuduhan kepada Putin dan koleganya yang melakukan korupsi secara masif. Khodorkovsky lalu ditangkap dan dibui selama satu dekade atas tuduhan penghindaran pajak dan penipuan. Sekarang ia mengasingkan diri ke Swiss.
Kelompok punk-feminis Pussy Riot juga pernah jadi sasaran Putin. Mereka didakwa dua tahun penjara akibat dianggap bertindak “anarkis” yang didorong “rasa benci akan agama” usai tampil dalam pentas punk bertemakan anti-Putin pada Februari 2012. Sementara Sergei Udaltsov, pemimpin gerakan protes sayap kiri, mendekam sebagai tahanan rumah karena menyiarkan video yang dianggap pemerintah mengandung hasutan dan kebencian.
Nasib serupa juga dialami mantan juara dunia catur, Garry Kasparov yang dikenal sangat vokal kepada Putin dan kroni-kroninya. Ia didakwa bersalah atas kasus kekerasan terhadap aparat saat aksi protes pada 2012 dan dihukum lima tahun penjara. Meski demikian, Kasparov memilih meninggalkan Rusia dengan alasan agar terus bisa menjalankan aktivisme politiknya.
Jalan para oposisi tak selalu berakhir di kurungan penjara. Beberapa bahkan ada yang harus merenggang nyawa akibat suara protes yang terus digaungkan. Mantan Wakil Perdana Menteri Rusia Boris Nemtsov misalnya. Pada 2015, peluru menembus tubuh tokoh oposisi anti-Putin tersebut. Nemtsov tak terselamatkan. Putrinya meyakini ada campur tangan Putin di balik meninggalnya sang ayah.
Selanjutnya adalah Alexander Litvinenko. Mantan petinggi Badan Keamanan Federal (FSB) serta agen KGB ini tewas akibat diracun polonium radioaktif saat ia berada di London pada 2006. Litvinenko memang dikenal kritis terhadap Putin. Kematiannya diduga karena ia melakukan penyelidikan terhadap pembunuhan reporter surat kabar oposisi Novaya Gazeta, Anna Politkovskaya, yang semasa hidupnya konsisten melancarkan kritik atas kebijakan Rusia di Chechnya.
Cara Putin Menghalau Oposisi
William Browder lewat tulisannya di CNN menjelaskan, tinggal di Rusia merupakan perkara sulit. “Tak peduli seberapa terkenal Anda, berapa banyak kepala negara di dunia yang kenal Anda, atau berapa banyak orang yang akan marah atas kematian Anda, jika Anda menyebabkan masalah, Anda bisa dan akan terbunuh.”
Browder menambahkan hal tersebut tidak hanya berhasil menghalau para pembangkang, akan tetapi juga menyelipkan ketakutan ke dalam diri orang banyak. “Mereka mungkin bakal berpikir dua kali sebelum turun ke jalan untuk memprotes korupsi, perang di Ukraina, atau standar hidup yang kelewat buruk. Yang jadi soal: apa agenda-agenda ini pantas dibayar dengan nyawamu?”, tulisnya.
Tapi kenyataannya memang demikian. Cara-cara yang dipakai Putin antara lain: membuat undang-undang yang membatasi kebebasan hak sipil yang dengan mudah dipakai memenjarakan warga atas dalih “perilaku anarkis.” Selanjutnya, Putin juga merekayasa pengadilan untuk menggebuk lawan politiknya yang “dituduh” melakukan penggelapan anggaran, penipuan pajak, intimidasi kepada aparat, sampai pembunuhan.
Seperti yang dicatat The Intercept, Kremlin juga memperluas kontrolnya ke ranah dunia siber dan media massa. Andrei Soldatov dan Irina Borogan dalam The Red Web (2015) menjelaskan, pemerintah Rusia telah membangun sistem penginderaan dan sensor internet yang ambisius. “Untuk membuat sistem itu bekerja, pemerintah membutuhkan banyak orang,” tulis Soldatov dan Borogan. “Para ahli membutuhkan pelatihan teknis, diminta mematuhi protokol, tidak banyak bertanya, serta diwajibkan merahasiakan operasi tersebut.”
Program ini bisa dibilang berhasil memaksa orang-orang tunduk di bawah kendali pemerintah. Akan tetapi, menurut Soldatov dan Borogan, ada satu nama yang menolak patuh yakni Pavel Durov, CEO VKontakte, media sosial nomor satu di Rusia. Saat program tersebut dijalankan, ia diminta otoritas untuk menyerahkan data pengguna. Namun, Durov menolaknya. Tak hanya sekali, melainkan dua kali.
Akibat penolakan itu, Durov harus menanggung akibatnya. Durov dipaksa melepaskan saham mayoritasnya VKontakte, meninggalkan jabatannya, dan hidup dalam pengasingan. Kendati begitu, ia tak menyerah. Durov justru membuat aplikasi lain bernama Telegram yang dilengkapi fitur enkripsi dan mode penghancuran diri ('self-destruct')yang dirancang agar tahan dari pengawasan pemerintah. Aplikasi layanan pesan ini lantas digunakan para aktivis anti-Putin untuk menyebarkan pesan-pesan dan kritik terhadap pemerintahan.
Namun di antara langkah-langkah di atas, propaganda Putin untuk mengubah citra oposisi (atau siapa saja yang mbalelo) menjadi musuh dan pengkhianat negara merupakan cara paling efektif untuk melanggengkan kekuasaan sekaligus menggagalkan berbagai upaya oposisi mendongkelnya dari kursi presiden.
Propaganda Putin diwujudkan dengan memunculkan kembali hantu "elemen asing" yang menempatkan kaum oposisi sebagai “musuh negara”.
“Seorang tokoh oposisi—bahkan yang vokal sekalipun—akan berjuang demi tanah airnya. Namun, elemen asing ini terdiri dari orang-orang yang bekerja untuk kepentingan negara lain dan dimanfaatkan sebagai alat untuk mencapai tujuan politik asing," ujar Putin.
Walhasil, selepas Putin meluncurkan propaganda itu, suasana histeria maupun antipati terhadap oposisi kian marak. Sebagai contoh, pembawa acara Russia Today Dmitry Kissilev, menyebut lawan-lawan Putin “brengsek,” “preman,” dan “bajingan.” Media-media yang dikendalikan Kremlin pun menyebut Nemtsov sebagai playboy pro-Amerika, mereduksi peran historis Nemtsov dalam sejarah politik Rusia, sekaligus mengkambinghitamkan Ukraina dan negara-negara Barat atas kematiannya.
Pada akhirnya, masalah politik Rusia berasal dari isi kepala satu orang saja, yaitu Putin. Mengutip The Economist, represi terhadap oposisi bukan tanda kekuatan, melainkan wujud dari ketakutan dan keputusasaan Putin.
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Windu Jusuf