Menuju konten utama

Tawa Putin dan Ekspor-Impor Daging Babi Indonesia

Data statistik mengungkapkan Indonesia memang mengimpor daging babi, tapi kenyataannya ekspor babi Indonesia jauh lebih besar.

Tawa Putin dan Ekspor-Impor Daging Babi Indonesia
Ilustrasi daging babi di supermarket. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Vladimir Putin—si Presiden Rusia—jadi pembahasan beberapa hari ini di dunia maya. Kali ini bukan karena kebijakan kontroversial, atau tindak-tanduknya yang berkaitan dengan Donald Trump. Putin dibahas karena tawa yang pecah ketika Menteri Agribinis Rusia Alexander Tkachev salah menyebut data ketika sedang rapat bersama Putin.

Sang Menteri sempat menyebut nama Indonesia sebagai salah satu negara tujuan ekspor produk babi Rusia, bersama Jepang dan Cina. Dalam video yang sempat viral, Putin terlihat terkekeh kecil ketika nama Indonesia disebut. Ia kemudian menyela omongan sang menteri dengan bilang kalau Indonesia adalah negeri mayoritas Muslim, dan penduduknya tak mengonsumsi daging babi.

Namun, Tkachev merespons cepat, dan bilang, “mereka bakal (makan).”

Putin lalu menjawab: “Tidak, tak akan,” sebelum akhirnya tak bisa menahan tawa sambil menutup muka.

Tkachev akhirnya menarik ulang pernyataannya, yang ia maksud memang bukan Indonesia, melainkan Korea Selatan.

Anggapan Putin tentang Indonesia yang tak cocok jadi pasar ekspor babi Rusia karena mayoritas masyarakatnya bukan pengonsumsi daging babi memang tak bisa dihindari. Benarkah pasar daging babi Indonesia tak ada catatan impor babi?

Baca juga:Benarkah RI Negara dengan Penduduk Muslim Terbesar di Dunia?

Hal pertama yang perlu diketahui adalah data konsumsi daging babi Indonesia. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS), menyebut jumlah konsumsi daging babi dalam negeri sejak 2011 hingga 2016 rata-rata 0,225 Kg per tahun per kapita. Dengan jumlah konsumsi tertinggi pada 2011 dan 2016 yang mencapai 0,26 kilogram per tahun per kapita.

Angka tersebut bahkan bisa lebih banyak ketika hari-hari tertentu tiba, seperti Hari Imlek. Tirto mencatat, sepekan jelang Imlek terakhir saja, konsumsi babi di Jakarta bisa mencapai nilai Rp7,4 miliar per hari. Di Bali, rumah potong hewan yang menyetok daging babi ke berbagai daerah di Indonesia juga meningkat penjualannya hingga 30 persen dalam waktu tersebut.

Baca juga:Imlek di Jakarta dan 500 Juta Ekor Babi di Cina

Babi memang bukan konsumsi utama masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim. Namun, bukan berarti konsumsi babi di Indonesia sedikit.

Dalam studi Produksi Babi di Indonesia, Profesor Pollung Siagian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) mencatat: “Kendati sekitar 80 persen populasi Indonesia adalah Muslim, babi tetap termasuk spesies penting terutama di daerah Nusa Tenggara, Bali, Sulawesi Selatan, Papua, dan Sumatera Utara.”

Populasi ternak babi terbesar ada di kelima provinsi tersebut. Budaya ternak dan konsumsi babi termasuk tinggi di daerah-daerah tersebut karena dipengaruhi oleh budaya mayoritas setempat.

Adanya kebutuhan konsumsi daging babi, Indonesia memang dalam jumlah terbatas masih mengimpor daging babi dari sejumlah negara lain, seperti Amerika Serikat, Malaysia, Cina, Belanda, Australia, Italia, dan Singapura. Pada 2016 misalnya, Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat Amerika Serikat sebagai negara pemasok daging babi paling banyak ke Indonesia. Nilainya mencapai 3.743,8 ribu dolar AS.

Babi jenis Duroc dari AS memang jadi favorit di sejumlah kota besar Indonesia. Ia memang termasuk babi ukuran besar yang panjangnya bisa sampai 1-1,5 meter. Beratnya yang jantan bisa sampai 227-340 Kg. Sedangkan betina sekitar 200 hingga 300 Kg. Ciri khasnya yang bisa bertahan di segala musim, membuat jenis ini lebih disukai peternak.

Infografik Ekspor Impor babi

Menurut Siagian, mayoritas produsen babi di Indonesia masih dipegang oleh peternak kecil. Jumlahnya ada sekitar 380 ribuan peternak hingga 2013. Mereka biasanya mengelola 2-5 babi per peternak. Jenis babi yang diternak juga masih asli Indonesia, seperti babi Nias, Bali, Papua, dan Sumba.

Ada pula jenis peternak semi-komersial yang per orangnya bisa memiliki 25-500 babi. Umumnya peternak komersial yang memasok daging babi ke sejumlah daerah. Bahkan ada perusahaan yang mampu ekspor ke Singapura. Dalam catatan Siagian, satu-satunya pengekspor babi Indonesia yaitu PT Indotirta Suaka di Pulau Bulan, Batam, Kepulauan Riau, yang merupakan anak perusahaan dari Salim Group.

BPS mencatat Indonesia mengekspor babi hidup senilai 30,25 juta dolar AS ke Singapura pada paruh pertama tahun 2016. Angka itu ditutup menjadi 58,43 juta dolar AS pada akhir tahun lalu. Negara lain yang jadi tujuan ekspor adalah Vietnam dan Arab Saudi, namun jumlahnya masih sangat kecil. Jumlah ini jauh lebih besar dari total impor daging babi Indonesia, artinya Indonesia surplus dan lebih condong menjadi eksportir babi.

Baca juga:Menyambut Hibrida Babi Manusia

Sauland Sinaga, Ketua Asosiasi Monogastrik Indonesia, mengatakan: “Pemerintah harus mendukung produsen babi dan daging babi lainnya untuk dapat mengekspor.”

Di Solo dan Karanganyar di Jawa Tengah misalnya, ada sekitar 0,8 juta babi yang dibesarkan di bawah peternakan model intensif. Prof Sinaga mengatakan kepada Asian Agribizbahwa jika dipandu dan dilengkapi dengan fasilitas pengolahan yang baik, peternak babi di wilayah tersebut dapat memenuhi persyaratan ekspor.

Artinya, Indonesia bukan hanya sebagai pasar daging babi, ternak babi dan daging potong babi punya potensi besar jadi pemasukan negara jika dikelola secara maksimal.

Baca juga artikel terkait EKSPOR atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Bisnis
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra