Menuju konten utama

Fugazi dan Sebuah Dedikasi

Band punk veteran ini adalah salah satu contoh bagaimana punk bukan hanya musik tapi juga laku manusia.

Fugazi dan Sebuah Dedikasi
Legenda band Punk Rock asal Amerika, Fugazi, tampil dalam sebuah gigs di toko musik. FOTO/Istimewa

tirto.id - Alkisah, pada medio 1990an, Fugazi—kuartet punk/post-hardcore asal Amerika—tampil dalam sebuah konser. Di awal pertunjukkan, semua berlangsung lancar; setlist dimainkan, keriaan berdatangan. Namun, memasuki pertengahan babak, kondisi berubah. Sang vokalis, Ian MacKaye, tiba-tiba menghentikan permainannya.

Penonton pun dibuat bingung dan bertanya apa yang salah. Ternyata, Mackaye menyaksikan dua penonton bertindak serampangan kala moshpit, yang mengganggu penonton di kanan-kirinya.

“Memberitahu orang-orang seperti itu sangat menyebalkan,” katanya bak guru konseling SMA yang tengah memarahi murid-muridnya karena kedapatan menonton video porno saat jam pelajaran berlangsung.

Footage di atas diambil dari film dokumenter Fugazi berjudul Instrument (1999) yang disutradarai Jim Cohen. Insiden tersebut dikenal dengan “ice cream-eating motherfucker” yang membuktikkan bahwa Fugazi rela memotong durasi konser tatkala penonton bertindak sembrono sekaligus menegaskan status mereka sebagai band yang “tidak biasa.”

Lahir dari Label Rekaman Bentukan Sendiri

Fugazi didirikan pada 1987 di Washington DC. Anggotanya yakni MacKaye (vokal-gitar), Guy Picciotto (gitar), Joe Lally (bas), dan Brendan Canty (drum). Kemunculan Fugazi tak bisa dilepaskan dari kiprah masing-masing personel—terutama MacKaye—dalam kancah punk dan underground lokal di DC.

Sebelum membentuk Fugazi, MacKaye lebih dulu bermain dengan The Teen Idles. Sepak terjang Idles berlangsung kurang lebih setahun semenjak berdiri pada 1979. Sesaat setelah Idles bubar, MacKaye bingung ingin berproses apa lagi mengingat ia masih memegang 600 dolar yang dihasilkan dari 35 kali manggung bersama Idles. Akhirnya, bersama Jeff Nelson, ia memutuskan untuk membangun label sendiri.

Pengujung Desember 1980, label MacKaye yang bernama Dischord terbentuk. Alasan pembentukan Dischord berangkat dari pengalaman Idles yang “tidak pernah dilirik label rekaman.” Lewat label ini, MacKaye mulai menjaring relasi dengan band-band punk lokal di DC. Tinggal dan bekerja di jantung politik Abang Sam membuat Dischord memiliki filosofi “memperluas musik bawah tanah dan mengelolanya secara mandiri.”

“Di kota ini, kami harus melakukan semuanya sendiri karena pada dasarnya [kami] jenuh dengan pemerintah federal,” terang MacKaye kepada The Guardian. “Faktanya adalah, banyak orang di DC yang tidak peduli dengan pemerintah. Minta petunjuk pada mereka adalah omong kosong karena mereka [pada dasarnya] tak punya hal itu.”

Di tengah aktivitasnya bersama Dischord, MacKaye membentuk band hardcore, Minor Threat. Selain Minor Threat, band-band semacam S.O.A, Youth Brigade, The Untochables, hingga Government Issues yang kelak jadi legenda kancah DC juga menyeruak ke permukaan. Beberapa di antaranya bahkan jadi mitra Dischord.

Pada 1985, Revolution of Summer (Revolusi Musim Panas) lahir. Gerakan ini diinisiasi oleh salah satu penggerak kancah punk DC, Amy Pickering. Munculnya Revolusi Musim Panas dilatarbelakangi oleh maraknya kekerasan di panggung punk hingga sikap apatis terhadap kondisi sosial-politik. Tanggal 21 Juni, anggota Revolusi Musim Panas—yang terdiri dari musisi dan seniman—melangsungkan demo di depan kedutaan Afrika Selatan. Mereka menuntut apartheid dihapuskan.

Kehadiran Revolusi Musim Panas turut membuka keran kelahiran band-band baru seperti Rites of Spring, Embrace, Dag Nisty, Soulside, Gray Matter, Jawbox, Shudder to Think, sampai Nation of Ulysses. Keadaan tersebut juga membawa MacKaye melakukan hal serupa dengan membentuk Fugazi pada 1987, empat tahun pasca bubarnya Minor Threat.

Jonathan Cohen dalam The Rolling Stone Encyclopedia of Rock & Roll (2001) menjelaskan MacKaye mendirikan Fugazi bersama mantan anggota Rites of Spring, Picciotto dan Canty. Sementara Lally—si pembetot bas—yang sebelumnya bekerja sebagai roadie salah satu band Dischord menyusul kemudian. Nama Fugazi diambil dari akronim era Perang Vietnam (1957-1975) yaitu Fucked Up, Got Ambushed, Zipped In.”

Selama berkarir, Fugazi sudah menelurkan tujuh album panjang: 13 Songs (1989), Repeater (1990), Steady Diet of Nothing (1991), In on the Kill Taker (1993), Red Medicine (1995), End Hits (1998), Instruments (1998), dan The Argument (2001).

Dari situ pula lahir nomor-nomor anthemic, legendaris, serta kental akan unsur politis seperti “Bulldog Front,” Repeater,” “Merchandise” (We owe you nothing/You have no control), “Reclamation” (These are our demands/We want control of our bodies/Decisions will now be ours), hingga “Five Corporations.”

Musik Fugazi, menurut Cohen, banyak terinspirasi Bad Brains, Embrace, dan Minor Threat. Mereka, tambah Cohen, memegang musikalitas hardcore/punk-rock para pendahulu, namun, “memperlambat tempo dan menyertakan fondasi instrumental yang berbau reggae.”

Sementara kritikus musik Robert Christgau, menyatakan Fugazi menawarkan kritik-obsesi terhadap korupsi sampai kombinasi permainan gitar Picciotto dan olah vokal MacKaye yang kontradiktif tapi penuh kesenangan. Hal senada diungkapkan Stereogum. Kendati mereka dikritik di awal kemunculan karena porsi musiknya kalah dengan sikap politik yang dibawa, Fugazi, tulis Stereogum, mampu menentang arus konvensional musik punk.

Namun, masa pendar mereka harus berhenti pada 2002. Selepas melangsungkan tur album The Argument, Fugazi mengumumkan hiatus yang entah sampai kapan. Tentang kemungkinan reuni, MacKaye hanya bisa tertawa.

“Fugazi mungkin akan kembali dan mungkin juga tidak. […] Kami telah pergi selama 15 tahun. Canty pernah berkata bahwa ia tidak bisa melakukan tur karena harus menemani anaknya di rumah. Saya pikir, ini hanya kehidupan; kehidupan yang nyata,” katanya.

Walaupun begitu, Fugazi kiranya tak ingin meninggalkan penggemar tanpa apa-apa. Pada 2011 silam, mereka merilis Fugazi Live Series—sebuah arsip audio dari 800 pertunjukkan—yang dipublikasikan melalui situs resmi mereka. Arsip ini merekam segala sesuatu yang terjadi di atas panggung mulai suara serak MacKaye, sumpah-serapah, sampai selebaran maupun tiket konser yang disediakan terpisah. Lewat memorabilia tersebut, Fugazi juga mendorong penggemarnya untuk mengirimkan kejadian lain yang tak tercatat oleh mereka.

“Kami menyukai gagasan ini. Saya bilang, ‘Mari kita biarkan semuanya,’” jelas Picciotto seperti dilansir The New York Times. “Tidak perlu ada gagasan bahwa ini adalah dokumen yang hebat. Semuanya [tentang Fugazi] ada di sana. Anda mendapatkan apa yang Anda dapatkan.”

Infografik Fugazi

Perlawanan dan Dedikasi

Johnny Temple dalam “Noise from Underground” yang diterbitkan The Nation mengatakan pergerakan bawah tanah yang didorong band-band macam Fugazi telah menjadi mahkota permata dari scene musik Washington. Mereka, kata Temple, dihormati bukan hanya karena musikalitasnya, tapi juga oleh prinsip dan dedikasinya.

Fugazi memang band yang kuat memegang prinsip. Saat Nirvana meneken kesepakatan dengan Geffen Records pada 1991, mereka tak tergiur mengikutinya. Fugazi, menolak tunduk pada korporasi dan tetap setia pada jalur independen.

Alasan penolakan Fugazi sederhana: menerima uang korporasi macam Geffen atau Atlantic Records, sama halnya menyerahkan hidup band dan (dipaksa) menaati segala peraturan yang dituliskan perusahaan lewat ritus kontrak dan lain sebagainya. Tak ada kebebasan yang bisa dijalankan. Sebab yang ada dalam pikiran perusahaan rekaman, menurut Fugazi, hanya uang dan keuntungan.

Keteguhan sikap Fugazi berbuah manis: penjualan album mereka lewat jalur distribusi independen mencapai 2 juta keping meski hanya dibanderol seharga maksimal $10 tiap CD serta tanpa—lebih tepatnya menolak—menjual merchandise layaknya band-band kebanyakan.

Selain menolak label besar, Fugazi juga menolak media musik mainstream seperti MTV, Spin, hingga Rolling Stone. Bagi Fugazi, media musik mainstream hanya memanfaatkan popularitas mereka di kancah punk dan menjualnya ke massa sehingga dapat menghasilkan miliaran dolar bagi neraca keuangan perusahaan.

Spin ibarat Cosmopolitan yang berisi katalog-katalog,” ungkap MacKaye suatu kesempatan. “Band-band itu nantinya juga akan jadi produk yang dijual. Kami tidak tertarik untuk berpartisipasi dalam rock and roll.”

Bagaimanapun juga, Fugazi betul-betul tak pernah tertarik menjadi bagian dari rock and roll. Tampilan mereka apa adanya, menghindari jepret juru warta yang berlebihan, tak suka narkoba-alkohol-seks bebas, hingga lebih memilih bergerak dalam keheningan gigs-gigs bawah tanah seraya berkata “Hai, kami Fugazi dan kami dari Washington DC” di setiap konser.

Tak sebatas itu saja, Fugazi rutin menyumbangkan uang hasil konser—yang dijual seharga $5—ke kelompok akar rumput macam Community for Creative Nonviolence Homeless Center, Washington Inner City Self-Help, hingga Tenants and Workers Support Group of Alexandria. Sejak 1989, lebih dari $100 ribu mereka sumbangkan ke kelompok-kelompok tersebut melalui Positive Force—organisasi nirlaba yang didirikan musisi independen DC.

Berbeda dengan band-band punk/hardcore pada umumnya yang membebaskan penonton bergumul di lautan moshpit, Fugazi malah berusaha mengecilkan aksi itu. Fugazi berpendapat, konser musik adalah milik semua penonton dan bukan hanya sebagian. Konser musik merupakan tempat bersenang-senang, bukan malah jadi ladang pelampiasan nafsu penonton untuk bertindak brutal dan merugikan penonton lainnya.

Maka dari itu, tak jarang MacKaye menghentikan aksinya—dan mendadak berubah jadi guru konseling seperti yang tersaji dalam dokumenter Instruments—saat menyaksikan penonton bertindak liar di dalam kerumunan.

“Jika Anda tidak menyukai peraturannya, Anda bisa pergi, kok. Toh, Anda hanya menghabiskan lima dolar,” kilahnya.

Yang tak kalah penting lagi, Fugazi, seperti ditulis Corey Beasley dalam “Lessons from Fugazi on Taking Down Donald Trump,” berupaya keras untuk mewujudkan sebuah komunitas punk dengan nilai-nilai progresif tapi tak sekadar diisi oleh orang kulit putih.

Pada akhirnya, Fugazi, mengutip pernyataan The Quietus, selalu lebih dari sebuah band, lebih dari sekelompok pemusik yang membuat rekaman maupun pertunjukan, lebih dari sekelompok orang yang mengupayakan tiket konser murah atau kesetaraan dalam panggung punk, lebih dari lambang penegasan sikap do-it-yourself, dan lebih dari penjabaran-penjabaran di atas. Fugazi, singkat kata, adalah cara kita memanusiakan musik dalam dunia yang tak baik-baik saja.

Baca juga artikel terkait MUSISI atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Musik
Reporter: Faisal Irfani
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Nuran Wibisono