tirto.id - Pada usia 14 tahun, Brandon Boyd tahu: ia tak jago-jago amat berselancar untuk bisa jadi seorang peselancar profesional. Di sela cita-citanya jadi tukang gambar—setelah tahu mustahil untuk jadi Indiana Jones—ia bertemu dengan Mike Einziger. Mereka berdua sepakat untuk membentuk band.
Karena mereka tak bermaksud bikin duet, dua pelajar di SMA Calabasas ini mencari rekan lain. Bertemulah mereka dengan murid lain, Alex Katunich dan Jose Pasillas. Mereka sering main di pesta-pesta amatir anak SMA. Dibayar bir sudah lebih dari cukup. Di salah satu panggung tahun 1991, tampak musik mereka adalah epigon dari Red Hot Chili Peppers, dan Brandon dengan rambut panjang pirangnya nyaris tak bisa dibedakan dari Anthony Kiedis.
Baca juga:Menanti Red Hot Chili Peppers Manggung di Bekasi
"Incubus itu nama yang terdengar lucu. Kami masih usia 15 tahun saat itu. Di panggung itu, kami harus cari nama untuk main di sana. Mike yang dapat nama Incubus. Kalau pilihanku sebenarnya Spiral Staircase, karena waktu itu aku senang banget kultur hippies," ujar Boyd dalam sebuah wawancara.
Setelah sering bermain di ruas jalan suci Sunset Strip, Los Angeles, nama Incubus mulai berkibar dan menarik perhatian label. Saat para personel libur sekolah, mereka mulai merekam lagu. Salah satu lagu awal mereka adalah "New Skin", yang menunjukkan jalan awal mereka sebagai band nu metal, lengkap dengan gesekan turntable dari DJ Lyfe. Bukan kebetulan kalau yang menemukan Incubus adalah Paul Pontius, A&R Immortal Records, yang sebelumnya turut mengontrak Korn ke label turunan Sony itu.
Tahun 1995 menjadi tetenger bahwa Incubus bisa menjadi band profesional. Mereka menandatangani kontrak 7 tahun dengan Immortal, dan merilis album debut berjudul aneh: Fungus Amongus.
Keisengan para personel Incubus tampak dari nama samaran yang dipakai sebagai nama personel. Happy Knappy adalah Brandon, Fabio adalah Mike, dan sebagainya. Album debut ini, sayangnya bernasib sama seperti judulnya: buruk. Beberapa kritikus menyebut Incubus sebagai versi RHCP dan Rage Against the Machine yang kelelahan.
Nama Incubus sempat tenggelam saat mereka memutuskan vakum selama dua tahun. Di pertapaan itu, mereka menulis materi untuk album ketiga, Make Yourself (1999). Secara materi, mereka menajamkan irama pop ketimbang nu metal atau funk seperti di awal karier. Lagu "Drive" menjadi andalan. Berawal dari intro gitar akustik yang langsung membetot perhatian, lalu disambut dengan scratch dari personel baru, Chris Kilmore.
Album ini sukses, baik secara komersial maupun kritik. Berkat tambahan lagu jagoan seperti "Pardon Me" dan "Stellar", album ini berhasil terjual dua juta kopi di Amerika Serikat. Mereka melakukan tur keliling dunia, bahkan bermain di festival metal Ozzfest. Tur dan konser itu membuat mereka kelelahan.
Baca juga:Mengapa Musisi Lupa Lirik atau Lokasi Konser
Pada 2001, mereka kembali beristirahat dan memilih untuk tetirah di Malibu, California. Pantai menjadi rumah kedua mereka. Para personel Incubus memang tumbuh besar di California dan biasa menghabiskan waktu dengan berselancar. Meski tak menjalani karier sebagai peselancar profesional, Brandon masih setia melakukan olahraga itu hingga sekarang. Malibu punya garis pantai yang panjang, mencapai 34 kilometer. Tak salah kalau Incubus tetirah dan membuat materi album berikut di sana.
Morning View menjadi judul album keempat mereka yang dirilis pada Oktober 2001. Gambar sampulnya menampilkan bukit dan pantai, dengan sisa halimun yang ditempa sinar matahari. Bisa jadi ini album Incubus yang digarap dengan cara paling menyenangkan.
Album ini yang kemudian disebut oleh penulis Brandon Deroche sebagai, "gambaran suasana California." Musik Incubus, tulis Deroche, seperti perwujudan kehidupan menyenangkan ala California: matahari bersinar sepanjang tahun, pantai, berselancar. Lagu seperti "Are You In" memancarkan pesona seperti itu.
"Itu kekuatan utama musik, dan itu adalah keajaiban Incubus," ujar Deroche.
Sejak Make Yourself, Incubus jelas bisa melepaskan diri dari citra band nu-metal atau rap metal yang kelelahan. Mereka membuat jalan sendiri. Meski itu tak selalu berjalan mulus. Beberapa perubahan musikal, semisal lagu yang lebih terasa "pop" menghasilkan omelan para penggemar lawas. Yang kerap tak disadari para penggemar konservatif itu, Incubus adalah bagaimana seharusnya band bermetamorfosis.
Ketika masih muda dan merintis karier, kau akan menerima pemakluman saat bersikap iseng. Seperti memakai nama samaran atau memberikan judul album yang buruk dan tak layak untuk diingat. Beranjak dewasa dan ditempa oleh pengalaman, kedewasaan perlahan muncul. Bosan dengan segala yang menghentak, pendekatan yang dipakai lebih ala California: kalem, santai, sesekali bersemangat.
Seperti saat mereka merilis A Crow Left of the Murder... (2004) ada lagu "Megalomaniac" yang kencang, seolah membentak dan mengacungkan jari tengah pada para pemimpin bebal dan narsisis. Siapa yang menyangka bahwa lagu itu adalah nubuat tentang pemimpin yang Amerika Serikat punya, 13 tahun mendatang. Tapi di album yang sama, ada "Talk Shows on Mute" yang enak didengar sembari naik sepeda jengki menuju pantai.
Incubus terus menjalani petualangan musikal yang berubah-ubah. Para personelnya juga mendapat kebebasan untuk melakukan apa yang mereka suka. Band ini memperlakukan dirinya sendiri dengan gaya santai, lagi-lagi ala California. Mike menjadi mahasiswa di jurusan Teori Musik, Universitas Harvard. Sedangkan Brandon menjadi pelukis dan sudah menerbitkan tiga buku hingga sekarang. Jose tetap menjadi desainer dengan semangat bersenang-senang.
Baca juga:Daftar Konser Musik Internasional 2018 yang Akan Digelar di Jakarta
Di antara kehidupan yang tampak menyenangkan itu, Incubus terus membuat musik. Lagu penting seperti "Love Hurts", "Oil and Water", "Dig", "Anna Molly", juga "Promises, Promises", menandakan bahwa band ini tak mau berhenti berselancar.
Album terbaru mereka, 8, dirilis pada April 2017. Bukan album yang benar-benar bagus. Tapi tak buruk juga untuk band yang mungkin sudah bingung mau membuat apa lagi. "No Fun" ataupun "Nimble Bastard" mengingatkan pada era Incubus masih memutar knop volume di angka 10. Tapi lagu lain di album ini tak meninggalkan impresi yang benar-benar dalam.
"[...] di album ini, sulit rasanya mencari hal yang membuat Incubus menjadi band cult. Album ini datar dan hambar, sama seperti judulnya," tulis Dan Weiss dari Consequence of Sound.
Peduli amat. Incubus masih tetap band yang menyenangkan untuk didengar. Jika ingin merenung dan sesekali bernyanyi bersama, menengok ulang katalog lagu mereka adalah pilihan utama. Kalau untuk menghibur diri bahwa Incubus masih bertenaga dan suara Brandon Boyd nyaris tak berubah, 8 bolehlah jadi pilihan.
Pada akhirnya, Incubus berhasil melewati masa 1990 yang kelam dan bagai roller coaster—tiarapnya hair metal, kelahiran grunge, serta kematian ikon bernama Kurt Cobain. Mereka juga satu dari sedikit band dari eranya yang masih terus membuat album secara serius hingga sekarang. Kudos, Incubus!
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani