tirto.id - "Bukan pada saya," kata mantan Dirjen Hubla Antonius Tonny Budiono menjawab pertanyaan Tirto soal perannya dalam kasus penjarahan kapal bersejarah di PN Jakarta Pusat, Kamis (25/1) kemarin. Tonny mengulangi kalimatnya untuk memberi penegasan: "yang ngeluarin [izin] bukan saya."
Laporan mendalam Tirto soal penjarahan kapal yang mulai dirilis sejak 18 Januari lalu menyimpulkan aktor lokal yang memungkinkan kegiatan ilegal itu terjadi mengarah ke Kementerian Perhubungan, lebih spesifik Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Sementara Tonny mulai menjabat sebagai Direktur Jenderal Hubla sejak 16 Mei 2016 hingga Agustus 2017. Artinya ketika penjarahan terjadi, ia termasuk birokrat tertinggi di institusi tersebut.
"Itu di Direktur Teknis. Kalau itu soal harta karun, itu di Kementerian Kelautan," lanjut Tonny, kembali mengulangi substansi yang ia tekankan dalam dua kalimat awal.
Kapal-kapal salvageyang diduga terlibat pencurian kapal bersejarah bisa beroperasi berkat izin resmi dari Hubla. Tongkang bercakar semisal Dongfu 881 (PT Fujian Yida Shipping), MV Laut Lestari (PT Keruk Laut Nusantara), Armada Salvage 8 (PT Mitra Armada Kirana), Thien Li Kong 368, dan Pioner 88 (PT Jatim Perkasa) tercantum dalam daftar Surat Perintah Kerja (SPK) yang dirilis Hubla pada 2014-2017.
Temuan kami: SPK yang mengizinkan operator kapal untuk membersihkan alur laut kerap beroperasi jauh di luar koordinat yang telah ditentukan. Pada saat melenceng dari koordinat ini lah tongkang bercakar mengambil kapal karam secara ilegal. "Surat sakti" dari Hubla membuat para penjarah kebal dari penangkapan aparat.
Seorang pemilik kapal yang diduga aktif menjarah kapal-kapal bersejarah menjelaskan kepada Tirto bahwa memang ada permainan dalam penerbitan SPK. Ia bersaksi harus mengeluarkan uang pelicin hingga "ratusan juta rupiah" untuk mendapatkan surat itu.
"Kalau untuk pengerjaan seperti itu, kami minta SPK ke Kemenhub. SPK tidak murah, lho. Beberapa ratus juta sekali minta. Belum ke Angkatan Laut. Semua koordinasi lah. Semua instansi koordinasi juga."
Pernyataan Tonny di awal tadi, dengan demikian, jelas lemah. Daftar SPK yang kami pegang diberikan langsung oleh institusinya.
Alur penerbitan SPK bermula dari kesyahbandaran. Setelah Dinas Perhubungan Laut di daerah mengiyakan, izin SPK turun dari Jakarta, dikeluarkan Hubla via Direktorat Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP).
Juga saat Tonny mengatakan bahwa izin ada di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). M. Abduh Nurhidajat, Sekretaris Ditjen Perikanan Tangkap KKP, pada 27 Desember 2017 mengatakan kepada Tirto bahwa izin dikeluarkan Kemenhub. Ia bahkan mengatakan, "selama ini Kemenhub tak pernah berkoordinasi dengan KKP terkait koordinat titik-titik kapal bersejarah."
Pernyataan Tonny juga mudah dimentahkan lewat kasus yang menjeratnya: ia tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena ketahuan menerima suap 50 ribu dolar AS dari sebuah perusahaan salvage (pekerjaan bawah air) pada Juli 2017.
Dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum KPK, Tonny juga disangkakan menerima 10 ribu dolar AS dari Jonggung Sitorus, Direktur Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) Kemenhub pada 2017.
Tonny berdalih, uang 50 ribu dolar AS itu bukan suap, melainkan "hanya uang asuransi perusahaan." Tonny tidak menjawab ketika ditanya kenapa ia bisa memegang uang tersebut. Ia mengatakan: "Karena saya ditanya [oleh KPK] terima uang dari mana. Kan harus ngaku."
Anehnya, meski berkata "tidak bertanggung jawab," Tonny mengatakan bahwa kasus penjarahan kapal bersejarah sama sekali tidak ada kaitan dengan Ignatius Jonan, Menteri Perhubungan ke-37 yang menjabat pada 27 Oktober 2014 hingga 27 Juli 2016.
"Tidak ada. Tidak ada hubungannya sama Pak Jonan," kata Tonny.
Menhub saat ini, Budi Karya Sumadi, mengatakan bahwa pihaknya masih mengkaji temuan penjarahan kapal. Menurutnya, kasus ini menyangkut banyak pihak sehingga investigasinya butuh waktu. Ia enggan buru-buru menuding siapa di balik penjarahan kapal perang ini.
"Mengenai pencurian kapal perang di teritori Indonesia, saya sedang pelajari karena ini menyangkut banyak orang. Saya akan teliti di internal seperti apa. Baru nanti kami sampaikan ke publik," kata Budi Karya di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, 24 Januari lalu.
Luhut Panjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, pada 9 Januari lalu mengatakan kepada Tirto pernah mengundang Budi karya untuk membahas salah satunya soal penjarahan kapal bersejarah. Hasil rapat meminta Kemenhub untuk tidak lagi mengeluarkan izin salvage. Budi Karya diminta merevisi Peraturan Menteri soal salvage karena memiliki banyak celah yang bisa dipakai untuk mengangkat bangkai kapal bersejarah.
"Kami sekarang sudah sepakat tidak mau lagi membersihkan [bangkai kapal bersejarah]," kata Luhut.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Rio Apinino