tirto.id - Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi masih mengkaji temuan penjarahan bangkai kapal-kapal perang di Indonesia yang jadi laporan mendalam Tirto tentang penjarahan kapal sejak 18 Januari lalu. Menurutnya kasus ini menyangkut banyak pihak sehingga butuh waktu. Ia juga tak mau buru-buru menuding siapa di balik penjarahan kapal perang ini.
"Mengenai itu [pencurian kapal perang di teritori Indonesia], saya sedang pelajari karena ini menyangkut banyak orang. Saya akan teliti di internal seperti apa. Baru nanti kami sampaikan ke publik," kata Budi Karya, di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, Rabu (24/1/2018).
Ucapan Menhub soal "kajian internal" ini melekat pada konteks mengenai bagaimana keluarnya izin salvage (kegiatan bawah air) yang dikeluarkan Kemenhub melalui salah satu direktorat jenderal.
Dari investigasi reporter Tirto selama tiga bulan, pemberian izin dari Direktur Jenderal Perhubungan Laut (Dirjen Hubla) Kementerian Perhubungan kepada operator (perusahaan swasta) terkait pembersihan alur laut karena mengganggu konektivitas. Izin yang dikantongi perusahaan salvage sebagai modus pelaku penjarahan bangkai kapal dalam rentang waktu 2014 hingga 2016. Penjarahan ini berlangsung secara masif dan melibatkan jaringan internasional.
Budi Karya menegaskan tidak ingin menuding siapapun. Menurutnya, "saya lebih baik koreksi diri sendiri, apa yang salah. Baru nanti saya cari siapa-siapa lagi.".
Saat disinggung mengenai nasib perusahaan-perusahaan kapal asing yang telah diberi izin salvage oleh Dirjen Hubla, Budi Karya tidak memberikan jawaban pasti. Ia belum bisa memberikan respons konkret tentang langkah apa yang bakal ditempuh guna menindak pelaku penjarahan kapal-kapal karam.
"Ya, nanti saya klarifikasi," kata Budi Karya.
Tirto pernah mewawancarai Budi Karya secara eksklusif untuk keperluan liputan penjarahan kapal. Ketika itu Budi karya mengatakan bahwa kalau ada yang melanggar, "kami akan tindak." Namun banyak pertanyaan dari reporter Tirto yang tidak dijawab dengan tegas, seperti yang terjadi saat ditemui di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, Rabu (24/1).
Budi Karya mengaku "tidak tahu" berapa banyak izin salvage yang dikeluarkan kementeriannya. Budi Karya yang ditemani para staf mengaku tidak tahu apapun soal penjarahan bangkai-bangkai kapal di perairan Indonesia.
Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, pada 9 Januari lalu mengatakan kepada Tirto pernah mengundang Budi karya dan rapat soal itu. Hasil rapat meminta Kemenhub untuk tak lagi mengeluarkan izin salvage. Budi Karya juga diminta merevisi Peraturan Menteri soal itu karena memiliki banyak celah yang bisa dipakai untuk mengangkat bangkai kapal bersejarah.
"Kami sekarang sudah sepakat tidak mau lagi membersihkan [bangkai kapal bersejarah]. Biarkan itu menjadi tempat bagi turis, seperti misalnya tadi kapal perang itu," kata Luhut.
Ketika ditanya soal modus yang kerap dipakai adalah pembersihan jalur laut, Luhut mengatakan bahwa sekarang hal tersebut akan semakin sulit. "Orang pasti kami monitor. Pasti ada upaya pencurian itu, tapi tidak akan gampang karena mereka harus stay cukup lama dan tentu ada kapal patroli. Mudah-mudahan kami bisa perkecil hal-hal seperti itu [penjarahan kapal]," katanya.
Hubla Sembunyikan Data
Direktorat Jenderal Hubla Kemenhub punya peran yang besar dalam kasus penjarahan kapal perang. Semua kapal di daftar suspect yang dirilis Tirto pada indepth report soal penjarahan kapal beroperasi dengan izin resmi dari Hubla.
Pioner 88, KBR Benoa 1, Dongfu 881, MV Laut Lestari, Armada Salvage 8, dan Thien Li Kong 368—nama-nama ini tercantum dalam daftar Surat Perintah Kerja (SPK) yang dirilis Hubla pada periode 2014-2017.
Hubla bersikap tertutup dan enggan membagi seluruh daftar izin SPK yang mereka keluarkan. Apa yang dibagi di atas bukanlah data keseluruhan.
Redaksi Tirto sudah mengajukan daftar permohonan SPK sejak 14 Desember 2017. Tiga data kami minta: daftar lengkap perusahaan memiliki izin usaha salvage, izin SPK kegiatan salvage periode 2013-2016, dan pendapatan negara dari jasa salvage.
Pada 29 Desember 2017, data itu kemudian diberi, namun hanya daftar SPK tahun 2017. Permohonan meminta daftar SPK yang dirilis 2014-2016 tak disetujui oleh Hubla. Padahal, pada periode itulah kami bisa melacak bagaimana sindikat penjarah kapal bersejarah ini bekerja.
Sehari setelah bertemu Budi Karya, daftar SPK 2014-2016 pun dikirim. Namun, ada satu hal yang janggal.
Saat pemberian data pertama, pihak Direktorat Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) menyisipkan data rekapitulasi izin kegiatan salvage. Tertulis izin kegiatan salvage pada 2014 ada 39 kegiatan, pada 2015 ada 56 kegiatan, 2016 ada 52 kegiatan, dan 2017 tercantum 70 kegiatan, totalnya ada 217 izin.
Anehnya, saat data SPK 2014-2016 diberikan pada 8 Januari 2018, angka itu merosot tajam. Pada 2014, hanya muncul 5 kegiatan, 2015 ada 7 kegiatan, 2016 ada 15 kegiatan, dan 2017 sebanyak 10 kegiatan. Totalnya hanya ada 37 izin. Jika dibandingkan dengan data sebelumnya: ada selisih 180 izin yang tak dimunculkan Ditjen Hubla.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Rio Apinino