tirto.id - Konsumsi makanan dan minuman manis secara berlebihan tidak hanya berisiko terhadap kesehatan fisik, seperti diabetes dan obesitas, tetapi juga berdampak negatif pada kesehatan mental. Penelitian menunjukkan bahwa konsumsi gula berlebih, ditambah konsumsi makanan cepat saji, dapat memicu stres, depresi, dan keinginan bunuh diri, terutama di kalangan remaja.
You are what you eat, katanya. Senada, bahaya dari mengonsumsi makanan maupun minuman manis secara berlebihan nyatanya tak hanya berdampak terhadap risiko kesehatan fisik, termasuk diabetes, obesitas, dan gagal ginjal. Ada pula risiko dampak negatif pada kesehatan mental.
Sejumlah penelitian menyoroti keterkaitan konsumsi produk dengan tambahan pemanis dengan masalah mental ini. Misalnya, sebuah artikel yang dipublikasikan pada jurnal ilmiah Frontiers in Nutrition tahun 2022 lalu, yang ditulis oleh Jin Suk Ra, menyoroti soal hubungan konsumsi minuman berpemanis atau sugar-sweetened beverages (SSB) dan makanan cepat saji, dengan kesehatan mental di kalangan remaja di Korea Selatan.
Dalam studinya, Suk Ra menganalisis data sekunder lebih dari 24 ribu anak SMA di Negeri Gingseng, berdasarkan hasil Survei Berbasis Web Risiko Perilaku Remaja Korea ke-17 tahun 2021.
Hasilnya, ia mendapati konsumsi minuman berpemanis di atas rata-rata, dipadukan dengan konsumsi makanan cepat saji, berkorelasi dengan risiko lebih tinggi remaja Korea Selatan mengalami stres, gejala depresi, dan keinginan bunuh diri.
Sementara artikel penelitian Sophia L. Freije dan rekan-rekannya, yang dipublikasikan di jurnal Preventing Chronic Disease keluaran Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), juga menelusuri dampak minuman manis berlebih terhadap kondisi kesehatan mental.
Hasilnya menunjukkan bahwa mengonsumsi minuman manis lebih dari satu kali sehari dikaitkan dengan peningkatan risiko masalah kesehatan mental sebesar 26 persen.
Para peneliti ini juga membandingkan konsumsi jus buah murni dengan konsumsi minuman berpemanis. Hasilnya, tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara konsumsi jus buah dengan dampak negatif pada kesehatan mental.
Serupa, artikel ilmiah dari Zhang, L., Sun, H., Liu, Z. et al., yang dipublikasikan pada Februari 2024 lalu, juga menyoroti hubungan antara konsumsi gula dan tingkat depresi. Peneliti menganalisis data Survei Pemeriksaan Kesehatan dan Gizi Nasional Amerika Serikat (AS) pada tahun 2011-2018. Zhang dan kawan-kawan mendapatkan temuan bahwa peningkatan asupan gula makanan sebesar 100 gram/hari berkorelasi dengan prevalensi depresi yang lebih tinggi sebesar 28 persen pada orang dewasa di AS.
Peneliti juga menjabarkan pola makan yang mengandung konsumsi gula dalam jumlah besar dapat mengganggu mikroba usus yang menyebabkan depresi.
Proporsi Depresi Paling Besar di Usia Muda?
Masalah depresi dan kesehatan mental lainnya juga mulai menjadi perhatian di Indonesia. Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, yang dibuat oleh Kementerian Kesehatan, memetakan prevalensi depresi pada penduduk berusia 15 tahun ke atas. Secara umum, prevalensi depresi orang berusia di atas 15 tahun, dalam dua minggu terakhir, adalah sebesar 1,4 persen dari total responden, melansir data SKI.
Menariknya ketika dibedah berdasar kelompok umur, terlihat prevalensi depresi yang lebih tinggi, dibanding angka total, berada di kelompok umur termuda (15-24 tahun) dan kelompok tertua (65-74 tahun dan 75+ tahun). Di kelompok usia 15-24 tahun, misalnya, prevalensinya sebesar 2 persen.
Meski begitu, perlu diketahui bahwa SKI 2023 tidak mengaitkan masalah depresi ini dengan konsumsi makanan maupun minuman manis.
Namun, survei yang sama menunjukkan tingginya konsumsi makanan dan minuman manis di kalangan masyarakat Indonesia. Menukil SKI, mayoritas orang Indonesia (56,2 persen), rata-rata menyantap makanan manis 1-6 kali dalam seminggu, atau hampir setiap hari. Bahkan, sekitar 1 dari 3 orang Indonesia (33,7 persen), mengonsumsi makanan manis lebih dari satu kali dalam sehari.
Tingkat konsumsi minuman manis tidak jauh berbeda. Sebanyak 47,5 persen responden mengaku minum minuman manis lebih dari satu kali dalam sehari. Terdapat pula 43,3 persen lainnya yang minum minuman manis 1-6 kali dalam seminggu.
Jumlah responden yang menjawab pertanyaan soal konsumsi makanan dan minuman manis tersebut mencapai lebih dari 829 ribu orang penduduk, yang tersebar di 38 provinsi. Responden juga berasal dari beragam kelompok umur, dari 3 tahun hingga lebih dari 65 tahun.
Berdasar klasifikasi SKI 2023, makanan manis didefinisikan sebagai makanan yang mengandung gula tinggi, termasuk yang lengket. Sementara minuman manis diartikan sebagai minuman yang mengandung gula yang tinggi, tapi terpisah dari minuman berkarbonasi atau soft drink. Dari dua deskripsi tersebut, SKI 2023 memasukkan kategori makanan dan minuman manis dalam kategori makanan yang berisiko terhadap penyakit degeneratif seperti jantung koroner, hipertensi, diabetes melitus, dan kanker.
Serupa, survei Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) juga menyoroti konsumsi gula masyarakat Indonesia yang cukup banyak. Survei terhadap 2.605 orang responden yang mereka lakukan menyebut, hampir separuh responden (46,8 persen) mengonsumsi minuman manis dalam kemasan sebanyak 1-6 kali setiap minggu. Tidak jauh berbeda dengan temuan SKI 2023.
Menariknya dari survei CISDI, salah dua alasan masyarakat banyak mengonsumsi minuman berpemanis dalam kemasan terkait dengan harganya yang dinilai terjangkau, bahkan lebih terjangkau dibanding minuman tidak berpemanis. Selain itu untuk mendapatkan minuman manis bagi kebanyakan orang juga cenderung mudah karena dijual di tempat yang tidak jauh dari tempat tinggal mereka.
Reaksi Biologis dan Dampak Psikologis Makan-Minum Manis
Menanggapi kaitan konsumsi makan-minum manis dengan tingkat depresi, Dokter Spesialis Kejiwaan, Dr. dr. Khamelia, SpKJ., menyebut, terdapat beberapa teori yang bisa menjelaskan hal ini. Dokter dengan kepakaran Psikiatri Biologi di Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa RSCM Universitas Indonesia (UI) ini menjabarkan tiga mekanisme biologi terkait kaitan makanan manis dengan masalah mental.
Pertama, dia menyebut respons inflamasi alias peradangan di seluruh tubuh. Konsumsi gula yang tinggi dapat menyebabkan respon inflamasi ini. Di saat yang bersamaan peradangan inflamasi di tubuh akan mempengaruhi fungsi neurotransmitter (senyawa yang dilepaskan dalam otak).
"Nah, salah satunya (neurotransmitter yang terpengaruh inflamasi) adalah serotonin. Serotonin ini kalau mengalami imbalance, akan terjadi gejala-gejala depresi," terang dr. Khamelia, ketika berbicara dengan Tirto, Kamis (22/8/2024).
Mengutip artikel Halodoc ,yang sudah ditinjau secara media oleh dr. Fadhli Rizal Makarim, serotonin adalah hormon yang bertugas untuk membawa pesan antar sel dalam otak. Hormon ini berperan penting dalam memperbaiki suasana hati menjadi lebih baik, sehingga seseorang jadi merasa bahagia.
Teori lain terkait kaitan konsumsi produk manis dengan depresi adalah terkait dengan resistensi insulin. "Kalau konsumsi gula dalam jumlah tinggi, insulin –yang tugasnya mecah-mecah gula itu– kan jadi resisten ya, sehingga terjadi sindrom metabolik," tambah dr. Khamelia lagi.
Sindrom metabolik merujuk ke kondisi seseorang yang mengalami sekelompok masalah kesehatan secara bersamaan, menukil laman RS Siloam. Sindrom ini berpotensi meningkatkan risiko penyakit jantung koroner, stroke, diabetes, dan serangan jantung.
"Beberapa penelitian menunjukkan kalau resistensi insulin ini terjadi, itu akan mempengaruhi fungsi di otak yang tampilannya menjadi gejala-gejala depresi," kata dr. Khamelia.
Terakhir, dia menjelaskan teori terkait mikrobiota yang ada di usus. Konsumsi gula yang terlalu tinggi dapat mengganggu keseimbangan mikrobiota di usus. "Tadi saya sebut tentang serotonin. 90 persen serotonin itu diproduksi juga di usus. Kalau mikrobiota terganggu, produksi serotonin (sebagai neurotransmitter) juga bisa terganggu. Akan terjadi situasi di mana muncul gejala-gejala depresi itu," terangnya.
Selain dari sisi biologis, dr. Khamelia menjelaskan kaitan antara masalah depresi dengan gula dari sisi psikologis. Dia mencontohkan fenomena "comfort eating", upaya melampiaskan emosi dengan menyantap makanan.
"Jadi coping emosinya, kalau lagi gak nyaman, makan. Makanannya biasanya yang manis-manis, iya sih akan lebih enak rasanya, tapi setelah itu kalau berat badan naik merasa bersalah, lalu citra diri terganggu dan malu. Ini bisa mengarah ke kondisi depresi juga,” terangnya.
Senada, psikolog klinis dari Ohana Space, Rafika Syaiful M.Psi., juga menyebut gejala permasalahan yang sama terkait konsumsi gula berlebih dengan masalah mental. Rafika menyinggung perihal potensi obesitas akibat konsumsi gula berlebih, yang bisa menimbulkan kurangnya rasa percaya diri terhadap penderitanya.
“Jadi, itu ketika orang obesitas kan pasti ada rasanya minder, ada rasanya nggak nyaman sama diri sendiri, gitu. Akhirnya bisa mengarah juga ke kecemasan, gitu ya. Bisa juga sampai depresi,” kata Rafika lewat perbincangan Zoom, Rabu (21/8/2024).
Sementara berdasar reaksi dalam tubuh, Rafika pun menyatakan konsumsi makanan/minuman manis berlebih dalam jangka panjang bisa mengaktifkan Hypothalamic Pituitary Adrenal Axis atau HPA Axis (struktur kecil di otak dan seukuran buah kenari).
HPA Axis sendiri terhubung ke sistem saraf pusat dan sistem endokrin. Bersama-sama, mereka bekerja untuk mengatur keseimbangan hormon dalam tubuh dan mempengaruhi respon stres. Respons stres merujuk pada bagaimana tubuh bereaksi terhadap peristiwa stres, termasuk peningkatan detak jantung atau keringat.
“Jadi ketika kita terlalu banyak mengkonsumsi gula, itu si HPA axis ini akan terpengaruh juga, yang akhirnya jadi muncullah stress response, gitu. Jadi sebenarnya kalau kadarnya nggak begitu banyak, itu bagus, gitu loh,” tambah Rafika.
Sederhananya, ketika terlalu sering mengonsumsi makanan maupun minuman manis, hingga memengaruhi HPA, maka seseorang akan merasa stres, lalu mengatasi perasaan tersebut juga justru dengan gula. Pola semacam ini, disebut Rafika, bak lingkaran setan.
Rafika menjelaskan, saat level gula dalam tubuh semakin tinggi dan HPA semakin aktif, maka level stres pun bisa berkembang, dari yang tadinya hanya stres, menjadi stres akut atau stres kronis.
“Kita jadinya akan craving [manis] terus, karena di otak kita tuh kayak pembelajaran bahwa ketika kita stres, kita harus makan manis,” terangnya.
Dari sisi gizi kesehatan, ahli gizi sekaligus pengurus Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI), Ati Nirwanawati, menjabarkan, konsumsi gula membuat seseorang tidak sadar telah makan banyak, sehingga porsi makan bisa melebihi kebutuhan.
Dengan batasan konsumsi gula harian sebanyak 50 gram per hari, atau setara 4 sendok makan, Ati menjelaskan, seseorang paling tidak bisa minum teh atau kopi manis, maksimal dua gelas dalam satu hari.
Selain itu, masih bisa ditambah dengan konsumsi 3 - 5 potong buah, per 100 gram sekali makan. Ati bilang, buah potong yang umumnya dijual di pinggir jalan juga sudah menggunakan takaran 100 gram per potongannya.
“Dan saya menyarankan kalau makan buah itu rainbow gitu loh, bermacam warna, kayak pelangi, jangan satu. Kayak rujak loh, kita makan rujak, seperti itu. Jadi berwarna-warna dengan asam itu bahwa vitamin-vitamin yang kita butuhkan dipenuhi dengan kita makan rujak,” kata Ati ketika dihubungi Tirto, Rabu (21/8/2024).
Ati menggarisbawahi soal konsumsi buah. Buah juga dikatakan mengandung gula, meski tak sebesar gula pasir. Sebab, takaran gula 50 gram setiap harinya itu tak hanya bersumber dari gula pasir.
“Oleh karena itu juga diperhitungkan dalam kita mengkonsumsi makanan manis setiap hari. Jadi, selain dari tadi yang masuk di dalam teh, atau kopi, atau minuman kemasan, yang banyak sekali tuh justru minuman kemasan. Karena kan selain untuk pemanis, ada pengawet,” terang Ati.
Pengurus PERSAGI itu juga mewanti-wanti soal sirup yang saat ini umum digunakan sebagai pemanis minuman di beberapa kafe. Menurut Ati, sirup dengan rasa-rasa tersebut juga mengandung gula yang tinggi.
“Ia menggunakan seperti sirup, dengan rasa, tapi itu isinya sirup, isinya gula. Madu juga, jangan dianggap enteng lho, madu juga termasuk dengan gula. Terlalu banyak juga membahayakan,” kata Ati.
Aktivitas Fisik Untuk Cegah Konsumsi Gula Berlebih
Konsumsi gula terlalu banyak salah satunya bisa dicegah dengan menjadi aktif secara fisik. Menurut beberapa narasumber yang Tirto wawancarai, lewat olahraga secara rutin, keinginan untuk menjaga pola makan pun ikut terjaga.
Joshua misalnya. Pemuda berusia 31 tahun, yang aktif olahraga lari dan beberapa kali ikut balap sepeda ini, mengatakan dirinya termasuk menjaga asupan gula yang ia konsumsi. Pekerja di perusahaan swasta itu bilang, ia membatasi konsumsi gula harian hanya sebanyak 22 gram.
“Dampaknya apa? Dampaknya gue gak sugar craving. Biasanya di kantor kan lo ngerasa kayak, jam 3 gue pengen manis-manis nih. Pesen apa yuk, gitu kan. Itu gue gak kejadian tuh,” kata Joshua kepada Tirto, Rabu (21/8/2024).
Kini, Joshua juga memiliki berat badan yang konsisten di kisaran 70 kg, setelah sebelumnya sempat menyentuh angka 90 kg. Joshua juga mengaku perbedaannya ia jadi tak malas gerak dan tak mudah mengantuk.
Segendang sepenarian dengan cerita Joshua, Juan (26 tahun), juga bercerita kalau semenjak ia rutin olahraga lari, ia jadi semakin sadar akan konsumsi gula. Semasa kuliah di Yogyakarta sekira tahun 2016 - 2020, Juan bisa mengonsumsi minuman manis 4 kali sehari, termasuk es teh manis serta minuman manis kemasan dengan banyak varian rasa.
“Setelah mungkin tahu bahwa maksudnya konsumsi yang kayak gitu tuh berlebihan, berbahaya juga. Aku jadi ngurangin,” ungkap Juan saat berbincang dengan Tirto, Rabu (21/8/2024). "Maksudnya sudah tidak mau konsumsi lagi aja."
Setelah membiasakan diri tak minum minuman manis dengan kandungan gula berlebih tersebut, Juan juga menyadari kalau mengurangi konsumsinya pun tak jadi masalah. Meski tak bisa menampik kalau ia masih beberapa kali membeli kopi susu dengan gula, tapi kini Juan lebih sering meminta kadar gulanya dikurangi.
“Entah kenapa mungkin jadi terbiasa enggak minum manis. Jadi misalnya kayak minta less sugar atau less sweet. Jadi gitu loh. Tapi kesadarannya sih jadi ke situ,” katanya.
Juan, yang sehari-hari bekerja sebagai karyawan swasta itu pun bercerita, dari yang tadinya ia merasa mesti memesan minuman manis saat makan di luar, saat ini ia merasa cukup dengan hanya minum air putih dingin atau memesan es teh tawar.
“Intinya kayak gitu sih, lebih kayak karena [lari] jadi kebiasaan, karena jadi hobi. Terus karena ya kayak gitu ya. Mungkin punya target untuk sesuatu [acara lari]. Untuk mencapai target itu kan, kamu tau, itu proses yang panjang. Aku jadi punya awareness aja gitu. Kesadaran kesehatan secara umum gitu,” ungkap Juan.
==
Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Decode, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.
Editor: Farida Susanty