tirto.id - Di balik tampilannya yang lucu, banyak potensi bahaya yang tersimpan dalam semesta Roblox, khususnya bagi anak-anak. Pemerintah Indonesia tidak luput melihat masalah tersebut. Wacana untuk memblokir Roblox kini sedang digodok di meja birokrasi.
Menurut laporan Tirto, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Prasetyo Hadi, mengaku sedang mengkaji kemungkinan untuk menutup akses ke Roblox karena dinilai berpotensi menyebarkan konten kekerasan yang tidak pantas untuk anak.
Pernyataan serupa disampaikan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu'ti. Menurutnya, Roblox berbahaya karena apa yang dilihat oleh anak-anak di sana bisa jadi bakal mereka tiru di dunia nyata.
Sepintas, wacana ini mungkin terdengar berlebihan. Akan tetapi, bukan Indonesia saja yang mempertanyakan keamanan Roblox bagi anak-anak. Negara-negara seperti Tiongkok, Iran, Turki, Jordan, Guatemala, Oman, serta Korea Utara telah lebih dulu memblokir Roblox dari jaringan nasional mereka. Alasannya bermacam-macam, tapi intinya sama: khawatir anak-anak terekspos konten dan interaksi yang belum tentu bisa mereka pahami apalagi hadapi.
Di Indonesia, kekhawatiran itu datang di tengah ledakan penggunaan Roblox di kalangan anak-anak. Bahkan menurut Gizmologi, evaluasi terhadap Roblox merupakan bagian dari telaah yang lebih luas tentang platform digital yang dianggap “berisiko tinggi” untuk anak-anak—terutama yang memungkinkan interaksi sosial terbuka dan pembuatan konten buatan pengguna.
Untuk saat ini, belum ada keputusan akhir, tetapi suara-suara itu sudah semakin lantang terdengar. Ketika sebuah gim anak-anak membuat negara mempertimbangkan sensor, mungkin sudah waktunya kita bertanya: seberapa aman sebenarnya dunia digital yang mereka mainkan?
Seberbahaya Apakah Roblox?
Ungkapan “jangan nilai sebuah buku dari sampulnya” amat cocok dijadikan analogi untuk Roblox.
Dari luar, ia terlihat seperti taman bermain digital yang penuh warna dan keceriaan. Tapi, begitu masuk ke dalamnya, itu semua dengan cepat dapat berubah menjadi neraka.
Salah satu laporan paling mengerikan datang dari The Guardian, yang memuat hasil penelitian lembaga Revealing Reality mengenai bagaimana anak-anak terekspos pada konten tak pantas di Roblox.
Studi itu menyebut banyak anak tidak menyadari bahwa mereka sedang berinteraksi dengan orang dewasa, karena identitas pengguna dalam gim sangat mudah dimanipulasi. Bahkan, dalam beberapa kasus, karakter dewasa mendekati anak-anak dengan dalih “roleplay”, lalu secara bertahap memperkenalkan elemen seksual terselubung—dari terminologi sampai gerakan avatar yang eksplisit.
Lebih dari itu, para orang tua di Inggris dan AS juga telah membagikan kisah nyata tentang anak-anak mereka yang menjadi korban. Dalam laporan lain di The Guardian, seorang ibu menceritakan bahwa putrinya yang berusia delapan tahun mengalami trauma setelah “dirayu” oleh pengguna dewasa di dalam gim yang menyamar sebagai anak lain. Ibu lain menyebutkan bahwa sang anak menjadi kecanduan dan berubah perilakunya sejak bermain Roblox secara intens, terutama karena permainan-permainan tertentu menyisipkan unsur kompetitif berlebihan dan skenario kekerasan.
Yang lebih mengkhawatirkan, sistem moderasi Roblox tampaknya masih belum mampu mengatasi banjir konten buatan pengguna (user-generated content). Roblox memiliki jutaan gim dan aktivitas di dalamnya, dan itu berarti ada jutaan ruang yang harus diawasi. Namun, seperti dicatat oleh Screenrant, banyak dari gim dan aktivitas tersebut lolos dari filter. Sistem moderasi otomatis Roblox tidak selalu efektif lantaran mereka tidak punya cukup moderator manusia untuk menangani volume laporan yang masuk setiap harinya.
Masalah tak berhenti di sana. Dalam konteks Inggris, otoritas komunikasi Ofcom bahkan secara eksplisit menyebut Roblox sebagai salah satu platform yang “mengkhawatirkan” karena tidak mematuhi standar perlindungan anak yang ditetapkan dalam Online Safety Act 2024. Regulator menemukan bahwa Roblox gagal menutup celah eksploitasi, termasuk kurangnya transparansi dalam sistem pertemanan dan ketidakseimbangan akses antara anak-anak dan pengguna dewasa.
Sebuah ulasan di The Conversation menyamakan praktik ini dengan perjudian anak. Anak-anak tidak hanya menghabiskan uang, tapi juga dipaksa untuk memahami sistem ekonomi digital yang mereka sendiri belum pahami sepenuhnya. Skema seperti loot boxes, monetisasi builder pass, dan sistem “pay-to-win” jadi pintu masuk eksploitasi emosional dan finansial sejak usia dini.
Tak mengherankan jika laporan khusus Revealing Reality menyebut Roblox sebagai “ruang terbuka dengan risiko tersembunyi”, di mana bahaya bisa muncul dari siapa saja, di sudut mana saja, dalam bentuk apa saja. Terlebih, banyak anak bermain tanpa bimbingan orang tua, dan menganggap avatar serta pengguna lain sebagai teman sesungguhnya.
Roblox memang menyediakan fitur pengawasan, seperti parental control dan opsi server pribadi. Namun, seperti dilaporkan BBC, fitur tersebut tidak diaktifkan secara default, dan tidak semua orang tua tahu bagaimana menggunakannya. Bahkan di negara dengan literasi digital tinggi pun, banyak orang tua kebingungan mengakses dasbor pengaturan. Sementara anak-anak mereka sudah lebih dulu melompat ke dalam dunia Roblox tanpa batasan jelas.
Dengan semua kompleksitas ini, wajar bila Pemerintah Indonesia mulai waspada. Roblox bukan sekadar gim, tapi ekosistem digital yang luas. Dan dalam ekosistem sebesar itu, celah kejahatan bisa lebih besar dari yang dibayangkan.
Segudang Manfaat yang Ditawarkan Roblox
Di balik segala kontroversinya, tak bisa dipungkiri bahwa Roblox juga membuka peluang besar untuk pembelajaran dan kreativitas anak-anak jika dimanfaatkan dengan benar. Di tangan yang tepat, Roblox bisa menjadi sebuah dunia virtual tempat anak-anak tak cuma bermain, tapi juga belajar berpikir logis, berkolaborasi, dan bahkan mulai mengenal dasar-dasar pemrograman.
Sekali lagi, Roblox bukan gim dengan satu jalan cerita, melainkan platform terbuka. Penggunanya—termasuk anak-anak—bisa membuat gim sendiri menggunakan Roblox Studio, alat pengembangan yang ditawarkan secara gratis. Di sinilah benih-benih kreativitas dan kemampuan teknis mulai tumbuh. Anak belajar menyusun logika permainan, menulis skrip dalam bahasa pemrograman Lua, dan menguji hasil ciptaannya di lingkungan nyata.
Menurut iD Tech, banyak anak yang mengenal coding pertamanya lewat Roblox. Artikel itu menyebut bahwa membuat gim di Roblox mendorong keterampilan problem solving, logika komputasi, dan bahkan kewirausahaan digital. Tak sedikit dari mereka yang akhirnya menjual aksesori digital buatannya atau mendapatkan penghasilan dari gim bikinan sendiri.
Hal senada diungkapkan oleh FunTech yang menyebut Roblox sebagai sarana belajar design thinking, storytelling interaktif, bahkan pengembangan karakter. Karena dunia Roblox sangat sosial, anak-anak juga belajar membangun komunitas, menerima umpan balik, dan melakukan iterasi. Dengan kata lain, lewat Roblox, anak sudah terpapar dengan kultur kreatif ala startup modern.
Di luar aspek teknis, Roblox juga bisa menjadi jembatan sosial, terutama bagi anak-anak yang pemalu atau memiliki keterbatasan fisik. Seperti yang ditulis dalam artikel Wired, banyak anak mengaku merasa “lebih diterima” dan “lebih bebas berekspresi” di dunia Roblox daripada di sekolah atau lingkungan nyata. Ini bukan hal kecil. Dalam kondisi yang tepat, Roblox bisa menjadi ruang aman untuk eksplorasi diri dan penguatan rasa percaya diri.
Tentu, semua potensi ini hanya bisa dicapai jika ada bimbingan yang memadai. Tanpa pengawasan, Roblox tetaplah lahan luas yang bisa ditumbuhi apa saja, termasuk hal buruk. Akan tetapi, dengan keterlibatan orang tua dan pendidik, ia juga bisa menjadi laboratorium masa kecil yang unik, menjadikannya bukan sekadar arena bermain tetapi juga belajar.
Larang atau Bimbing?
Jika CEO Roblox, David Baszucki, pernah secara terbuka berkata bahwa orang tua sebaiknya tidak membiarkan anak-anak mereka bermain Roblox tanpa pengawasan, maka kita patut bertanya lebih jauh: apakah platform ini benar-benar mampu, atau bahkan bersedia, melindungi pengguna mudanya?
Pernyataan itu, yang datang dari orang nomor satu di perusahaan, menunjukkan satu hal yang sangat mengganggu. Bahkan penciptanya pun tahu bahwa Roblox bukan tempat yang sepenuhnya aman bagi anak-anak.
Dalam konteks ini, wacana Pemerintah Indonesia untuk memblokir Roblox bukan keputusan sembrono, melainkan sebuah respons atas sinyal kegagalan platform itu sendiri untuk membangun sistem perlindungan yang kokoh. Apalagi, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, ada tujuh negara yang sudah memblokir Roblox dari jaringan nasionalnya. Indonesia bukan yang pertama, dan mungkin juga bukan yang terakhir.
Namun, di saat yang sama, kita juga harus melihat persoalan ini secara proporsional. Roblox bukan satu-satunya ruang digital yang berisiko bagi anak. Segala platform dengan fitur komunikasi terbuka, sistem ekonomi dalam aplikasi, dan konten buatan pengguna—mulai dari YouTube hingga TikTok—berpotensi menjadi ladang bahaya jika tidak dikawal dengan ketat. Jika hari ini kita melarang Roblox, apakah besok giliran Minecraft? Lusa giliran Instagram? Apakah kita akan menghadapi efek domino pelarangan demi pelarangan?
Maka mungkin, pendekatan yang lebih masuk akal bukan sekadar antara “izinkan” atau “blokir”, melainkan hadirnya peran aktif dari orang tua. Anggap saja Roblox seperti taman kota: tempat yang luas, ramai, penuh potensi bermain, tapi juga tak lepas dari kemungkinan anak didekati orang asing. Di dunia nyata, orang tua akan ikut menemani, mengawasi, bahkan turun bermain di area seperti itu. Maka, di Roblox pun seharusnya begitu.
Orang tua harus tahu apa yang sedang dimainkan anak. Ajak mereka bicara tentang gim favoritnya. Tanyakan siapa yang mereka ajak main. Buka pengaturan privasi bersama. Pilihkan jenis permainan yang edukatif. Ciptakan batas waktu bermain. Bahkan kalau perlu, mainlah bersama mereka, karena justru dari situ keterlibatan emosional dan perlindungan yang efektif bisa lahir.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Irfan Teguh Pribadi
Masuk tirto.id


































