tirto.id - “Bagaimana Anda bisa berpikir smart dan inovatif pada usia 25, kalau sampai umur 18 pikirannya hanya games dan pacaran?” --Status Facebook di halaman penggemar Mario Teguh, 19 Agustus 2015.
Dalam bab pembuka Pertunjukan Paling Agung di Muka Bumi; Bukti-bukti bagi Evolusi (2015), Richard Dawkins bercerita mengenai Carl Sagan yang sering mendapat surat dari orang yang mengaku bisa berkomunikasi dengan alien. Ia sering diminta untuk menanyakan apa pun kepada mereka.
Sagan menyiapkan daftar kecil berisi pertanyaan-pertanyaan yang relevan untuk ditanyakan kepada makhluk-makhluk yang lebih maju dari manusia bumi, misalnya, "Tolong berikan bukti singkat tentang Teorema Terakhir Fermat atau Dugaan Goldbach." Dan yang dijumpai Sagan hanya keheningan.
Anehnya, saat Sagan menanyakan sesuatu yang melibatkan penilaian moral konvensional, alien-alien gemar dan bahagia menjawabnya. Mereka juga senang berbagi tip dan trik menemukan tujuan hidup dan berperilaku baik. Alien-alien yang berhasil dikontak rupanya sangat manusiawi.
Apakah dalam memandang gim dan pemain gim sikap alien-alien itu juga akan sama dengan Mario Teguh? Rasa penasaran mendorong saya mengirim surat kepada pengurus Carl Sagan Institute. Dan seperti Sagan, yang saya jumpai hanya keheningan.
Sang Sapiens: Abad Gim Video dan Upaya Mencari Kesenangan
Sebelum Homo sapiens menjadi sapiens (istilah Latin untuk "bijaksana"), hominid awal memodifikasi batu dengan cara menghantamkannya ke batu lain hingga membuat lukisan stensil tangan di gua Maros, Sulawesi Selatan. Saat itulah nenek moyang kita mulai mengindikasikan kemampuan mereka berpikir abstrak dan berinovasi (Science Year by Year, 2013). Sebuah kemampuan yang membuat spesies ini bernilai.
Baca juga: Bagaimana Para Leluhur Kita Menguasai Dunia
Pada mulanya spesies ini cuma bisa menggurat gambar barisan bison dan kuda di dinding dengan menggunakan pigmen-pigmen alami, kemudian mereka membayangkan dewa-dewa dan melukisnya di kanvas dan tembok-tembok rumah ibadah. Hingga suatu hari saat teknologi monitor ditemukan, mereka mulai menghubungkan piksel demi piksel menjadi garis, menjadi megapiksel, dan membuat permainan perang bintang di layar komputer.
Spesies ini mulai menggunakan otaknya untuk memperbaiki dan mengembangkan semua aspek dan elemen yang berkaitan dengan alat baru tersebut. Sesuatu yang kemudian dinamai gim video dan menjadi salah satu dari sekian banyak alat yang diciptakan tak lebih untuk mempertahankan status sapiens yang mereka pikul: menyelamatkan diri dari kebosanan.
Baca juga: Para Pendongeng
Kami Suka Menemukan Sesuatu, dan akan Selamanya Begitu
Aspek visual menjadi konsentrasi pertama pada awal-awal pengembangan gim video. Mereka mulai mewarnai piksel-piksel yang pada mulanya monokrom. Indy 4 (Atari, 1976) dan Car Polo (Exidy, 1977) adalah percobaan perdana mereka.
1980 menjadi awal kebangkitan gim yang dioperasikan dengan koin, gim arkade. Mesin ini pelan-pelan menggantikan budaya nonton acara televisi di Amerika Serikat dan Jepang. Gemerincing koin, ujung-ujung jemari yang berkeringat, dan tangan-tangan yang kesemutan menjadi paket keahlian yang perlu diasah untuk mengalahkan musuh-musuh artifisial.
Penambang koin terbesar saat itu adalah Atari, perusahaan gim yang menjadi megabintang setelah melahirkan Pong. Atari juga menemukan gim lain seperti Tank (1972), Asteroids dan Lunar Lander (1979).
Di 1977, Atari mengembangkan teknologi gim yang bisa dimainkan di rumah dengan cara menghubungkannya ke televisi. Dua tahun sebelumnya, Magnafox memulai teknologi ini lebih dulu, tapi gagal karena terlalu rumit.
Baca juga: Dari Gamer, oleh Gamer, dan untuk Gamer
Atari menciptakan mesin yang lebih sederhana: pemain bisa bermain beberapa gim dengan mesin yang sama. Atari Video Computer System 2600 mengizinkan pemain menukar-nukar cartridge untuk bisa memainkan gim yang berbeda-beda. Teknologi ini membuat Atari semakin sukses secara komersial dan tak tertandingi. Kesuksesan Atari membuat semua orang tertarik menggeluti bisnis yang sama, tetapi tak seorang pun berani bermimpi mengalahkan Atari (How Nintendo Conquered America, 2011).
Di belahan dunia lain, perusahaan start-up bernama Nintendo sudah sukses lebih dulu dengan permainan kartu. Kejayaan gim arkade membuat mereka berpikir: jika orang lain bisa membuat gim, kami juga mampu.
Setelah sukses dengan Game & Watch (mesin arkade seukuran kalkulator), Nintendo memutuskan untuk memakai jurus Atari dengan menciptakan perangkat gim rumahan yang bisa dimainkan di televisi sambil bermalas-malasan.
Baca juga: Nielsen Masuk ke Industri Pertandingan Video Game
Pada 1985, setelah melewati dan mencoba pelbagai strategi bisnis dan bertahan dari erupsi gunung St. Helens, Nintendo menciptakan gim video rumahan dengan sistem baru: mengganti joystik dengan pad controller, membuat gim arkade autentik yang dimainkan khusus di gim video rumahan, dan menjual mesin gim dengan harga terjangkau. Sistem itu dikenal dengan Nintendo Entertainment System (NES).
Sega segera muncul jadi pesaing mereka. Menyadari aspek penting gim akan lebih seru jika gambar tidak hanya bisa maju dan mundur atau bergerak ke kanan dan kiri, Sega mencuatkan gagasan bagaimana kalau sudut pandangnya diubah dan diberi dimensi agar terasa hidup? Bagaimana kalau objek dalam gim sanggup bergerak secara diagonal? Dan begitulah cara mereka menemukan gim isometrik yang memungkinkan gamer bisa bermain peran sebagai pembalap motor, merasakan sensasi kecepatan tanpa perlu takut mati (Supercade: A Visual History of the Video Game Era, 2001).
Di sudut lain, Sony sedang menunggu waktu tampil.
Bermain Gim adalah Bermain Gim adalah Bermain Gim
Pada mulanya Sony membuat perangkat keras pengolah suara untuk konsol SNES keluaran Nintendo. Sony menciptakan sebuah cip ajaib yang terdiri dari dua unit terintegrasi: pengolah suara SPC-700 dan sebuah mikroprosesor DSP 16 bit, menghasilkan suara yang terdengar megah. Nintendo memasang CPU Ricoh 5A22 yang mendukung efek 3D dan sistem grafis Mode 7 Nintendo pada SNES, membuat gim konsol itu mudah memuncaki pasar penjualan. Pencipta cip tersebut adalah Ken Kutaragi, Sang Bapak PlayStation.
PlayStation dilepas di pasar Jepang pada 3 Desember 1994—tepat hari ini 23 tahun lalu—dan menghantam pasar konsol. PS bukan hanya menawarkan grafik yang mengagumkan, ia juga menawarkan gameplay yang mengasyikkan. PS menyediakan dunia virtual yang semula hanya ada di mesin-mesin arkade. PS adalah apa yang tidak pernah dibayangkan anak-anak, dan para pesaingnya, saat itu.
Medium CD lebih murah ketimbang cartridge Nintendo. Beberapa konsol sudah mencangkok grafis 3D, tetapi PS memperkenalkannya di Indonesia. Fitur lain yang ditawarkan, dan rasanya membuat siapa pun norak saat itu, adalah controller-nya. Ada dua jenis yang ditawarkan: D-pad standar dan Dual Analog Controller. Dua bulatan yang berfungsi sebagai pengontrol arah memudahkan pemain menyetir mobil hingga menggocek lawan saat sedang bermain gim sepakbola.
Baca juga: Akhir Konami di Mesin Konsol
Belum puas sampai di situ, PS kemudian meluncurkan fitur DualShock, efek getar, yang memberi kesan pemain "mengalami" gim yang sedang dimainkan. Stik akan bergetar tiap memasuki bagian-bagian seram di gim survival horror Silent Hill (Konami, 1999). Dengan segala tawaran itu, PS masuk Indonesia dan mudah melebur menjadi budaya baru. Semakin populer setelah muncul rental-rental yang menyewakan jasa bermain PS per jam.
Saya mengajak berbincang Rizky Sjahrizal, akrab disapa Ijal, melalui direct message Twitter mengenai pengalaman personal bermain PS dan gim konsol secara umum. Dia kadang muncul di lini masa Twitter me-retweet cuitan mengenai gim atau membicarakan gim sambil bercanda.
"Awalnya sih cuma buat ngisi waktu luang, tapi begitu pertama kali tahu RPG macem FF7 (Final Fantasy 7, Square, 1997) dan Legend of Dragoon (The Legend of Dragoon, SIE Japan Studio, 1999) mulai tertarik dengan game yang story-based, dan dari situ mulai main series terkenal lain macam RE (Resident Evil, Capcom, 1996) dan MGS (Metal Gear Solid, Konami, 1998)," ujar Ijal, yang mengikuti perkembangan varian konsol PlayStation sejak kelas 2 SD. Ia mengingat lagi pengalaman pertamanya bersinggungan dengan PS, "Kakak gue dari dulu main SNES, dari dia gue mulai kenal konsol."
Baca juga: Mengolahragakan Game dengan e-Sports
Apa yang kami bicarakan tak akan muncul tanpa Ken Kutaragi. Kutaragi adalah teman anak-anak dan pebisnis: dua kelompok ini mengagumi inovasi yang ditawarkan PS. Bersama Sony dia menawarkan hal-hal keren bagi anak-anak, dan ide-ide segarnya membuat merek dagang Sony bertahan dan bahkan diperhitungkan dalam pasar gim konsol.
Ken Kutaragi lahir di Tokyo pada 1950. Kutaragi adalah anak seorang pebisnis dari Kyushu yang datang ke Tokyo untuk mendirikan perusahaan percetakan. Kutaragi belajar bisnis dari ayahnya, dan mengikuti saran ayahnya untuk tidak mengurus perusahaan keluarga setelah sang ayah meninggal. Ia bergabung dengan Sony pada 1975. Sebagai insinyur kelistrikan, dia mendesain proyektor liquid-crystal-display pada awal 1970-an, namun Sony tidak menggunakan desainnya, sebab perusahaan lain sudah sukses memasarkan teknologi serupa.
1990 adalah dekade emas bagi Kutaragi. Sony-Nintendo bisa menjadi duet maut yang tak terkalahkan dan gim konsol mungkin tak seperti hari ini. Awal dekade 1990-an, keduanya mengembangkan CD-ROM drive. Nintendo menginginkan semua lisensi.
Kerjasama Sony dengan Nintendo mengalami kebuntuan. Sony memutuskan untuk menyerah saja dan tak terlibat lagi dalam bisnis gim konsol. Kutaragi melawan dan memaksa Sony untuk membangun gim konsolnya sendiri. Dia mengancam akan meninggalkan Sony jika tuntutannya tak terpenuhi.
Baca juga: Game Horror Mengolah Rasa Takut Menjadi Candu
Pada 1991, Kutaragi memenangkan pertarungan: dia menjadi Project Manager dalam program sistem gim baru, PlayStation. Dia bisa membuktikan kegigihannya. Sony mengakhiri dekade 1990-an dengan menambang 40% keuntungan hanya dari PlayStation.
Ken Kutaragi melanjutkan proyek konsol itu dengan nama Play Station (dengan spasi). Bersama timnya, ia mengembangkan grafik 3D-polygonal dengan format CD-ROM. Dalam perjalanannya, Nintendo berusaha rujuk. Bukankah akan lebih baik jika Play Station dikembangkan bersama SNES? Lagipula Nintendo membutuhkan Sony karena SNES masih menggunakan sound card buatan Sony.
Tiba di tahun 1993, kerja sama keduanya benar-benar putus. Play Station menghapus spasi di antara Play dan Station dan yang kemudian terjadi adalah sebuah perubahan besar dalam dunia gim konsol.
"Kalau gue sih bertahan di konsol. Pernah ke PC tapi cuma sebentar, soalnya agak ribet juga harus keep up dengan requirement game yang makin canggih," jawab Ijal saat membicarakan perkembangan gim online PC dan pilihannya bertahan dengan gim konsol.
PlayStation generasi pertama adalah gudang gim. Di Wikipedia tercatat 2513 gim dan daftar tersebut masih bisa lebih panjang lagi. Gran Turismo (Polyphony Digital, 1997) menempati urutan pertama penjualan gim terlaris, menembus 10,8 juta copy; disusul Final Fantasy VII di angka 9,8 juta; dan Gran Turismo 2 (Poliphony Digital, 1999) dengan penjualan 9,3 juta.
Penjualan konsol ini pun gila-gilaan. Hingga Mei 1995, lima bulan sejak dirilis, PS terjual sebanyak 1 juta unit di Jepang dan pada bulan September tahun yang sama di Amerika Serikat, Sony menjual 100 ribu unit hanya dalam dua hari. Di tahun 1996 Sony menjual 3,5 juta unit di seluruh dunia dan meningkat hingga 10 juta unit menjelang pergantian tahun. Hanya perlu tiga tahun bagi Sony untuk meraup keuntungan USD16 miliar.
Baca juga: Kelahiran Razer Phone dan Kegagalan Ponsel Gaming
Kejutan tak berhenti di PlayStation. Memasuki era PlayStation 2, grafik yang dihasilkan sangat mengagumkan. Sebuah lompatan kualitas yang sangat terasa dari generasi pertama ke generasi kedua. Dengan PS, Ken berusaha mengeluarkan pemain gim dari mesin arkade khas 1980-an menuju gim dengan grafis mumpuni. Inilah yang mengharuskan pengembang gim memperbaiki kualitas lain seperti aspek cerita dan suara.
Saya dan Ijal kemudian berbincang mengenai jurnalis gim. Tentang bagaimana mereka perlahan mencoba menyempitkan bingkai perspektif pemain gim. Alih-alih menulis gim, mereka sibuk berceramah. "Awalnya sih biasa aja, cuma kelamaan jurnalis gim dari portal berita gim mainstream macam Kotaku dan Polygon dan forum seperti NeoGAF ini jadi mengganggu. Sekarang mereka justru menggiring opini bahwa gamer itu sesuatu yang politically incorrect. Gamer dibilang elitist, ableist. Bahkan dihubung-hubungkan dengan alt-right Nazi... Ini mengganggu, sesuatu yang lo suka dan lo lakukan dari kecil sekarang dengan gampang dianggap sebagai sesuatu yang bermasalah."
Permainan adalah Permainan adalah Permainan
PS, dan gim video pada umumnya, menawarkan kesenangan ketika pemain sanggup memecahkan masalah, mengambil pilihan yang tepat, atau memutuskan perkakas mana yang paling baik dalam situasi tertentu. Proses membuat keputusan tidak pernah semenyenangkan itu. Di balik mesin yang anda pikir berbahaya, membuat otak anak Anda tumpul, dan membuat rapor mereka merah, tersimpan hal-hal rumit yang hanya bisa dipahami oleh orang yang memainkannya.
Baca juga: Industri Game Indonesia Terus Tumbuh
Sejarah gim video adalah sejarah penemuan. Di dalamnya, para inventor berupaya mengembangkan apa yang sudah ditemukan pendahulu mereka sebagai upaya memperbesar kesenangan yang kelak didapat.
Rasa ingin tahu dan keinginan untuk menemukan, membuat, dan mengembangkan sesuatu ada di dalam DNA Homo sapiens—satu dari sekian banyak perangkat lunak yang diberikan sistem evolusi agar ras ini bertahan. Menyederhanakan kebiasaan bermain gim sebagai akar keburukan, atau malah dikait-kaitkan dengan hal politis, membuat hal yang semestinya menyenangkan menjadi terlalu rumit dan picik.
Ada masa di mana anak-anak bermain permainan tradisional dan tak seorang pun boleh memaksa anak-anak harus tetap demikian. Inti dari permainan adalah bersenang-senang dan seharusnya tetap begitu. Mark Twain, dalam Petualangan Huckleberry Finn berkata bahwa lebih baik jadi anak buah Robin Hood setahun daripada menjadi presiden Amerika Serikat seumur hidup.
Penulis: Sabda Armandio
Editor: Ivan Aulia Ahsan