tirto.id - Dua perempuan tua berdiri di depan pintu pagar. Saya sedang di teras menikmati rokok dan kopi dan artikel di layar laptop. Salah satu dari mereka, yang usianya lebih muda, menanyakan apakah saya mau meluangkan waktu sebentar untuk bercakap-cakap. Saya membukakan pintu pagar untuk mereka, menyilakan masuk, dan kami bercakap-cakap di teras.
Perempuan yang lebih tua, separuh rambutnya sudah jadi uban, mengulurkan newsletter kepada saya. “Ini untuk dibaca-baca, daripada bengong,” katanya.
Saat itu saya memang tidak memegang cangkul atau gergaji atau kapak, dan tidak pula sedang memperbaiki talang air. Orang di pintu pagar tentu akan melihat saya sebagai makhluk dhaif yang banyak melamun dan rentan kerasukan roh halus dan karena itu memerlukan penghiburan, mungkin dalam kategori mendesak.
“Mas ini tidak bengong, kok,” kata yang lebih muda.
Saya menyambut newsletter yang disodorkan oleh perempuan yang lebih tua.
“Terima kasih,” kata saya. “Saya senang mendapatkan penghiburan.”
Newsletter yang saya terima melaporkan peperangan Daud, si tampan yang suka berpuisi dan bermusik, melawan Goliath. Daud berhasil menumbangkan raksasa Filistin itu atas bantuan Yehuwa.
“Goliath ini tinggi sekali, ya,” kata saya.
“Tiga meter lebih,” kata perempuan yang lebih muda.
“Sekarang tidak ada orang setinggi ini.”
“Tapi faktanya ia memang setinggi itu. Semua dijelaskan di buletin ini.”
Ia mungkin menduga saya tidak percaya, karena itu ia buru-buru menyampaikan “fakta”.
“Ya, saya percaya,” kata saya. “Nabi Adam malah tingginya 30 meter. Goliath hanya akan terlihat seperti anjing pudel jika disandingkan dengan Nabi Adam.”
Mereka mengajak bicara tidak lama. Setelah memberi tahu di mana tempat yang bisa saya datangi sewaktu-waktu saya membutuhkan penghiburan, mereka pamit, melanjutkan urusan untuk menemui orang-orang lain yang mereka pikir butuh penghiburan dan perlu diyakinkan bahwa tinggi Goliath memang tiga meter lebih.
Baru sekali itu saya bertemu mereka, namun itu bukan kali pertama saya ditemui oleh orang-orang yang melakukan kegiatan serupa. Dulu, ketika masih indekos di Yogya, saya pernah didatangi orang-orang yang, seperti kedua perempuan tua itu, juga berjalan kaki keluar masuk kampung dan bertamu dari rumah ke rumah, menyampaikan cerita yang mereka dapatkan dari orang lain, dan berharap saya mempercayai cerita mereka. Mereka mengajari cara berwudlu yang akurat, prosedur kencing yang benar, dan berusaha meyakinkan, dengan kesungguhan hati, bahwa saya harus mengikuti cara mereka--itu jika saya ingin kelak mendapatkan surga.
Saya mengagumi kegigihan mereka. Orang-orang itu berjalan kaki keluar masuk kampung, menjalankan apa yang disampaikan kepada mereka oleh orang lain, dan meyakini bahwa mereka memang harus melakukan itu demi sesuatu yang tak ada di dunia ini, dan karena alasan yang juga tidak ada di dunia ini.
Beberapa hari setelah kunjungan kedua perempuan itu, saya membaca spanduk, tak jauh dari daerah tempat tinggal saya, yang menyampaikan peringatan keras bahwa tak ada satu rumah pun di kawasan ini yang boleh dijadikan tempat peribadatan bagi jemaat Saksi Yehuwa (Jehovah’s Witnesses). Artinya, mereka bakalan digeruduk jika tetap nekat beribadat di daerah kami.
Ini bukan pelarangan pertama bagi mereka. Empat puluh satu tahun lalu, pada 1976, aliran ini juga pernah dilarang Kejaksaan Agung karena dua hal di dalam aspek keberagamaan mereka tidak bisa diterima oleh pemerintah. Para jemaat Saksi Yehuwa adalah orang-orang yang menolak hormat bendera dan emoh melibatkan diri dalam kegiatan politik.
Penolakan terhadap hormat bendera bukan milik eksklusif jemaat tersebut. Di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, pernah ada dua sekolah, SD dan SMP, yang juga menolak hormat bendera. Menurut kepala sekolah SMP tersebut, memberi salut kepada bendera adalah tindakan musyrik. Saya bisa memahami keputusan Pak Kepsek. Ia memikul tanggung jawab berat sebagai kepala sekolah untuk menyelamatkan akhlak para siswanya. Jika hormat bendera diizinkan, saya yakin lama-lama para siswa akan bertindak kebablasan dan berdoa memohon rezeki atau berharap kesembuhan atau meminta hujan dan lain-lain kepada secarik bendera.
Kelompok Islam garis keras, meskipun menolak hormat bendera, biasanya tetap berpolitik. Di dalam hal itu mereka berbeda dari Saksi Yehuwa yang menolak berpolitik. Dua perempuan yang datang ke rumah saya tidak memberi tahu kenapa Saksi Yehuwa tidak mau berpolitik. Tetapi, saya yakin, pasti ada cerita di dalam kepala mereka yang membuat mereka mengambil sikap begitu. Tanpa cerita di dalam kepala, orang tidak akan mempunyai landasan untuk mengambil keputusan dan melakukan tindakan.
Akhirnya saya mendapatkan cerita dari situs Yabina Ministry, milik Yayasan Bina Awam (Yabina), bahwa dalam sebuah pertemuan di awal abad ke-20, pemimpin Saksi Yehuwa menyampaikan kepada para jemaatnya bahwa dunia ini sudah dikendalikan oleh iblis dan “pemerintah-pemerintah dunia maupun organisasi gereja adalah alat iblis”. Jika benar Saksi Yehuwa mengembangkan imajinasi seperti itu, kita bisa memaklumi keputusan mereka untuk tidak berpolitik. Mereka menolak menjadi bagian dari kerja iblis.
Tentu hanya mereka yang tahu bahwa dunia ini sedang berada di dalam cengkeraman iblis, dan hanya mereka pula yang memegang kunci pembebasan diri dari situasi yang melahirkan kesedihan massal ini. Karena itulah mereka gigih bertamu dari rumah ke rumah dan memberikan penghiburan, syukur-syukur ada yang mau mengikuti jalan keselamatan yang mereka tawarkan. Jika tidak berkeberatan, anda bisa menyebut kegiatan mereka sebagai niat baik untuk menolong sesama, dan itu adalah perilaku yang hanya dimiliki oleh spesies manusia.
Spesies-spesies lain yang sama-sama menghuni bumi tidak mungkin memiliki niat baik seperti itu; mereka bahkan tidak peduli apakah dunia ini sedang dikendalikan iblis atau dikencingi genderuwo atau dililit ular bermata tiga. Hewan-hewan tidak mengembangkan cerita khayalan semacam itu. Hanya manusia yang mampu berkhayal dan membuat cerita dan menyampaikannya kepada manusia lain. Benar bahwa setiap jenis hewan juga melakukan komunikasi dengan sesamanya, tetapi mereka tidak mampu berkhayal, tidak mengarang fiksi, dan tidak menulis artikel atau berceramah.
Yuval Noah Harari, 41 tahun, sejarawan Israel yang buku pertamanya, Sapiens: A Brief History of Humankind, menjadi bacaan favorit antara lain Bill Gates, Mark Zuckerberg, dan Barack Obama, menyebutkan bahwa kemampuan untuk menyampaikan cerita dan menciptakan fiksi adalah kualitas utama manusia, yang membuat spesies ini dominan di muka bumi dan mampu mengatasi spesies-spesies lainnya. Dua kemampuan itu memungkinkan manusia berhimpun dan bekerjasama secara luas dalam cara yang tidak mungkin dilakukan oleh hewan-hewan. Manusia membangun sistem sosial dengan menciptakan fiksi sebagai landasannya, dan sejarah homo sapiens tidak lain adalah sejarah penciptaan fiksi demi fiksi, di dalamnya termasuk penghapusan fiksi yang satu oleh fiksi berikutnya.
Manusia telah menciptakan fiksi tentang segala hal. Mereka mengarang beragam cerita tentang bagaimana dunia tercipta, dalam rumusan yang masing-masing terdengar sangat puitis dibandingkan penjelasan oleh ilmuwan tentang hal yang sama. Mereka duduk mengitari api dan orang yang mereka tuakan akan bercerita tentang apa yang ada di langit dan di dasar samudera, yang bercokol di dalam batang pohon besar di tepi sungai, yang batuk-batuk di perut gunung berapi, dan sebagainya, dan mereka merumuskan bagaimana harus berperilaku terhadap segala makhluk khayalan itu.
Orang Yunani Kuno membangun fiksi tentang makhluk-makhluk abadi yang berdiam di puncak gunung Olympus, dan menjalani hidup sehari-hari dengan mengembangkan ketakutan dan melakukan pemujaan terhadap makhluk-makhluk hasil khayalan mereka sendiri. Begitu pula orang-orang lain di tempat-tempat terpisah; mereka juga menciptakan fiksi masing-masing tentang makhluk-makhluk abadi yang mengatur kehidupan manusia. Mereka terus bertahan seperti itu sampai fiksi berikutnya terbentuk dan menggeser fiksi lama.
Sepanjang waktu manusia menciptakan fiksi. Mereka menciptakan cerita baru untuk menghapus cerita lama ketika mereka menginginkan terbentuknya tatanan sosial yang baru. Revolusi terjadi dengan cara seperti itu. Propaganda, hoax, dan semacamnya adalah alat-alat yang sudah ribuan tahun digunakan oleh manusia untuk menggoyahkan cerita lama dan memantapkan cerita baru yang sedang mereka susun.
Dengan kata lain, kemampuan berimajinasi memungkinkan terjadinya perubahan cepat di dalam masyarakat manusia. Hewan-hewan tidak bisa melakukan revolusi karena mereka tidak berimajinasi. Di dalam koloni lebah, misalnya, dikenal adanya lebah ratu dan lebah pekerja dan di sana ada juga pembagian kerja, tetapi kita tidak akan pernah membaca berita bahwa pada suatu pagi seekor lebah di dalam koloni itu membunuh ratu lebah dan mengobarkan revolusi dan membangun pemerintahan komunis demi menegakkan otoritas lebah-lebah pekerja. Mereka tidak mampu mengarang cerita tentang perjuangan kelas.
Lebah, dan semua jenis hewan, hidup hanya di dunia nyata dan merespons apa yang benar-benar ada di sekeliling mereka. Mereka tidak menciptakan fiksi tentang negara, hak asasi, uang, dan sebagainya. Mereka tidak mengembangkan perilaku berdasarkan khayalan. Kata Yuval Harari: “Kita tidak akan pernah bisa membujuk seekor simpanse untuk memberi kita pisang dengan menjanjikan bahwa kelak, jika ia mati, ia akan mendapatkan pisang yang tak ada habisnya di surga para simpanse. Hanya manusia yang bisa meyakini cerita seperti itu.”
Dan demi mengabarkan cerita tentang surga itu pulalah dua perempuan tua berjalan kaki keluar masuk kampung dan bertamu dari rumah ke rumah dan pada suatu hari mereka berdiri di depan pagar rumah saya. Mereka sedang menyebarkan seluas-luasnya fiksi milik mereka agar yang mempercayainya kian banyak. Negara sudah tidak lagi melarang kegiatan mereka, sebab khayalan tentang hak asasi manusia berkembang makin kuat dan tekanan akan datang dari berbagai arah jika negara melanggar hak asasi manusia.
Yang melarang kegiatan para jemaat Saksi Yehuwa saat ini adalah masyarakat, atau tepatnya kelompok-kelompok di dalam masyarakat yang masing-masing sudah menyimpan dan meyakini cerita berbeda. Mereka membuat larangan sembari mengarang cerita tentang bahaya yang bakal ditimbulkan oleh kegiatan para jemaat tersebut. Tindakan kejam? Mungkin, tetapi itu normal saja di dalam spesies manusia. Sebagai makhluk pendongeng, manusia selalu ingin menjadikan dongeng kelompok mereka sebagai yang paling unggul atau, setidaknya, berusaha keras mempertahankan dongeng yang mereka yakini. Untuk urusan itu, manusia telah membuktikan diri, dari waktu ke waktu, bahwa mereka sanggup saling tikam dan bunuh-membunuh.
Saya agak sedih membaca spanduk pelarangan. Itu berarti sampai beberapa waktu ke depan, dan mungkin akan lama, saya tidak bisa mendapatkan lagi penghiburan dari mereka. Saya juga makhluk pendongeng dan sudah meyakini fiksi di dalam kepala saya sendiri, tetapi saya tetap senang mendengarkan imajinasi mereka tentang hal-hal yang tidak saya mengerti. Pelarangan terhadap mereka di lingkungan tempat tinggal saya membuat saya kehilangan orang-orang yang datang untuk menghibur saya dengan fiksi mereka.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.