tirto.id - Sebuah rumah di pinggiran kota di Amerika, jauh dari peradaban, seorang pria yang tersesat masuk ke dalam rumah itu tanpa menyadari teror yang ada di dalamnya. Perburuan dimulai. Pemilik rumah rupanya seorang psikopat, seseorang yang tak bisa dibunuh hanya dengan tembakan pelor ke tubuh. Ia monster, dan seperti berbagai monster yang lain dalam tradisi horor Amerika, ia punya kampak, gergaji mesin, dan bekas jahitan dari perkelahian di waktu lampau.
Tokoh kita dipaksa berlari, sembunyi, dan menjauhi monster itu. Ia meminta pertolongan pada polisi setempat hanya untuk menemukan si polisi ikut mampus dibunuh monster itu. Bagaimana nasib tokoh kita?
Ini adalah sekilas gambaran dari berbagai fragmen cerita yang ada pada Resident Evil 7. Seri terbaru dari game survival horor buatan Capcom. Perusahaan ini menghadirkan kembali game teror sebagai produk yang paling laris dalam penjualan mereka. Pada Tokyo Game Show dan Electronic Entertainment Expo, ia mencuri perhatian gamer, baik yang veteran maupun pemula.
Resident Evil adalah game buatan Shinji Mikami dan Tokuro Fujiwara. Ia istimewa karena menghadirkan teror biologis, horor yang tidak didasari oleh sihir atau hal yang tak masuk akal. Sebuah virus mengubah manusia menjadi zombie, manusia yang terinfeksi akan menulari yang lain melalui gigitan. Setiap zombie adalah monster yang lapar, beringas, dan barbar. Game ini sangat sukses sampai dibuat film yang telah mencapai seri keempatnya, dan dikabarkan akan menjadi seri penutup.
Selain Resident Evil, game survival horor lain yang sukses dari Capcom adalah Dino Crisis. Game satu ini adalah tentang usaha manusia pergi ke zaman prasejarah. Pertemuan teknologi modern dan dinosaurus memberikan jalan cerita yang berbeda. Kita dipaksa bertahan hidup melawan teror dari reptil-reptil raksasa. Melawan dengan senjata-senjata modern, manusia dipaksa bersaing dengan alam. Siapa yang lebih kuat, manusia dari masa depan atau makhluk prasejarah?Sayang, seri ini harus selesai di episode kedua.
Capcom menganggap game horor mereka sebagai tambang emas. Pada 1996, seri pertama Resident Evil hingga hari ini telah terjual lebih dari 2,75 juta keping di seluruh dunia. Seri keduanya mencapai 4,96 juta keping, sementara Resident Evil 3: Nemesis terjual lebih dari 3,5 juta keping CD dan Resident Evil 4 terjual lebih dari enam juta kopi. Sensasi inilah yang membuat banyak game Resident Evil dibuat ulang, baik dalam remake maupun sekedar rilis ulang.
Resident Evil dan Dino Crisis merupakan dua produk yang legendaris dari Capcom. Tapi jika Anda bertanya apa game horor terbaik yang pernah dibuat, maka jawabannya bisa ditemukan di Konami. Konami, yang mulai dilupakan oleh pasar konsol game dunia, memiliki game legendaris bernama Silent Hill yang dipercaya banyak kritikus industri game sebagai game terbaik yang pernah ada.
Silent Hill adalah mimpi basah semua pecinta horor. Ia menghadirkan monster dengan tampilan menyeramkan, sihir hitam, mutasi tubuh, iblis, kota tua yang ditinggalkan, dan cerita yang dibuat dengan sangat rapi.
Bayangkan ini sebuah kota yang sepi. Kabut dan lanskap tanah yang basah. Di sebuah restoran Anda menemukan radio rusak yang tak terdapat saluran apapun kecuali sesekali bunyi serak yang mengganggu. Bunyi itu makin nyaring, semakin nyaring. Lantas bunyi nyaring tadi hilang, dan sebagai gantinya Anda bertemu monster berbentuk kelelawar. Anda mampu bertahan hidup, monster itu mati, lantas bunyi sirine terdengar, kegelapan total hadir, Anda kini berada dimensi lain. Dimensi para monster tadi berkuasa.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nicole Martins dan Teresa LynchUniversity's Media School, perkembangan genre horor dalam video games linier dengan perkembangan film-film horor. Bagi penggemar game dan film horor, efek dramatis teror dan ketakutan memiliki dampak emosional terhadap mereka. Banyak penonton dan pemain menikmati rasa takut yang hadir dari zombie, monster, kegelapan, teriakan, dan juga kecacatan tubuh dari hantu-hantu yang ada.
Penelitian mereka diterbitkan dalam Journal of Broadcasting & Electronic Media pada 2015. Dalam riset itu, mereka bekerja sama dengan 269 mahasiswa pada 2013 yang memainkan game seperti Resident Evil,Call of Duty, dan Amnesia: The Dark Descent. Mereka meneliti dan mengamati reaksi ketakutan dari masing-masing peserta riset, baik dari game maupun film. Mereka ingin melihat bagaimana dampak ketakutan itu pada tubuh para responden dan bagaimana tubuh kita merespons rasa takut.
Masing-masing peserta memiliki respons yang berbeda. Pemain game dan penonton film menunjukkan reaksi emosional yang penting. Rasa takut, resah berpadu dengan rasa nikmat akan ketakutan. Dari 269 mahasiswa itu, 44,1 persen di antaranya mengaku menikmati rasa takut yang dihasilkan oleh game dan film.
Dalam riset itu juga diketahui bahwa ketakutan memberikan rasa tenang dan nikmat. Inilah yang menjadikan banyak para penonton film atau pemain game horor menjadi kecanduan akan horor itu sendiri.
Perasaan mampu bertahan dari teror itu juga menghadirkan privilise, bahwa tak semua orang bisa menghadapi ketakutan. Pemain game merasakan sensasi penting dan berkuasa saat menjalankan satu tokoh, ketika mereka menghadapi monster, zombie, atau sihir. Para pemain game ini akan menikmati teror sembari menyadari bahwa tak ada apapun yang akan menyakiti mereka.
“Ini hanya game, toh kalo mati, tidak akan berpengaruh apapun kepada saya,” demikian kira-kira yang dirasakan para pemain game itu.
Menariknya, lelaki atau perempuan dalam riset itu mengaku game horor membuat mereka takut, dan banyak lelaki yang mengaku bahwa rasa takut kerap mengganggu ego maskulin mereka. Tapi dalam riset itu banyak yang jujur akan ketakutan mereka, tak peduli dengan ego atau keharusan untuk tampak berani.
Untuk game yang dianggap punya respons menakutkan paling tinggi, mereka menunjuk Resident Evil,Amnesia: The Dark Descent, Dead Space, dan Silent Hill.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Maulida Sri Handayani