Menuju konten utama
23 September 1889

Nintendo: Dicintai Yakuza, Sukses Meramu Teknologi dan Budaya

Untuk menghasilkan sebuah produk, Nintendo melakukan riset rata-rata empat hingga lima tahun.

Nintendo: Dicintai Yakuza, Sukses Meramu Teknologi dan Budaya
Ilustrasi Mozaik Nintendo. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Pada 1970, Hiroshi Yamauchi sebagai pewaris bisnis Nintendo kebingungan. Kartu permainan produknya yang bernama Hanafuda--seperti kartu Uno bagi anak-anak generasi Z--tergerus oleh kartu-kartu permainan yang didatangkan dari Amerika Serikat. Ia lantas mengundang salah seorang anak buahnya untuk bertukar pikiran.

Mengerti bahwa sang bos tengah pusing atas kondisi perusahaan, si anak buah yang bernama Gunpei Yokoi langsung bertanya: “Apa yang harus aku buat?”

“Sesuatu yang hebat!” jawab Hiroshi.

Kartu yang Biasa-Biasa Saja

Saat pertama kali berdiri pada 23 September 1889, tepat hari ini 130 tahun lalu, Nintendo alias Nintendo Koppai memiliki produk yang tidak bisa dinilai hebat. Sang pendiri, Fusajiro Yamauchi, kala itu hanya menjual kartu permainan berbasis gambar yang dipengaruhi budaya Jepang, yang ditampilkan dengan sistem 52 kartu dalam satu set.

Meski tidak hebat, barang dagangannya terhitung populer. Namun, sebagaimana diberitakan BBC, Hanafuda bukan populer di kalangan anak-anak, melainkan pada Yakuza. Mereka menyukai kartu tersebut karena memiliki warna-warni yang berkilau, persis seperti tato yang melekat di tubuh para Yakuza. Lalu kartu ini sering dijadikan alat untuk berjudi.

Setelah 64 tahun berdiri, bisnis Nintendo itu-itu saja, tak ada yang hebat. Saat bisnisnya diteruskan oleh Hiroshi Yamauchi, sang cucu mulai mengubah material kartu permainan yang semula kertas menjadi plastik.

Warsa 1956, saat Hiroshi berkunjung ke Amerika Serikat, ia sebagaimana dikisahkan Tegan Jones pada Gizmodo, melihat perusahaan sejenis dengan Nintendo yang bernasib sama, biasa-biasa saja. Hiroshi akhirnya menyimpulkan bahwa Nintendo harus beranjak dari bisnis kartu.

Namun pemikirannya tak dapat segera diwujudkan. Penyebabnya adalah pada 1959 Nintendo memperoleh lisensi penggunaan karakter-karakter Disney bagi kartu-kartunya. Langkah bisnis ini untuk sementara dapat mempertahankan Nintendo. Bahkan tiga tahun berselang, Nintendo melakukan penawaran saham perdana alias IPO.

Sialnya, tiga tahun selepas IPO, perlahan bisnis Nintendo mengalami perlambatan. Saham Nintendo jatuh, dari 900 yen per lembar menjadi hanya 60 yen per lembar.

Di tahun-tahun keterpurukan itu, Hiroshi lantas mengundang Gunpei Yokoi, teknisi pemeliharaan yang dipekerjakannya pada 1965 untuk membuat “sesuatu yang hebat.”

Gunpei Yokoi: Mengubah Haluan Nintendo

Dalam obituari Gunpei Yokoi yang dimuat The New York Times, Andrew Pollack menyebut teknisi Nintendo ini ialah sosok yang “brilian.”

Kala itu, Gunpei tidak memperbarui seri kartu permainan Nintendo, ia malah membuat Ultra Hand. Seperti namanya, mainan ini dapat menggenggam benda yang cukup jauh, seakan-akan memberikan tambahan panjang tangan penggunanya.

Ultra Hand sukses besar. Alat ini terjual hingga 1,2 juta unit. Kesuksesan ini membuat Gunpei mudah berakselerasi. Ia kemudian menciptakan Love Tester, perangkat yang seakan-akan bisa mengukur seberapa kuat ikatan cinta penggunanya saat tangan pasangan menggenggam. Lalu ia pun merilis Laser Clay untuk Nintendo.

Sukses dengan penciptaan mainan-mainan yang mengambil hati anak-anak, Nintendo kemudian ingin berbuat lebih. Pada 1975, Nintendo meluncurkan EVR Race, mesin game yang beroperasi ketika koin dimasukkan. Di dalam EVR Race termuat Donkey Kong.

Namun dua tahun sejak dilucurkan, EVR Race mendapat saingan. Atari, perusahaan video game asal Amerika Serikat merilis Atari 2600, semacam EVR Race versi rumahan. Pada awal 1980-an, muncul pula Colecovision dari Coleco, dan Intellvision dari Mattel. Bahkan Atari memperbarui konsolnya dengan merilis Atari 5200.

Konsol-konsol itu sukses besar. Di sisi lain, Nintendo baru bisa bereksperimen dengan Game & Watch, lelulur dari perangkat Game Boy.

Agar mampu bersaing, Nintendo bekerja keras menciptakan konsolnya sendiri. Pada 1983, lahir Famicom atau Family Computer. Namun konsol ini hanya dijual di Jepang. Baru pada akhir dekade itu Nintendo melahirkan NES alias Nintendo Entertainment System ke dijual ke seluruh dunia. Setelah itu, Nintendo juga melahirkan Game Boy, Nintendo DS, Nintendo Wii, hingga Nintendo Switch.

Infografik Mozaik Nintendo

Infografik Mozaik Nintendo. tirto.id/Nauval

Peran Riset dan Pengembangan

Meski Gunpei jadi sosok penting dalam lahirnya konsol-konsol tersebut, namun menurut Ali Farhoomand dalam papernya berjudul “Nintendo: Disruptor Being Disrupted”, kunci sukses Nintendo juga adalah disiplin riset dan pengembangan. Menurutnya, perusahaan seperti Nintendo melakukan riset rata-rata empat hingga lima tahun untuk menghasilkan sebuah produk.

Kala Gunpei bekerja di Nintendo, perusahaan itu memiliki tiga tim riset yang bekerja secara tersendiri. Gunpei merupakan kepala riset tim 1 yang khusus melalukan penelitian untuk melahirkan perangkat hand held small machine.

Dilansir The Guardian, Nintendo pun berupaya melahirkan produk dengan cara-cara kreatif. Misalnya, alih-alih hanya berpikir di laboratorium, teknisi-teknisi Nintendo diminta mengubah mainan kardus menjadi mainan sungguhan.

Melalui riset, Nintendo memelopori lahirnya layar sentuh, realitas virtual, stik kontrol analog, kontrol gerak, konsol game portabel, dan pengontrol nirkabel.

Pendapat lain disampaikan Martin Picard dalam paper berjudul “The Foundation of Geemu: A Brief History of Early Japanese Video Games”. Menurutnya, kesuksesan Nintendo, juga pencipta mainan lain dari Jepang, karena mereka berhasil menggabungkan ramuan yang pas antara teknologi, kebudayaan, dan pemasaran.

Baca juga artikel terkait NINTENDO atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh